Bab 28 ~ Kesatria Sepertimu

86 58 2
                                    

Seluruh kata-kata Pierre yang terakhir itu adalah ucapan paling menggetarkan hati yang pernah didengar Wester selama ini. Ia terpana, seolah ada sesuatu dalam diri Pierre yang tiba-tiba keluar dan muncul ke hadapannya, menjadikan sosok kesatria itu lebih memukau daripada yang selama ini bisa dibayangkan. Pada akhirnya Wester menyadarinya tanpa ragu, Pierre adalah orang paling besar yang pernah ia kenal selama hidupnya.

Mendadak Wester merasa malu dengan kata-kata yang ia ucapkan sebelumnya. 'Memerangi kami'. Yang menunjukkan kalau ia dan Mina kemungkinan besar akan ikut berperang di pihak Tavarin. Padahal ia tahu, itu bukan sesuatu yang benar dan patut dilakukan.

Tiba-tiba pula Wester merasakan satu hal baru yang belum pernah ia rasakan. Bahwa mati, bukanlah hal yang buruk dan perlu ditakuti, jika ia percaya dengan keyakinannya, jika ia percaya bahwa yang ia lakukan itu adalah sesuatu yang benar dan patut diperjuangkan.

Tanpa ragu Wester meletakkan cangkirnya, kemudian menunduk hormat dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. "Tuan," Ia lalu mengangkat lagi wajahnya, "jika begitu aku juga akan ikut denganmu. Aku tidak akan ikut ke dalam perang itu. Bahkan ... jika itu berarti aku harus dimusuhi oleh ayah ataupun kakakku, dan bahkan mati karenanya."

Mina terpana di sampingnya, tak menyangka.

Pierre tampaknya tak kalah kaget. "Itu ... bagus, Nak. Tapi kau tak perlu sampai membungkuk buat mengatakan itu."

"Mungkin justru harus," kata Wester, "karena aku juga punya satu permohonan. Kuharap Tuan mau mendengar dan mengabulkannya."

"Baik." Pierre tampak hati-hati. "Katakan."

"Ajari aku menjadi kesatria."

Pierre tertegun.

Di sampingnya Mina hanya memandangi Wester.

Wester melanjutkan, "Tapi bukan seperti kesatria-kesatria lain dari Kuil Kesatria, melainkan menjadi ksatria seperti dirimu. Ajari aku tentang kebenaran, keadilan, dan kehormatan. Ajari aku menggunakan pedang, busur, atau apa pun, sehingga aku bisa ikut berjuang bersamamu jika dibutuhkan, tidak hanya menjadi pelayan yang hanya bisa membuatmu repot. Ajari aku melihat banyak hal, belajar dan mengalami banyak hal, supaya aku nanti tidak salah jalan, supaya aku tidak terjerumus masuk ke dalam perang yang salah. Tuan, aku memohon, agar kau bisa mengajariku semua itu."

Pierre berdehem. "Aku menjadi guru atau semacamnya?"

"Ya," Wester menjawab cepat. "Maukah kau menjadi guruku?"

"Begini, aku bisa memberitahumu beberapa hal, tapi jika aku belum menjadi seorang pahlawan yang sempurna, seperti guruku misalnya, terus terang aku tak berani menyebut diriku sebagai guru. Aku akan mengajarimu, pasti, tapi mungkin hanya sebagai seorang teman, bukan guru."

"Terima kasih, Tuan, itu tidak masalah." Wester membungkuk lagi dengan penuh hormat. "Aku bahkan juga tidak masalah, Tuan, jika kau mengajariku sebagai seorang tuan kepada pelayannya. Tidak masalah, yang penting aku bisa belajar banyak hal. Dan ... mungkin nanti..."

"Apa?" tanya Pierre setelah Wester ragu untuk berkata lebih jauh. "Nanti apa?"

"Mungkin nanti ... setelah aku bisa memahami semuanya dengan lebih baik, aku akhirnya benar-benar bisa menjadi kesatria sepertimu."

Pierre mengangguk-angguk. "Tentang itu, kita lihat saja nanti. Aku senang mendengar niatmu, tapi kau masih sangat muda. Berapa umurmu? Lima belas tahun?"

