Bab 1 ~ Penyihir Gagal

863 136 4
                                    

Desa Hioriun, Lembah Heiszl

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Desa Hioriun, Lembah Heiszl

Wester tahu, angin tak pernah mau tunduk padanya, bahkan mungkin mendengar panggilannya pun tidak. Itulah yang kemudian membuatnya mencoba meminta bantuan pada burung hantu, pohon trembesi, awan gelap, ataupun—yang terlarang—makhluk-makhluk halus.

Selama berhari-hari ia berbisik, memohon pada mereka untuk membantunya. Ia pernah melihat seorang penyihir melakukan hal semacam itu, jadi mungkin ia bisa melakukannya juga.

Sayangnya, tidak ada satu pun yang menjawab. Mungkin karena bahasa yang ia gunakan terlalu tinggi, atau mungkin malah terlalu rendah buat mereka. Mungkin juga karena ia memang bodoh.

Ayahnya pernah berkata, seorang pengendali angin tidak butuh bantuan dari siapa pun. Pengendali angin sejati akan merasakan butir-butir energi muncul dengan sendirinya di dalam tubuh, mengalir dalam darah, berkumpul di perut, lalu naik ke tenggorokan dan terasa asam di bibir sesaat sebelum dilepaskan lewat mantra atau embusan napas.

Namun, mau bagaimana lagi, Wester sudah tiga belas tahun, dan tak bisa melakukan sihir sederhana yang mestinya bisa dilakukan anak umur sepuluh tahun! Wajar jika kemudian ia terdesak melakukan hal yang aneh-aneh seperti meminta bantuan pada pohon atau burung.

Apalagi menjelang ujian kenaikan tingkat seperti hari ini, yang sudah tiga tahun berturut-turut selalu gagal ia lewati. Anak-anak seumurannya sejak dulu sudah pergi untuk mempelajari sihir-sihir yang lebih sulit, sementara di sini ia masih harus berjuang bersama anak-anak yang lebih kecil. Setiap tahun selalu muncul anak-anak baru, dan setiap tahun pula mereka melampauinya.

Akhirnya, seperti sudah diduga, kembali ia gagal dalam ujian. Saat anak-anak lainnya berhasil membuat angin berputar-putar hingga menerbangkan dedaunan di sekitarnya, Wester tetap tak mampu menggerakkan udara di depannya sedikit pun. Benar-benar memalukan. Anak-anak itu menertawainya, sedangkan gurunya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala putus asa.

"Aku akan bicara pada ayahmu," kata gurunya itu. "Kuharap pada akhirnya ia mengerti, bahwa kamu memang tidak bisa menjadi penyihir."

Wester malu dan takut. Ia bisa membayangkan bagaimana reaksi ayahnya. Beliau pasti akan malu juga, kemudian marah. Namun, kata gurunya ini tetap harus dilakukan, supaya ayahnya tidak terus berharap.

Maka begitu ujian selesai sang guru mengunjungi Weidross, ayah Wester, di rumahnya. Mereka bicara lama, lalu sang guru pergi.

Sang ayah kemudian memanggil Wester.

Tak disangka, sang ayah justru menyalahkan gurunya itu. "Ia tidak becus mengajarimu. Enak saja dia bilang kamu tidak berbakat."

Wester menjawab pelan, "Mungkin itu memang betul."

Ayahnya langsung meledak, tak mau menerima pendapat itu. "Kakekmu dulu salah satu penyihir terhebat yang pernah ada di Lembah Heiszl, apa kamu tidak ingat?"

Wester mengangguk seraya menarik napas. Kakeknya dulu dijuluki sebagai Guru Angin, dan di Lembah Heiszl yang dingin dan selalu diselimuti hujan, orang yang mampu mengendalikan angin seperti sang kakek, dianggap hanya setingkat levelnya di bawah Jiwa Yang Agung.

Weidross tak pernah bosan menceritakan hal ini. "Bakat kakekmu itu menurun ke Ayah, lalu ke kamu dan semua kakakmu. Mungkin tidak sampai sebesar kakekmu, tetapi bakat itu ada! Kamu hanya tinggal mencari cara agar bakat itu bisa keluar, dengan berusaha lebih keras, dan dengan belajar dari guru yang bagus! Seandainya bisa, pasti Ayah yang akan mengajarimu, tetapi Ayah tidak bisa, jadi kita harus mencari guru. Mengerti?"

