SoH - 17. Kebenaran

451 41 1
                                    

Menjelang malam hari, suhu udara semakin turun. Angin berembus cukup kencang hingga merontokkan sisa-sisa daun maple yang bergantung rapuh di cabang pohon. Sementara sang rembulan bersinar dengan eloknya di atas kota London.

Di pinggiran kota London, tampak sebuah mobil berhenti di salah satu bar yang di sepanjang jalan masuknya terdapat timbunan daun maple yang gugur.

Seorang pria bertubuh tinggi keluar dari mobil tersebut. Ia meraih mantel abunya yang berwarna senada dengan setelan formal yang dipakai, berharap mantel tersebut mampu menghangatkan fisik dan hatinya yang membeku. Suara pintu mobil ditutup terdengar nyaring dalam keheningan sekitar. Keheningan yang berbanding terbalik dengan suasana yang seharusnya timbul dari sebuah bar.

Lama ditatapnya bar tersebut dengan mata birunya yang menyerupai musim dingin. Bibirnya terkatup rapat menghiasi wajah tampannya yang mulai mengeras.

Beberapa saat kemudian ia mulai melangkahkan kaki, menyusuri setiap tapak yang diambilnya dengan perasaan beragam.

Udara dingin segera tergantikan dengan udara hangat segera setelah pria tersebut memasuki bar. Cahaya lampu temaram khas sebuah bar menyambut kedatangannya. Aroma berbagai jenis minuman anggur berkualitas tinggi menyeruak memasuki indra penciumannya, seolah-oleh menggoda siapapun yang datang untuk tenggelam dalam kenikmatan yang dapat ditawarkan.

"Ryu," sapa seorang pria ketika melihat sosok yang ditunggunya terlihat.

"Maaf, Aku terlambat keluar kantor sehingga terjebak dalam kemacetan," kata Ryu seraya menduduki kursi di sebelah pria yang menyapanya.

"Nevermind. Aku juga belum lama sampai."

Ryu tersenyum. "Begitukah?"

Pria itu balas tersenyum pada Ryu. Netra cokelat terangnya berkilau ketika itu. Ia segera memberi isyarat kepada bartender agar membawakan anggur.

"Jadi, ada perihal apa kau mengajakku minum-minum?"

Ryu menyesap anggur yang dibawakan si bartender. "Tidak ada hal khusus, Keir."

Ketika Ryu menjawab pertanyaan Keir yang satu itu, air mukanya tampak ganjil. Untuk sepersekian detik, Keir merasa dirinya bergidik. Sebelum sempat menanyakan arti dari ekspresi yang ditampilkan Ryu, dua orang berjalan mendekati mereka.

"Mr. Keir," kata salah seorang yang baru saja tiba. Wanita itu menatap Keir dengan tatapan keheranan sebelum beralih pada Ryu.

"Kukira kau hanya mengajakku," kata Keir ketika perasaan ganjil yang timbul pada dirinya semakin kuat saat Blaire datang bersama Raka.

Bukannya menjawab, Ryu justru terkekeh. Ia menyesap beberapa teguk anggur sebelum kembali berbicara.

"Raka, tolong berikan dokumen-dokumen itu pada mereka," kata Ryu mengabaikan Keir.

Raka segera meraih dokumen-dokumen yang telah disiapkan dengan cekatan. Kemudian memberikan masing-masing kepada Keir dan Blaire.

Keduanya membaca dokumen tersebut dengan wajah datar. Namun, sebaik apapun mereka menyembunyikannya, Ryu mampu menangkap ekspresi getir yang muncul.

"Apa maksudnya ini, Ryu?" tanya Keir begitu selesai membaca dokumen yang diberikan Raka.

Masih mengabaikan Keir, tatapan Ryu beralih pada Blaire. Reaksi getir yang diberikan wanita itu berbeda jauh dengan reaksi yang diharapkan Ryu.

"Kurasa semuanya cukup jelas tertulis di sana. Kebenaran yang tidak pernah kusadari dengan bodohnya sembilan tahun yang lalu" jawab Ryu. Ia bangkit, kali ini ia menatap lurus pada Keir dengan netra birunya yang sedingin es. "Mengapa informasi keberadaanku dan Freya sangat mudah diketahui, dan mengapa Seira keluar dan menjemput Lily yang sekarat tanpa penjagaan dari 'rumahmu'," ia tersenyum miris, "karena yang kusangka kawan adalah lawan yang sangat pandai berpura-pura. Pengkhianat yang berhasil menipuku dengan samarannya. Kau, Keir."

Keir terdiam, ia menatap Ryu dengan tatapan tak terbaca. Ryu beralih berjalan mendekati Blaire yang terus menatapnya.

