Bab 10 ~ Penyusup

126 62 1
                                    

Mereka semua langsung berlari mendekati kereta yang biasa ditinggali Quino. Eddar melompat masuk ke dalam kereta, memeriksanya.

Tak lama, ia keluar lagi.

"Bagaimana?" tanya Tuan Buschan. "Barang kita aman?"

"Barang-barangnya sedikit berantakan," jawab Eddar. "Tapi kurasa tidak ada yang hilang. Sepertinya. Pedang-pedang atau perisai ini masih ada. Juga baju-baju dan kain yang di dalam kotak, semua isinya dikeluarkan, tapi kalau aku tidak salah hitung, semuanya lengkap."

"Pedang atau baju terlalu berat dan susah untuk dibawa, kalau maling itu hanya sendirian. Bagus lah, dia memilih kereta yang salah," kata Tuan Buschan. "Kalian yakin dia tidak masuk ke kereta lainnya?"

Semua anggota rombongannya mengangguk.

"Hanya Quino yang tidak ada di keretanya," Ginia menganalisis. "Jadi sepertinya kereta dia yang diincar oleh maling. Kalau dari awal aku tahu keretanya kosong, aku pasti akan mengawasinya."

"Ada yang tahu ke mana dia pergi?" tanya Tuan Buschan kesal.

Semua menggeleng.

"Aku akan mencarinya," kata Eddar. "Mungkin dia pergi ke desa."

Namun, sebelum ia hendak pergi ke sana, beberapa orang dari desa ternyata sudah datang terlebih dulu sambil membawa obor.

Ada belasan orang, termasuk sang kepala desa yang bernama Triam, juga pemuda bertubuh kekar yang suara tawanya paling keras saat makan malam, yang kalau Wester tak salah ingat bernama Makio. Tampaknya mereka juga baru saja mendengar keributan yang terjadi di lapangan.

"Apa yang terjadi?" tanya Triam.

"Ada yang berusaha menyusup ke dalam kereta kami," kata Tuan Buschan. "Terus dia lari. Sayangnya kami tak berhasil menangkap orang itu."

Ia kemudian memandangi orang desa satu per satu.

Ekspresi wajah Triam langsung berubah, tampaknya ia memahami kecurigaan Tuan Buschan padanya. "Jadi menurutmu orang yang menyusup itu berasal dari desa kami?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Aku tidak bilang begitu," bantah Tuan Buschan. "Aku cuma mau bilang, kita semua sekarang mesti hati-hati. Penyusup itu bisa saja nanti masuk ke rumah-rumah, jika kalian tidak hati-hati."

Triam tersenyum masam, sepertinya tidak terlalu senang dengan keseluruhan ucapan Tuan Buschan. Namun ia mengangguk. "Benar. Kita memang harus hati-hati."

"Tuan Triam," Eddar berkata dengan suara yang lebih sopan. "Apakah ada salah seorang dari kami yang pergi ke desamu? Maksudku, saat ini dia tidak ada bersama kami."

"Quino, ya?" Makio balik bertanya.

"Ya, betul!" Tuan Buschan dan Eddar menjawab bersamaan.

"Sehabis makan malam ia pergi ke kedaiku, lalu minum sampai mabuk," kata Makio. "Aku sudah bilang supaya ia berhenti, tapi ia terus saja minum. Jadi, kutinggalkan saja ia di sana."

"Maksudmu, dia masih ada di kedaimu sekarang?" tanya Eddar.

"Ya. Saat aku pergi, dia masih mendengkur."

"Memalukan." Tuan Buschan menggeleng-geleng kesal. Ia berkata pada beberapa anak buahnya, "Kalian, jemput dia sekarang."

Beberapa orang sudah bersiap pergi, tetapi sebelum mereka pergi Eddar bertanya lagi, "Makio, apa Quino tadi hanya minum seorang diri di kedaimu?"

"Ada satu temannya. Bukannya dia dari rombongan kalian juga?" Makio memandangi seluruh anggota rombongan pedagang yang berdiri di belakang Tuan Buschan dan Eddar.

Kedua laki-laki itu ikut menoleh dengan pandangan bertanya-tanya.

