SoH - 27. Miracle

497 41 4
                                    

Semenjak kepergian Freya, Ryu tidak pernah berharap muluk-muluk untuk hidupnya. Ia hanya berdoa agar mempunyai umur yang cukup untuk menuntut balas cecunguk sialan yang membuat dirinya dan Freya menderita. Tidak lebih.

Kenyataan Freyanya masih hidup dan kembali merupakan anugerah tiada tara dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Ryu tidak mengira Tuhan masih sebaik hati itu padanya, mengingat bagaimana kemalangan yang terjadi sembilan tahun silam.

Namun rupanya, hadiah dari Tuhan tidak sampai disitu. Harapan kecil yang telah lama padam dalam diri Ryu kembali menyala.

Sosok gadis kecil dengan wajah Ryu versi perempuan, membuatnya berharap cemas. Mata ungu antiknya yang menatap Ryu dengan lurus serta penuh keyakinan semakin mengobarkan api harapan dalam hidup Ryu.

"Senang bisa menemuimu secara terang-terangan, Tuan," kata gadis itu pada Ryu yang membatu cukup lama, ia menarik bibirnya yang kemudian membuat lengkungan senyum yang sama persis dengan cara Ryu tersenyum. "Tidak, bukan 'Tuan' tapi 'Papa'."

Gadis itu tersenyum lebar dengan sangat manis. Senyuman yang mampu menurunkan hujan di padang tandus dalam hitungan detik, mencairkan salju abadi, dan mendatangkan musim semi untuk menggantikan musim dingin berkepanjangan.

Itulah yang terjadi pada Ryu saat ini. Wajah besi dan pandangan sinis yang dibangunnya selama bertahun-tahun luluh lantak dalam sekejap. Ia menatap Freya dan gadis itu bergantian beberapa kali dengan tatapan gusar sebelum mendekati gadis kecil itu.

Ryu berlutut di depan gadis itu. Menatapnya lekat-lekat, tidak membiarkan detail sekecil apapun lolos dari jangkauannya. Wajah dirinya versi perempuan dengan netra ungu antik khas Freya. Bukti konkrit bahwa gadis itu bukan gadis kecil sembarangan dan mempunyai hubungan dengan dirinya dan Freya.

Ryu mengulurkan tangan, membelai wajah gadis itu dengan lembut, seolah-olah gadis itu akan menghilang seperti kabut jika Ryu tidak menyentuhnya dengan hati-hati.

"Papa?" ulang Ryu tidak percaya, matanya berkaca-kaca.

Gadis itu kembali memamerkan senyum manis mautnya, memperlihatkan deretan gigi putih yang tersusun dengan rapi. "Papa," jawab gadis itu tambah yakin, "senang bertemu denganmu."

Hati Ryu bergetar. Ia merengkuh gadis itu ke dalam dekapannya. "Ya Tuhan, aku tidak tahu harus berkata apa," Ryu menitikkan air mata haru, sekarang ia mengerti mengapa ia merasa tidak asing dengan gadis ini.

Gadis itu menepuk-nepuk punggung Ryu. "Masih ada yang harus kau temui, Papa."

Ryu menengadah, sedikit bingung dengan ucapan gadis itu. Gadis itu membalas tatapan bingung Ryu dengan senyuman misteriusnya.

Tidak beberapa lama, terdengar langkah kecil mendekat. Pemilik langkah itu, dua orang anak laki-laki berusia sama dengan sang gadis kecil.

Mereka berhenti tepat di hadapan Ryu, menatap Ryu dengan tatapan hangat, kemudian tersenyum dengan cara yang sama dengan senyum si gadis kecil. Mengguncang Ryu dan dunianya.

Jika gadis itu adalah cerminan Ryu versi perempuan, salah satu anak laki-laki adalah Freya versi laki-laki, rambut merah jahe bergelombang yang dipotong pendek tertata rapi dengan netra ungu antik yang menghiasi. Sementara yang satunya adalah perpaduan selaras dari Ryu dan Freya. Ryu bisa melihat dirinya dan Freya sekaligus pada wajah anak itu, namun ia memiliki surai hitam legam dan mata biru langit khas Ryu.

"Senang bertemu denganmu, Papa," kata kedua anak laki-laki itu berbarengan. Mereka membetangkan tangan dan ikut mendekap si gadis kecil dan Ryu sekaligus. Ryu bisa merasakan kehangatan dan rasa sayang mereka untuknya.

Tembok besi dingin yang dibangun Ryu bertahun-tahun lamanya hancur tanpa sisa. Bahunya terasa ringan dan tanpa beban. Ryu tidak yakin kakinya sedang berpijak di tanah saat ini. Ia merasa sangat ringan, seperti melambung di udara.

"Mama," kata si gadis kecil itu tiba-tiba. Ia melepaskan diri dari Ryu dan setengah berlari ke arah Freya yang kemudian diikuti dua anak laki-laki lainnya.

