SoH - 11. Bendera Perang Sudah Dikibarkan

459 35 1
                                    

TRINGTRINGTRING.....!!!

Suara-suara dering telepon saling bersahutan. Datang silih berganti dengan penuh ketidaksabaran. Empat unit AC yang tergantung di ruangan berukuran 10x10m itu bahkan tidak mampu mendinginkan panas yang ditimbulkan telepon-telepon penuh amarah itu.

"Dengan Elisa di sini, mohon maaf Tuan William sedang tidak ada di ruangan saat ini. Jika ada pesan----" sebelum Si Sekretaris menyelesaikan kalimatnya, Si Penelpon melontarkan kalimat makian dan menutup teleponnya dengan kasar.

Kejadian serupa terjadi hampir di seluruh pesawat telepon yang diterima.

Setelah menerima telepon, para pekerja memberikan reaksi yang sama. Merapatkan bibir, tersenyum kecut, dan menghela napas panjang. Kemudian, menatap ruangan di seberang dengan tatapan tidak terbaca. Ruangan tempat William Frederick Laniana bekerja.

Di dalam ruangan, William tidak kalah gusar. Layar ponselnya dengan setia menampilkan pesan-pesan teguran dari koleganya. Seakan tidak mau kalah, surel-surel terus berdatangan dan memenuhi e-mailnya dengan isi pesan kurang lebih sama dengan yang diterimanya di ponsel.

Tidak berapa lama, ponsel milik William menerima panggilan telepon dari seseorang yang tidak bisa dia abaikan seperti kolega lainnya.

Dengan enggan, William meraih ponselnya. "Halo?"

"Will, perusahaanmu dalam keadaan luar biasa ya," sarkas Si Penelepon tanpa basa basi.

William melonggarkan ikatan dasinya sembari menyandarkan tubuhnya dengan letih di kursi. "Jika kau meneleponku hanya untuk menegur dengan rengekkan bayi seperti yang lainnya, kusarankan kau segera menutup telepon. Aku bukan tipe yang membiarkan emosiku terbuang sia-sia dan menjadi terpengaruh ketika suasana sedang keruh." Jari jemari William bergerak memijat lembut pelipisnya seraya menenangkan pikirannya dari pikiran-pikiran kusut yang terus terbentuk di otaknya.

"Yah ... aku hanya mulai ragu bahwa kau adalah sekutu terbaikku untuk menjatuhkan Isaiah. Kau tahu, aku hampir menangis karena tertawa mendengar bocah Isaiah itu membekukan aktivitas bisnismu."

"Dia tidak membekukan bisnisku," sahut William emosi. "Belum," lanjutnya dalam hati.

Samar-samar terdengar kekeh kecil mengejek dari seberang telepon. "Belum. Tapi segera, jika kau hanya berdiam diri seperti Raja Singa cacat yang kehilangan taringnya," kata Si Penelepon seolah bisa membaca pikiran William.

Mendengar dirinya dihina oleh salah satu bajingan terkutuk, William kehilangan kendali atas emosi yang berusaha ditahannya. Dengan nada suara yang sanggup membuat pendengarnya bergidik ngeri, ia berkata, "Camkan ini baik-baik. Jangan samakan aku dengan darah terkutukmu itu. William Frederick Laniana tidak akan jatuh. Tidak akan. Setelah semua yang telah kukorbankan untuk tahta ini."

Dan sambungan telepon diputus.

William mengepalkan tangannya. Wajahnya datar, namun entah mengapa justru terlihat lebih mengerikan. Ia terpaku di tempatnya beberapa saat kemudian meraih kembali gagang telepon yang sebelumnya ditaruhnya dengan kasar.

"Keir."

---**---

"Ya, aku mengerti. Lanjutkan seperti yang sudah kita rencanakan. Neraka yang ia lalui saat ini belum ada apa-apanya dibandingan dengan yang kulalui setiap harinya. Ia harus menderita lebih, lebih, dan lebih lagi," kata pria rupawan dengan matanya yang menyerupai api biru yang dibarengi kilatan topan. Sekilas tampak dingin, tenang, dan indah. Namun kau tidak tahu bahaya apa yang menyertainya.  Bahaya yang disembunyikan dengan rapi dan sedemikian rupa hingga kau tidak menyadari tenggelam di dalamnya tanpa jalan keluar dan tidak ada pilihan lain selain pasrah dan menerima ajalmu.

"Hentikan, Ryu. Kau akan menyakiti Alin, Miki, dan jutaan keluarga yang menggantungkan nasib mereka pada Laniana serta seluruh Laniana. Keluargaku," pinta bayangan tembus pandang yang berdiri di depan meja kerja Ryu. Wajahnya begitu sedih, tampak hancur, seolah telah kehilangan seluruh dunia.

Meski hanya imajinasi buatannya. Ryu merasakan hatinya juga ikut hancur melihat kesedihan ilusi Freya. Ia bangkit dari kursinya, berusaha memeluk bayangan tembus itu, dan terduduk di lantai dengan hati yang telah hancur berkeping-keping ketika menyadari tidak ada yang dapat ia perbuat untuk menyemangati bayangan ilusi itu, maupun sosok aslinya di masa lalu.

"Maafkan aku ... maafkan aku .... jika aku tidak meninggalkanmu maka hal ini tidak akan pernah terjadi," Ryu memegangi dadanya yang kesakitan, "mengapa tidak aku saja yang mati? Mengapa dari sekian banyak orang harus kau yang semenderita ini?Mengapa?"

Ia menangis semakin pilu dan tenggelam semakin jauh dalam kedukaannya. Suara-suara menghilang, diiringi dengan hawa keberadaan benda-benda sekitar. Seolah Ryu terdampar dalam ruang di mana waktu tidak berjalan dengan duka dan luka yang semakin parah setiap detiknya.

"Tuan, berdirilah. Walaupun ini terdengar kejam, namun kau harus tetap tegar dan terus bangkit dari keterpurukanmu. Kau harus menemukan kebenaran dan menyelesaikan perang berdarah ini," kata sebuah suara yang tidak asing lagi.

Secara refleks, Ryu menengadahkan kepalanya, namun tangan mungil mencegah matanya untuk melihat rupa si pemilik. "Kau tidak bisa melihatku, Tuan. Jika kau melakukannya kau akan kehilangan kesempatan untuk melihatku di masa depan," ia terdiam sejenak. "Seharusnya aku tidak berbicara sembarangan padamu. Dan tidak menjanjikan hal yang tidak bisa kutepati." Ia berhenti lagi. "Seharusnya aku tidak pernah menemuimu. Tapi aku begitu merindukanmu, dan melupakan resiko besar yang harus kutanggung sebagai akibatnya."

Sosok tersebut perlahan menarik kembali tangannya. "Ingatlah dan resapi setiap perkataanku. Aku tidak bisa berkata banyak. Atau 'mereka' akan menyeretku kembali. Cyaa, ...." kata-kata terakhir sosok tersebut samar-samar. Begitu pelan dan terbawa sapuan angin.

Begitu membuka mata. Sosok tersebut hilang tanpa jejak sedikitpun. Ryu mengambil napas dalam-dalam, bangkit, dan meraih gagang telepon dengan tegap.

"Halo? Keir?"

---**---

To be Continued.

Secret of Heart - RevealedWhere stories live. Discover now