Bab 15 ~ Rumah Hijau

138 63 1
                                    

Wester belum sempat bercerita pada Mina tentang gadis desa misterius yang dilihatnya kemarin di kota Erien. Pagi itu ketika semua orang sudah sibuk bersiap-siap untuk berangkat, Wester bahkan sudah lupa sama sekali.

Ketika akhirnya lalu teringat, ia memutuskan bahwa mungkin hal itu tak perlu lagi diceritakan, karena bisa jadi sama sekali tidak penting dan adalah kebetulan belaka gadis desa itu bisa berada di Erien bersama mereka.

Sepanjang hari rombongan mereka menembus deretan ladang dan padang rumput yang sepi. Saat malam tiba mereka beristirahat.

Tuan Buschan mengatur anak buahnya agar berjaga bergantian, termasuk Wester sempat pula mendapat giliran jaga. Untunglah tidak ada kejadian apa-apa malam itu. Mereka bisa tidur dengan nyenyak.

Sore di hari berikutnya mereka sampai di sebuah desa kecil di tengah padang rumput. Sebenarnya, tempat itu tidak cocok juga disebut desa, karena hanya ada satu buah bangunan besar bertingkat dua di sana, yang berisi tempat makan dan penginapan untuk siapa pun yang melewati padang rumput.

Penginapan itu bernama Rumah Hijau.

Tuan Buschan memerintahkan anak buahnya membawa semua kereta untuk diparkir di tanah lapang luas di sebelah kiri bangunan, yang menurut perkiraan Wester mestinya cukup untuk menampung tiga puluh kereta. Namun saat ini, selain rombongan mereka, hanya ada dua kereta lainnya di sana, lalu ada beberapa ekor kuda yang ditambatkan di samping rumah makan.

Untuk penginapan sebesar ini, rasanya jumlah pengunjung yang datang terlalu sedikit.

"Wajar saja," Mina berkata saat menambatkan tali kekang keledainya ke tiang. "Jalur yang melewati Rumah Hijau ini bukan jalan utama yang biasa dilewati para pedagang yang ingin bepergian dari Erien ke selatan ke Heiszl, atau sebaliknya. Kebanyakan orang lebih suka pergi dulu ke Annor, baru ke Tierra, seperti rencana Tuan Buschan sebelumnya, walaupun jadi lebih lama. Beberapa orang memang lebih suka melewati padang rumput seperti ini, karena suasananya yang sepi dan damai, tapi aku sih tidak terlalu."

"Tempat sepi begini bukannya berbahaya?" kata Wester ragu.

"Ada perampok, maksudmu? Asal jumlahnya tidak banyak, kita tidak perlu takut. Kita bisa membela diri. Kata Tuan Buschan, patroli Kerajaan Tavarin juga kabarnya sering lewat sini, jadi tak perlu terlalu khawatir."

"Seberapa sering patrolinya?"

"Tujuh hari sekali, mungkin." Mina meringis, mendengar jawabannya sendiri yang terdengar kurang menenangkan.

Tuan Buschan mengajak seluruh anggota rombongannya masuk ke Rumah Hijau untuk memesan makanan. Mereka tidak memesan kamar karena kebanyakan lebih memilih tidur di kereta saja nanti malam, walaupun saat ini hujan turun lumayan deras dan hawanya sangat dingin.

Mudah-mudahan nanti hujannya berhenti. Namun kalaupun tetap hujan, itu bukan masalah. Para pedagang sudah terbiasa tidur di kereta saat hujan deras, sedangkan Wester sendiri, seperti umumnya orang-orang Lembah Heiszl, selalu menganggap hujan sebagai bagian dari hidupnya.

Di tempat makan mereka ditemui langsung oleh Tuan Hiller, si pemilik penginapan. Tubuh laki-laki itu kurus jangkung, tetapi kelihatan kuat dan gesit. Rambutnya cokelat, dan umurnya mungkin sekitar empat puluh tahun.

Sepertinya ia sudah kenal lama dengan Tuan Buschan. Ketika bertemu keduanya saling menyambut dan tertawa-tawa, kemudian berbincang tentang banyak hal. Tuan Hiller bahkan ikut makan dan minum bersama rombongan.

"Sepertinya tempatmu ini lebih sepi daripada saat terakhir kali aku kemari," canda Tuan Buschan. "Di luar kulihat hanya ada dua kereta lainnya, dan tiga ekor kuda. Perkiraanku, mungkin cuma ada sekitar tujuh orang yang sedang menginap saat ini, betul?"