Ryu menurunkan pandangan, menyejajarkan pandangan dengan Blaire yang tampak sangat mungil di hadapannya.

"Dan untukmu, aku sangat menikmati bekerja dengan seseorang yang tidak mengejarku seperti ngengat yang melihat cahaya---terlepas dari sikap dingin dan mulut tajammu---dan aku sekarang mengerti alasannya. Karena kau mendekatiku dengan tujuan yang sama sekali berbeda."

Ryu mencodongkan tubuhnya semakin ke depan, membuat Blaire memundurkan tubuhnya ke belakang secara otomatis.

"Apakah menyenangkan menipuku? Berpura-pura bekerja padaku sementara di sisi lain kau memata-mataiku dan memanipulasi data perusahaanku?" tanya Ryu yang hanya dijawab kebisuan oleh Blaire. Ryu menyeringai, menjauhkan tubuhnya dan berjalan menuju pintu keluar bar.

"Mulai sekarang jangan menunjukkan wajah kalian padaku. Aku tidak tahu apa yang sanggup kulakukan, aku cukup bermurah hati tidak mencekik kalian saat ini. Demi Tuhan akan kulakukan jika mengingat perbuatan kalian yang selalu berhasil membuat darahku mendidih, menyulut amarahku, dan mencabik kepercayaanku, " Ryu terdiam sesaat, "tapi jika kalian sudah tidak sabar untuk kuhancurkan, maka lakukanlah. Bagaimana bisa kuhentikan serangga yang memohon untuk dilenyapkan?"

Tanpa menoleh ke arah Blaire dan Keir yang masih terpaku, Ryu berjalan kembali, diikuti oleh Raka yang sejak tadi membisu dengan wajah yang tidak bisa disebut bersahabat.

---**---

"Bagaimana bisa mereka---adalah pengkhianat---" Raka menghentikan ucapannya, beralih pada Ryu yang terlalu diam.

Raka menyandarkan punggungnya ke jok mobil. Berharap dapat mengurangi rasa lelah luar biasa yang sejak kemarin menggerogotinya.

Ia memejamkan mata. "Sulit bagiku untuk mempercayai bahwa sejak awal Keir datang hanya untuk membalas dendam pada keluarga Laniana yang membuat Sarah menderita. Kukira perasaanya pada Sarah tidaklah sedalam itu."

"Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu?" sahut Ryu, namun fokusnya masih entah di mana. "Yang paling kusesali adalah ... diriku di masa lalu yang penuh ketidaktahuan dan tanpa sadar mengantarkan Freya pada malaikat maut."

"Ayolah," kata Raka mulai geram dengan pikiran negatif Ryu, "masa lalu tidak akan pernah berubah. Berlarut-larut dalam penyesalan bukanlah tindakan bijak---bodoh iya."

"Jadi, karena aku telah menyingkirkan duri dalam daging yang sangat menggangu---apakah kau sudah mempersiapkan pertunjukkan selanjutnya?" ujar Ryu mengabaikan Raka.

Kesal diabaikan, Raka hampir berniat melakukan hal yang sama. Namun, alih-alih melakukannya, ia justru menjawab dengan sabar.

"Ya, tak usah khawatir."

Ryu menarik salah satu sudut bibirnya. "Bagus. Aku tidak sabar melihat para musuhku hancur."

Gambaran satu per satu musuhnya tumbang dalam kekalahan tampak begitu menggembirakan. Ryu tidak sabar melihat musuh-musuhnya jatuh ke dalam neraka penderitaan yang pernah dilaluinya---bahkan yang jauh lebih buruk.

"Tapi Ryu, bukankah memberitahu musuhmu kalau kau sudah mengetahui kedok mereka justru akan mempersulit rencanamu? Bagaimana jika mereka menjadi lebih waspada?"

"Justru itu yang kuinginkan," sahut Ryu dengan senyuman ganjil, "tidak ada kesenangan ketika menghancurkan seseorang dalam ketidaktahuan. Aku menginginkan mereka sadar sesadarnya saat aku menginjak-nginjak setiap hal berharga yang mereka wujudkan dengan mengorbankan Freya dan juga orang lain dengan egoisnya. Aku akan mengajarkan mereka apa arti keputusasaan sejati. Menyaksikan segalanya hancur berkeping-keping tepat di depan hidungmu dan tak ada satupun yang bisa kau lakukan untuk mencegahnya."

---**---

To be Continued

If you liked this chapter, please consider to give a vote 😉
Thanks for reading, your voment, and your support until now 😊
Stay tune!

Sincerely,

Nina.

Secret of Heart - RevealedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang