Bab 18 ~ Prajurit dan Penjahat

106 61 2
                                    

Walau hujan mengguyur deras, di dalam kereta sejauh ini masih terasa hangat. Ini mestinya waktu yang paling menyenangkan untuk tidur. Memangnya akan terjadi apa? Wester bertanya-tanya. Mina memang gila.

Namun, kejadian berikutnya membuktikan, gadis itu tidak sepenuhnya gila, dan mungkin justru sangat berbahaya. Kalau saja Wester tadi terjebak mengikuti taruhan yang Mina tawarkan, ia bakal kehilangan satu tihr lagi!

Saat itu lewat tengah malam, sepertinya, dan hujan sudah mulai berhenti, ketika Wester terbangun. Kali ini bukan bangun sendiri, melainkan justru dibangunkan oleh Mina. Gadis itu duduk di sebelahnya, merapat ke dinding kereta, tetapi pandangannya keluar, ke arah penginapan melalui celah-celah terpal di bagian depan kereta.

"Betul, 'kan? Sesuatu telah terjadi."

"Apa?" Wester malas menanggapinya. Ia masih mengantuk dan belum mau duduk.

"Coba lihat itu, di pintu depan. Yang berdiri di sana adalah dua prajurit kerajaan yang tadi datang setelah kita makan malam. Coba pikir, kenapa mereka yang berjaga? Mereka 'kan tamu. Bukankah seharusnya Tarron atau anak buah Tuan Hiller lainnya yang berjaga?"

"Memangnya kenapa? Bisa saja para prajurit itu menawarkan diri untuk menjaga. Bukankah itu berarti mereka prajurit yang baik, karena bersedia membantu?"

"Menurutku aneh." Mina tetap ngotot.

Wester akhirnya terpaksa bangun dan duduk di samping gadis itu.

"Lihat," kata Mina. "Kenapa pintu ruang makan dibiarkan terbuka? Kalau memang sedang berjaga, kenapa tidak ditutup saja? Toh ini sudah malam."

Wester ikut mengintip dari balik terpal, dan memperhatikan pintu yang kedua daunnya terbuka sebagian. Memang benar, ada dua prajurit yang berjaga di depan pintu. Beberapa kali keduanya tampak melihat ke dalam ruang makan.

"Mereka lebih sering melihat ke dalam rumah, bukannya memperhatikan ke luar, seperti penjaga biasanya. Ini berarti ada sesuatu yang sedang terjadi di dalam rumah." Mina termangu beberapa saat.

Tiba-tiba gadis itu berdiri dan berjalan ke belakang kereta. Ia membuka terpal belakang, lalu melompat keluar.

"Hei, hei!" Wester terkaget-kaget. "Mau ke mana?"

"Ada jendela di samping ruang makan. Aku bisa mengintip dari sana."

"Buat apa? Belum tentu ada apa-apa!"

"Mau bertaruh?" Mina menyeringai.

Bertaruh lagi? Wester mulai sebal mendengarnya. "Justru kalau memang ada sesuatu, bisa berbahaya buatmu! Bagaimana kalau ada yang melihatmu?"

"Tidak akan," kata Mina tak sabar. "Sudah, kamu mau ikut tidak? Cepat, putuskan! Hah, berani bertaruh, kamu memang tidak akan berani. Satu tihr."

"Hhhhh. Baik, aku ikut!"

"Bagus, berarti kamu tak perlu berhutang satu tihr lagi padaku."

Wester menggeram. Mina dan taruhan satu tihr-nya itu lama-lama mulai mengatur hidupnya! Mestinya ini tidak boleh dibiarkan!

Wester melompat turun menyusul Mina. Kemudian ia teringat sesuatu.

"Sebentar, apa Ginia atau Eddar tidak berjaga?"

"Tidak," jawab Mina. "Tuan Buschan mengizinkan semuanya tidur, dan penjagaan diserahkan sepenuhnya ke Tarron, sesuai perintah Tuan Hiller yang biasanya. Masalahnya, Tarron sendiri sekarang menghilang."

"Ini ... Rasanya ada yang tidak beres," Wester mulai tegang.

"'Kan sudah kubilang." Mina malah nyengir, bukannya takut.

"Apa tidak sebaiknya kita bilang pada Eddar atau Ginia?"

"Tidak ada waktu lagi. Kita bisa kehilangan pertunjukan." Mina menyeringai lagi. "Ayo."

Pertunjukan? Dia memang tidak waras!

Keduanya mengendap-endap di sela-sela kereta, lalu melangkah setengah berlari ke samping bangunan. Kedua prajurit yang berjaga di depan pintu tidak melihat mereka. Wester dan Mina terus berjalan hingga ke bawah sebuah pohon besar. Dari sana mereka bisa mengintip ke ruang makan melalui jendela.

Wester memperhatikan, mulai dari pintu masuk yang terbuka di sebelah kiri, sampai ke pintu dapur yang tertutup, lalu meja utama di seberang ruangan yang kosong, hingga tangga di sisi kanan.

Napasnya tertahan begitu melihat tubuh seseorang terbaring tak bergerak di samping tangga. Posisi orang itu agak tersembunyi di balik meja, tapi dari jendela masih bisa kelihatan jelas.

Wester menoleh ke arah Mina, dan gadis itu sama terkejutnya.

"Itu ... itu Tarron?" bisik Wester ketakutan.

Mina mengangguk. "Sepertinya—"

"Dia ... pingsan, atau ..." Wester tak berani melanjutkan ucapannya.

Mina juga tak sempat menjawab. Beberapa orang lebih dulu muncul dari lantai dua. Tiga orang berjejer, yang berjalan menuruni tangga dengan langkah terburu-buru. Yang paling kiri dan kanan adalah dua prajurit kerajaan lainnya, yang juga baru datang setelah makan malam. Sementara yang berjalan di tengah dengan mata dan mulut ditutup kain, serta tangan diikat di balik punggungnya adalah seorang yang dikenal oleh Wester dan Mina.

"Mereka menangkap Quino!" kata Mina dengan suara tercekat.

Wester mengangguk perlahan. Ia teringat lagi pada ucapan Tuan Buschan, tentang jangan sampai bertindak bodoh. Quino terbukti sudah bertindak bodoh, dan tampaknya kini baru saja ketemu batunya. Pemuda itu nekat berjualan drakunst, dan itu membuatnya melanggar hukum. Para prajurit kerajaan akhirnya berhasil mengetahui keberadaan Quino di sini, menangkapnya dan mungkin akan membawanya ke penjara di Tavar.

"Gara-gara drakunst." Mina menggeleng sedih.

"Tapi sejak kapan Quino ada di penginapan?" tanya Wester.

Mina menggigit bibirnya. "Kamu ingat tamu-tamu yang makan semalam? Ada yang tidak kelihatan, bukan? Salah satunya adalah Quino. Maksudku, bukan si istri yang datang bersama suaminya itu, tapi yang naik kereta satu lagi. Orang yang datang bersama dua laki-laki pendiam yang semalam makan di pojokan itu."

"Lalu kedua laki-laki itu siapa?"

"Mungkin prajurit kerajaan juga. Mereka membuat janji bertemu dengan lima prajurit lainnya di sini. Dua orang itu yang menangkap Quino di suatu tempat, sementara lima yang baru datang ini akan membawanya ke penjara."

Penjelasan yang masuk akal, pikir Wester.

Tapi Mina sepertinya tidak yakin. Kalau gadis itu yakin, ia pasti akan mengajak Wester bertaruh tihr sekali lagi!

Tampaknya Mina memang ragu. "Tapi, apa yang terjadi dengan Tarron? Ia pasti ... dilumpuhkan oleh para prajurit ini. Kenapa?"

"Mungkin Tarron termasuk penjahat juga?" tebak Wester. "Dia bekerja sama dengan Quino?"

"Kalau seperti itu kejadiannya, berarti Quino tidak datang ke penginapan ini sebagai tawanan. Dua laki-laki yang semalam makan di pojokan itu bukan penangkapnya, melainkan temannya juga!"

Wester mengangguk-angguk, mulai menemukan kejelasan. "Kemudian para prajurit datang, melumpuhkan Tarron dan kedua laki-laki itu, kemudian menangkap Quino."

Mina termenung, masih tetap belum yakin. "Tapi apa pentingnya Quino, sehingga hanya ia yang ditangkap dan dibawa pergi, sementara Tarron dan dua orang lainnya dilumpuhkan lalu ditinggalkan begitu saja?"

"Mungkin Quino tahu lebih banyak daripada yang kita kira."

"Ya." Mina mengangguk.

"Dan kalian sepertinya tahu lebih banyak daripada yang kukira, Anak-Anak." Suara berat tiba-tiba terdengar dari arah belakang.

Wester dan Mina terperanjat. Keduanya menoleh. Jantung Wester serasa berhenti ketika matanya beradu dengan mata orang yang baru saja menegur mereka. Dia Willar, si kepala prajurit Tavarin yang memiliki bekas luka memanjang di pipi kanan. Wester salah mengira ketika semalam berpikir senyuman orang itu tidak mengerikan.

Ternyata sekarang malah lebih mengerikan daripada apa pun.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now