Mina melirik ke arah Wester. Gadis itu tahu kalau umur Wester baru tiga belas tahun. Awalnya Wester berniat menyembunyikan itu dan mengiyakan saja pertanyaan Pierre. Namun kemudian ia teringat satu kata. Kebenaran. Bagaimana mungkin ia mulai belajar soal kekesatriaan jika ia langsung memulainya dengan sebuah kebohongan?

Ia pun menggeleng. "Tidak. Aku baru tiga belas tahun. Tapi sebentar lagi aku empat belas tahun!"

Pierre tertawa pendek.

"Berarti jalan untukmu masih panjang. Hampir sama denganmu, aku dulu mulai belajar di umur sepuluh tahun, tapi baru dianggap layak dan diangkat oleh guruku menjadi kesatria di umur dua puluh tahun. Guruku sendiri adalah kesatria termuda di jamannya, ia diangkat oleh Fabien di umur delapan belas tahun. Tapi itu karena ia memang adalah sosok yang istimewa; semua orang bisa melihatnya. Kau lihat, Wester? Untukmu, kalau memang pada akhirnya dianggap layak, paling cepat kau mungkin baru bisa menjadi kesatria lima sampai enam tahun lagi. Itu waktu yang cukup lama, jadi menurutku jangan terlalu dijadikan beban saat ini. Apa pun bisa terjadi dalam waktu lima sampai enam tahun. Hal-hal baik bisa terjadi, begitu pula hal-hal buruk. Yang penting saat ini kau belajar saja dulu. Mengerti?"

"Ya, Tuan, aku akan belajar sebaik-baiknya."

Wester menoleh ke arah Mina.

Gadis itu tersenyum lebar.

"Hmm ... tampaknya aku harus mengucapkan selamat padamu," kata Mina. "Aku jadi ingat ucapanmu dulu di desa, sehari sebelum kamu kabur."

"Yang mana?"

"Waktu kamu bilang tidak ingin menjadi penyihir. Aku bertanya, terus sebenarnya apa yang kamu inginkan. Saat itu kamu sama sekali tidak tahu. Sekarang berbeda. Kamu benar-benar tahu, dan tampak begitu yakin."

Wester meringis. "Soalnya Tuan Pierre bilang kemarin bahwa aku tidak boleh ragu, jika memang menginginkan sesuatu."

"Ya, kita tidak boleh ragu..." Gadis itu kemudian temenung. Namun, cepat-cepat ia tersadar dan kembali tersenyum. "Kamu tidak ragu, dan karenanya aku percaya, bahwa kamu telah mengambil keputusan yang tepat."

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Wester meninggalkan desanya, ia bisa memulai tidurnya dengan pikiran tenang dan damai. Ia bisa menjadi kesatria suatu hari nanti. Suatu hal yang awalnya sulit untuk dibayangkan oleh seorang anak keturunan penyihir dari Lembah Heiszl, tetapi kini tidak lagi tampak sebagai sesuatu yang aneh, begitu ia bisa melihatnya.

Seandainya pun setelah lima atau enam tahun ternyata ia tidak berhasil mencapai tujuannya, ia tetap bisa mendapat kesempatan untuk belajar banyak dari Pierre. Ia yakin pasti ada banyak sekali orang di Estarath yang ingin berada di posisinya sekarang. Mereka yang tinggal di Terran, Windalens, Alton, atau negeri-negeri lain yang lebih besar, yang ingin menjadi murid atau bahkan sekadar pelayan dari kesatria terkenal itu. Wester merasa sangat beruntung karena justru ialah yang bisa mendapatkan kesempatan tersebut.

Menutup malam, Wester berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia akan belajar dan berlatih dengan sangat keras. Lalu, suatu hari nanti ia bisa pulang ke desanya, kemudian menunjukkan pada ayahnya seperti apa dirinya. Mungkin ia tidak bisa menjadi penyihir, tapi ia tetap bisa menjadi seorang yang kuat dan berguna bagi orang lain, tahu mana yang benar dan yang salah, serta mampu membawa kedamaian.

Wester belum tahu apakah ayahnya akan menerimanya. Namun, yang terpenting, kini ia sudah menentukan pilihan dan jalan hidupnya sendiri.

Seperti pepatah lama di Lembah Para Penyihir: "Aku adalah apa yang kumakan, aku adalah apa yang kupelajari, aku adalah apa yang kupilih."

Inilah aku.

Jiwa Yang Agung memberkati.

Etieret. Elier.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now