Tuan Hiller tertawa lebar. "Tebakan yang hebat, tapi hanya nyaris benar! Dari tiga kereta itu, pemilik kereta pertama adalah sepasang suami istri, katanya mereka hendak pergi ke Tierra, seperti kalian. Sementara kereta yang kedua berisi tiga orang, laki-laki semua. Tidak jelas dari mana, tapi sepertinya mereka hendak pergi ke Anorr. Mungkin mereka para pedagang juga.

"Lalu, dua orang yang naik kuda berasal dari Erien, mereka sampai tadi siang. Terakhir, satu orang berkuda yang datang sebelum kalian. Orang yang kukenal dengan baik. Tapi waktu kutanya dia akan pergi ke mana, dia malah tertawa, katanya belum tahu." Tuan Hiller kembali tertawa.

"Jadi ... semuanya delapan orang? Tebakanku lumayan bagus."

"Hahahaha! Ya, dan semuanya sedang ada di kamar sekarang. Mungkin nanti mereka turun buat makan malam, dan kau bisa bertemu mereka."

"Kalau dipikir-pikir, delapan sebenarnya angka yang cukup banyak," kata Tuan Buschan.

"Betul. Lebih sering pengunjungku hanya di bawah lima orang. Bahkan kadang-kadang tidak ada yang datang sama sekali selama berhari-hari."

"Dan kau tidak pernah berminat untuk pindah ke kota!"

Tuan Hiller mengembangkan kedua tangannya sambil tersenyum lebar. "Mau bagaimana lagi? Aku lebih suka tinggal di sini. Di tengah-tengah padang yang damai! Para pelayanku suka. Putriku juga suka."

"Kau yakin?" Tuan Buschan tampak sangsi dengan kalimat Tuan Hiller yang terakhir.

"Silakan tanya sendiri." Tuan Hiller lalu memanggil, "Milia! Milia!"

Seorang gadis berambut cokelat panjang muncul dari balik ruangan di lantai dua. Wajahnya cukup manis, tapi sekaligus juga tampak seperti seorang yang tegas dan kuat. Ia melemparkan tatapan menyelidik ke setiap orang yang sedang duduk dan memandanginya di ruang makan.

"Ya?" tanya gadis itu dengan sedikit nada tak peduli.

Ayahnya berkata, "Tuan Buschan sekali lagi bilang, kalau kau sebenarnya tidak betah tinggal di sini, dan lebih suka pergi ke kota."

"Hei, bukan begitu kata-kataku—" Tuan Buschan coba membantah.

"Memang benar," Milia langsung menjawab dengan suara lantang. "Tinggal di kota pasti enak."

"Ah, kau bercanda," tukas ayahnya.

"Aku serius." Putrinya menyeringai. "Di kota aku tak perlu lagi mengurus kuda dan kambing. Aku yang bakalan diurus oleh orang lain."

Ia berbalik, lalu masuk lagi ke dalam ruangannya.

Tuan Hiller terkekeh. "Ia bercanda," sekali lagi ia berkata pada Tuan Buschan. "Percayalah, ia tidak suka tinggal di kota."

"Ah, itu kan menurutmu."

Keduanya tertawa.

"Lagi pula pacarnya tinggal di sini," sambung Tuan Hiller. "Jadi mereka tetap akan di sini. Kalau aku mati, mereka yang akan meneruskan usahaku."

"Siapa orangnya?"

"Tarron. Dia sedang menjaga kereta kalian sekarang, mestinya."

"Oh, tadi aku sempat melihatnya. Ya, ia pemuda yang gagah, dan tampaknya baik. Dari mana dia?"

"Dulu dia prajurit di negeri Haston, kemudian keluar dari pasukan, entah kenapa, dan berkelana sampai kemari. Ia betah di sini."

"Bekas prajurit?" Tuan Buschan manggut-manggut. "Berarti dia bisa diandalkan, kalau misalnya ada gerombolan perampok."

"Belum pernah ada gerombolan perampok yang berani datang kemari, temanku. Belum pernah." Tuan Hiller tersenyum tipis, dan matanya berkilat. "Ya, kudengar belakangan ada gerombolan yang muncul tak jauh di selatan. Markas mereka mungkin ada di hutan di sebelah timur. Tapi mereka tak pernah sampai kemari."

"Jadi, di selatan memang ada perampok, ya?"

"Kabarnya begitu. Kalau kau mau, nanti bisa kuminta Tarron menemani kalian sampai ke Tierra. Buat berjaga-jaga. Bagaimana?" Tuan Hiller menawarkan bantuannya.

Namun Tuan Buschan menggeleng. "Tidak usah. Nanti merepotkan."

"Sama sekali tidak. Akan kubilang pada Tarron nanti. Kalian hendak berangkat besok?"

"Baiklah, jika tak merepotkan. Terima kasih." Tuan Buschan tersenyum.

"Untuk teman, apa pun kulakukan." Tuan Hiller mengangguk.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now