SoH - 14. Undangan Kematian

443 37 0
                                    

William bersandar di sofa dengan angkuh. Ia melipat tangan dan menatap Ryu dengan tatapan liciknya. "Kukira kau menginginkan aku memberimu selamat atas semua konstribusimu terhadap bisnisku."

Ryu mendengus. "Begitukah? Kukira kau tadi sedang mencoba memintaku untuk mengasihanimu. Sepengelihatanku tadi, kau tampak seperti pecundang idiot yang sangat menyedihkan."

"Jaga sopan santunmu, Nak," William memperingatkan.

"Inilah sopan santun terbaik yang bisa kutawarkan pada bajingan seperti dirimu," sahut Ryu dengan nada tenang, sementara kilauan matanya memancarkan api kebencian. "Lagipula yang mempunyai masalah mengenai kurangnya sopan santun bukanlah aku, tapi kau. Sadarkah dirimu sedang berada di mana?"

William ikut mendengus. Pria itu tampaknya sedang berusaha menahan emosinya. Tapi kenapa?

"Terima kasih atas sopan santunmu yang tidak berharga itu." William bangkit dari sofa, berjalan mendekati Ryu, kemudian menatapnya lekat-lekat, "Memang hanya sebatas itulah orang-orang dengan darah bajingan seperti dirimu. Merasa paling berkuasa, paling hebat, tapi sangat gegabah. Tidak tahu bagaimana bertindak di depan musuh yang sama sekali tidak bisa dikalahkan. Dan karena arogansinya itu ia sudah kehilangan si gadis barbar berambut merah jahe dan calon anaknya. Yah, itulah yang pantas didapatkan oleh si gadis barbar karena mempercayakan hidupnya pada bajingan dungu sepertimu. Jika ia lebih pintar sedikit, tentu kematiannya tidak akan semenyakitkan itu."

Ryu terkekeh. "Bahkan mulut racunmu itu tidak berubah. Ya Tuhan," Ryu tertawa dengan cara yang sangat ganjil, setitik air mata menetes dari sudut matanya. Kemudian, dalam beberapa detik ekspresinya berubah dratis. Otot-otot wajahnya menegang, samar-samar terdengar bunyi gemelutuk gigi, dan mata birunya menyala-nyala menantang balik William. Tubuh raksasanya menjulang tinggi, memberikan kesan mengintimidasi dan meremehkan pada William yang lebih pendek beberapa sentimeter darinya.

"Akan kutunjukkan padamu apa yang bisa dilakukan oleh bajingan dungu sepertiku untuk membuatmu merasakan neraka terpedih di dunia. Hal-hal yang menimpamu saat ini dibilang permulaan saja tak bisa. Kau mengerti kan? Harga yang harus kau bayar sangatlah mahal. Dan aku bersumpah kau akan terus membayarnya hingga di dalam kuburanmu." Ryu memastikan matanya untuk tak berkedip. Iblis yang satu ini  harus memahami perkataannya.

William menyeringai, "Kau pikir aku akan semudah itu ditundukkan? Masih terlalu cepat 1000 tahun bagi bocah ingusan sepertimu."

"Kau tak akan tahu," balas Ryu dengan nada penuh tekad.

Ryu memundurkan tubuhnya. Kemudian, berjalan melewati William. "Dan kita berdua tahu bukanlah gaya kita untuk berperang menggunakan kata-kata. Jadi hentikan semua omong kosong ini, aku sudah muak. Biarkan aku menunjukkan padamu bagaimana seharusnya kita berperang. Aku sudah tidak sabar mendengar jeritan sekaratmu ketika aku menghancurkanmu" kata Ryu seraya berjalan menuju ke lift. Kembali ke ruangannya.

"Hal yang sama berlaku untukmu," ujar William. Ryu membalikkan badan, instingnya mengatakan ia harus melakukan hal itu. William memastikan senyuman terkejamnya menyambut Ryu. Ia melanjutkan, "Kau tak akan tahu, bagaimana aku menunjukkannya padamu."

William berbalik, berjalan menuju pintu keluar. "Dua minggu ke depan, di tempat dan jam yang sama kau memulai usaha bodohmu. Di saat kau mengira bahwa memenangkan tender Louis akan berdampak padaku," ujar William tanpa menoleh ke arah Ryu.

Ryu memperhatikan kepergian William hingga pria itu tak terlihat lagi. Lama sekali. Keheningan menyesakkan mewarnai lobi yang sunyi. Ketegangan yang diciptakan Ryu dan William membuat semua manusia yang berada di sana menyingkir, kecuali Blaire yang masih berdiri tegak di samping meja resepsionis dengan ekspresi tidak terbaca.

"Blaire," panggil Ryu memecah kesunyian.

"Yes, Sir?" jawab Blaire spontan. Untuk sesaat, ia pikir Ryu telah melupakan kehadiran manusia selain dirinya dan William ketika memulai perang kecil mereka.

"Tolong atur jadwalku untuk bertemu dengan Raka, as fast as possible."

"Baik, Sir."

Ketika Blaire menjawab, Ryu sudah menghilang di balik lift.

Blaire meraih ponselnya. Memandangi kontak Keir tanpa ekspresi.

---**---

To be Continued.

If you liked this chapter, please consider to give a vote 😉
Thanks for reading, your voment, and your support until now.
Stay tune!

Sincerely,

Nina.

Secret of Heart - RevealedWhere stories live. Discover now