Mereka mengerubungi Freya, tampak sangat lega dan bahagia ketika pemilik surai merah jahe itu membuka netra ungu antiknya.

Melihat pemandangan tak terlukiskan di hadapannya membuat hati Ryu mencelus. Freya yang kelilingi versi kecil diri mereka memberikan kebahagiaan yang meluap-luap dalam diri Ryu, rasa bahagia itu membuncah dalam dadanya, membuat kelenjar air mata Ryu bocor dan tidak berhenti. Ryu tidak menyangka bisa melihat mimpi mustahilnya terwujud.

Ia mengambil satu langkah ke depan dengan perlahan, langkah berikutnya lebih cepat dan kemudian ia berada tepat di samping Freya, merengkuh semuanya sekaligus ke dalam dekapannya.

"Jika ini mimpi, kumohon jangan biarkan aku terbangun," kata Ryu parau.

Mereka membalas dekapan Ryu sambil menepuk-nepuk punggung Ryu.

---**---

"Tunggu, biarkan aku berpikir," kata Raka. Ia memijat keningnya, berusaha keras memutar kembali memori terakhirnya. Ia ingat terakhir kali mencoba menghentikan Ryu menemui William, lalu begitu tiba ada ledakan di gedung yang ia tuju dan ketika ia mencoba memperingati Bam dirinya justru kehilangan kasadaran.

Lalu bagaimana ceritanya ia bisa berakhir duduk di sofa yang sama dengan Bam bersama orang-orang yang tidak dikenalnya. Ralat, tidak semuanya asing. Hanya satu orang yang pertama kali dilihatnya, namun ia bisa menebak siapa gerangan itu.

Raka memperhatikan mereka penuh kecurigaan, dari pria yang diduga kuat adalah Merlin, beralih pada Keir, lalu Seira yang disangkanya mati sembilan tahun lalu dan nyatanya masih sehat bugar hingga kini, kemudian adik kembarnya yang lama terpisah dan menjadi buronan CIA dan FBI, terakhir kakak dari Lin yang ikut pindah bersama adiknya dari Akademi Frisuki.

Serius. Sebenarnya apa yang terjadi? batin Raka kebingungan.

Ia beralih menatap Bam dan mendapati temannya tidak kalah terkejut dan kebingungan dari dirinya.

Benarkah yang mereka dengar? Nyatakah yang mereka lihat? Atau ia dan Bam mengalami mimpi yang sama? Jangan-jangan justru ini alam akhirat.

Mengakui ini alam akhirat atau mimpi lebih masuk akal bagi Raka dan Bam.

"Tidak ada banyak waktu yang tersisa, kakak," kata Saphira tidak sabar menunggu keterkejutan Raka dan Bam hilang. Reaksi bodoh mereka membuat Saphira kesal. "Ini bukan mimpi, ini kenyataan, dan apa yang kami katakan pada kalian adalah kebenaran, jadi tolong segeralah sadar dan bujuk Ryu agar mau bekerja sama. Ini adalah masa-masa yang sangat krusial. Kita harus bertindak dengan cepat, atau kita akan kehilangan segalanya yang sudah kita bangun dan lindungi dengan susah payah selama ini."

"Bagaimana kami yakin kalian tidak menipu kami? Siapa yang melindungi siapa?" balas Bam sinis, keterkejutannya sudah hilang begitu mendengar perkataan Saphira. Ia tidak bisa mempercayai mereka, dan ia tidak akan membiarkan dirinya dijadikan alat untuk memanfaatkan Ryu demi kepentingan pribadi mereka.

"Sudah kukatakan, tidak akan mudah, Saphira," kata Merlin. Ia menatap Raka dan Bam lurus. Kharisma yang dipancarkannya membuat mereka terdiam. "Aku yakin kalian adalah orang dewasa yang cerdas, mengingat apa yang telah kalian capai di usia semuda itu," ia tersenyum tipis, "dan karenanya, kalian bisa menilai sesuatu dengan bijak dan rasional, bukan? Jadi berhentilah emosional dan berpikir dengan jernih. Kita tidak punya banyak waktu."

Bam menggertakkan gigi dengan kesal. Ia bangkit dari sofa dan menatap nanar Merlin, "Persetan. Urus saja sendiri! Jangan bermimpi untuk mendapatkan bantuanku."

Begitu berbalik, Bam justru mendapati Ryu berdiri tidak jauh di hadapannya sambil memapah Freya, dari balik tubuh Ryu, ada tiga anak kecil yang memiliki wajah Ryu dan Freya menatapnya ragu-ragu.

"Katakan, apa rencanamu?" ujar Ryu lantang. Ia menatap tajam Merlin yang tersenyum melihatnya.

---**---

To be Continued.

If you liked this chapter, please consider to give a vote 😉
Thanks for reading, your voment, and your support until now 😊
Stay tune!

Sincerely,

Nina.

Secret of Heart - RevealedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang