Bab 20 ~ Pembawa Sial

100 62 1
                                    

Pintu terpal belakang lalu terbuka lagi.

Seorang prajurit bergabung dengan mereka. Tampaknya dia bertugas untuk memastikan agar ketiga tawanan tidak bertindak aneh-aneh selama dalam perjalanan. Kereta bergerak. Wester dan Mina kembali saling menatap. Wajah gadis itu kini lebih putus asa dibanding tadi.

Perjalanan berikutnya terasa panjang. Lelah, takut, lapar dan putus asa bergantian datang. Semakin jauh mereka pergi, semakin kecil harapan Wester untuk bisa kabur atau menyelamatkan diri. Bisa jadi maut mungkin malah sudah semakin dekat.

Wester termenung. Padahal ia baru berumur tiga belas tahun. Padahal ini baru beberapa hari, tepatnya hanya empat hari setelah ia memutuskan untuk pergi dari desanya, tetapi ia sudah terjerumus ke dalam saat-saat tergelap di dalam hidupnya. Ia hampir tak percaya hal semacam ini bisa terjadi padanya begitu cepat, saat ia masih tiga belas tahun!

Kemudian kereta berhenti, dan pintu terpal terbuka. Udara segar mengalir masuk. Suara air sungai yang deras memecah bebatuan terdengar. Wester melongok. Tampaknya baru saja lewat tengah hari, dan Willar memutuskan untuk beristirahat.

Si kepala prajurit muncul di belakang kereta. Ia memandang ketiga tawanan bergantian.

"Kalian butuh makan?" Ia menyeringai.

Wester dan Mina mengangguk, sementara Quino diam saja.

"Buka," Willar berkata pada prajurit yang berjaga di kereta.

Prajurit itu mengerti, lalu mencabut satu per satu kain yang menyumpal mulut Wester, Mina dan Quino. Ia juga melepaskan penutup mata Quino.

Mata Quino mengerjap-ngerjap, berusaha menyesuaikan dengan cahaya Begitu pemuda itu melihat wajah Wester dan Mina, ia tersenyum lemah, kemudian menunduk seolah menyesal.

Empat potong roti dilempar masuk dari luar kereta. Satu berhasil ditangkap oleh si prajurit, tiga lainnya jatuh dan tergolek di lantai kereta.

Semua anak diam, memandang roti itu, lalu saling menatap.

Willar mendengus kesal. "Itu dibuka juga ikatan tangannya!"

"Buat apa? Aku lebih suka jika mereka makan saja seperti anjing," jawab si prajurit. "Lebih baik kusumpal saja roti-roti ini ke mulut mereka."

"Urusanmu!" Willar menggerutu, kemudian pergi tak peduli.

Si prajurit tersenyum masam, lalu membuka ikatan di tangan Wester dan Mina. Tapi ia tetap membiarkan Quino terikat. "Kalian berdua makan, cepat! Setelah itu kalian suapi si Quino ini."

Rupanya bagi dia, hanya Quino yang patut dikhawatirkan.

Tanpa banyak komentar, Wester dan Mina menyambar roti yang tergeletak di lantai dan makan dengan lahap. Quino diam saja.

Si prajurit lalu melompat turun.

"Kalian bertiga jangan coba berbuat yang aneh-aneh," ancamnya. "Jika berteriak pun tak akan ada orang lain yang mendengar, kecuali kami. Kalau kami nanti sampai kesal, kami tak akan ragu merobek mulut kalian. Lalu jika kalian mencoba kabur, ya coba saja. Dengan mudah kami akan menangkap kalian lagi, lalu mungkin kami akan memotong kaki kalian."

Prajurit itu berjalan menjauh. Tak terlalu jauh, karena hanya sampai di tepi sungai, kemudian ia buang air di sana.

Bagaimanapun, waktu yang singkat itu sudah cukup melegakan.

Wester dan kedua temannya saling tersenyum. Dengan hati-hati Mina mendekatkan sepotong roti ke mulut Quino.

"Kamu baik-baik saja?" tanya gadis itu.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now