Wester mengangguk lagi. Ayahnya waktu muda pernah mengalami kecelakaan saat mempraktikkan sihir api, yang membuat bagian dalam tubuhnya mengalami luka parah. Luka itu berhasil disembuhkan, tetapi setelah itu dia tidak bisa lagi menggunakan sihirnya dengan baik, dan hanya bisa melakukan sihir sederhana. Itulah yang membuat dia tidak bisa mengajarkan sihir kepada anak-anaknya, dan harus mencari guru untuk mereka.

Hal itu juga yang kemudian membuat derajat keluarga mereka di Lembah Heiszl menjadi turun dan tak lagi dihormati seperti dulu di jaman sang kakek, dan mendorong Weidross untuk terus memaksa anak-anaknya.

Namun, bukankah dia sebaiknya juga mulai menerima kenyataan, bahwa tidak semua anak penyihir bisa menjadi penyihir? Ada beberapa kisah di masa lalu yang menunjukkan hal itu, yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, tetapi pernah terjadi, dan Wester mungkin salah satu contohnya.

Ia bukannya tidak berusaha. Wester yakin ia sudah coba belajar dan berusaha sangat keras, tetapi jika hasilnya memang tidak ada, ia bisa apa?

Kini, akibatnya ia justru mulai tidak suka dan bahkan membenci sihir karena diharuskan terus mencoba sesuatu yang tak pernah bisa ia lakukan selama bertahun-tahun.

Tentu saja, jika pemikiran ini sampai diketahui ayahnya, dia pasti akan semakin marah. Namun, Wester sudah telanjur berpikir, kenapa semua sepertinya harus dikaitkan dengan sihir? Seakan-akan tak ada hal lain yang patut dipelajari di dunia ini, dan juga lebih menyenangkan.

Soal ini semakin mengusiknya, dan sayangnya ayahnya tidak akan mau mengerti. Dia tetap akan memaksa Wester belajar sihir, tanpa pernah mau mendengarkan pendapatnya. Pada akhirnya Wester memilih diam, dan mengiyakan saja omongan ayahnya yang terus mengomelinya.

Wester kemudian lebih memilih mengeluarkan unek-uneknya pada orang lain. Teman barunya yang bernama Mina, seorang gadis Houlund berkulit cokelat dan berambut hitam yang memiliki mata bundar cemerlang.

Umur gadis itu lima belas tahun, dua tahun lebih tua dibanding Wester. Dia datang bersama belasan orang lainnya ke Lembah Heiszl untuk berdagang. Mereka menjual perkakas dan barang-barang dari logam, juga pakaian dan perhiasan, lalu membeli obat-obatan dan benda-benda bermantera dari orang-orang Heiszl.

Rombongan pedagang itu berasal dari negeri Tavarin, dan biasanya mereka berdiam di Lembah Heiszl selama beberapa minggu saat musim panas, sebelum kemudian pergi ke negeri-negeri lain yang lebih jauh.

Mendengar cerita Wester, gadis itu malah bertolak pinggang dengan gayanya yang mirip anak laki-laki. "Memangnya apa yang kamu suka? Bilang saja terus terang, daripada mengomel terus. Kamu sendiri tidak tahu apa yang kamu suka."

Belum apa-apa dia sudah langsung menuduh. Padahal dia baru kenal Wester sebentar, tapi sudah merasa paling tahu.

"Aku tahu apa yang aku suka!" jawab Wester.

Ia selalu senang berbicara dengan Mina karena gayanya yang ceplas-ceplos, tetapi di sisi lain ia juga tak ingin membuat gadis itu semakin berlagak.

Wester berpikir keras, berusaha menemukan jawaban tentang apa yang sebenarnya ia suka, atau ingin ia lakukan.

Pandangannya lalu tertumbuk pada sederet pisau yang menjadi barang dagangan di kereta kuda yang dinaiki Mina.

Di Lembah Heiszl pisau biasanya hanya dipakai untuk memotong sayuran atau buah-buahan, tetapi pisau-pisau yang dibawa Mina ini kelihatannya berbeda. Gagangnya berukir dan bilahnya lebar. Wester curiga pisau-pisau ini punya kegunaan khusus di negeri-negeri di luar sana. Negeri-negeri yang pastinya penuh warna, tidak suram seperti Lembah Heiszl.

Maka, tiba-tiba ia terpikir sesuatu. "Hei, Mina, menurutmu jadi pedagang itu menyenangkan?"

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now