"Siapa maksudmu?" tanya Eddar. "Apa orang itu ada di sini?"

Makio tampak ragu, kemudian ia menggeleng. "Tidak. Sepertinya tidak ada."

"Semua anggotaku ada di sini, kecuali Quino," kata Tuan Buschan. "Jadi, orang yang kau maksud itu pastinya bukan dari rombonganku."

"Dia bukan penduduk desa juga," tukas Makio. "Aku tidak mengenalnya."

Tuan Buschan dan Eddar saling menatap dengan dahi berkerut.

Sementara di belakang mereka Wester dan Mina saling memandang.

Triam segera menyahut, "Sudahlah, daripada bingung, kalian bisa langsung menanyakannya pada Quino."

Ketiga anggota rombongan yang disuruh Tuan Buschan segera pergi ke desa. Tuan Buschan lalu menyuruh anggota lainnya untuk kembali ke kereta dan tidur, karena walaupun malam ini ada kejadian, mereka tetap harus berangkat ke Erien besok pagi.

Namun, sebagian besar masih enggan tidur. Mereka memilih menunggu kedatangan Quino. Beberapa orang lalu berbicara dengan Tuan Buschan.

Wester yang sudah kembali ke kereta bersama Mina bertanya pada gadis itu, "Menurutmu, apa yang mereka bicarakan?"

"Tentang Quino, tentu saja," jawab Mina setengah berbisik. "Semua pasti sedang menebak-nebak, siapa orang yang minum bersama Quino di kedai, dan apa ada hubungannya dengan maling tadi."

"Hubungannya apa?"

"Bisa saja Quino dipancing oleh teman si maling supaya terus minum sampai mabuk. Setelah itu, begitu keretanya kosong, maling itu datang dan bisa leluasa masuk ke dalam keretanya."

"Tapi tidak ada barang yang diambil. Apa yang dia cari?" tanya Wester.

"Barang kita," jawab Mina dramatis. Lalu ia mengoreksi, "Barang milik Quino yang disimpan di kereta kita."

Wester menahan napas. "Bagaimana maling itu bisa tahu?"

"Mungkin Quino kelepasan bicara, ketika dia mabuk. Dia memang tolol."

"Kita mesti mendengar penjelasan Quino," kata Wester gelisah. "Iya, 'kan?"

"Dia mabuk, dia tidak akan ingat apa-apa. Kalaupun ingat, dia mungkin akan berbohong jika ditanyai. Tinggal bilang bahwa dia tidak bicara apa pun, juga bilang kalau dia tidak menyimpan sesuatu yang penting."

Wester menggeleng-geleng. "Mina, selama drakunst itu ada di kereta, kita berdua dalam bahaya. Banyak orang mengincarnya. Lain waktu mungkin bukan hanya maling, tetapi gerombolan perampok. Menurutku lebih aman jika kita serahkan barang itu pada Tuan Buschan. Biar dia yang memutuskan."

"Aku lebih suka jika Quino sendiri yang menyerahkannya pada Tuan Buschan," tukas Mina. "Atau dia sendiri yang menyelesaikan semua masalah ini, entah bagaimana caranya. Bukan kita."

"Jadi, kita tunggu saja sampai Quino datang?"

"Ya, nanti aku akan memberitahunya."

"Kamu tahu dia tidak suka dinasehati," kata Wester.

"Lihat saja. Jangan khawatir, itu mereka sudah kembali." Mina menunjuk beberapa orang yang berlari mendatangi Tuan Buschan.

Sesaat kemudian ekspresi wajah gadis itu berubah, dan tiba-tiba ia meloncat turun.

Wester terkejut. "Hei, mau ke mana?"

"Aku mau tahu apa yang terjadi. Sudah, kamu diam saja di sini."

Mina berlari mendekati api unggun, ke arah Tuan Buschan dan yang lainnya yang tengah berbicara serius.

Wester memperhatikan dari balik terpal kereta, dan baru tersadar kenapa Mina tadi tiba-tiba bertindak aneh. Ya, Quino. Mana Quino? Kenapa ia tidak ada bersama anggota lain yang menjemputnya? Apa yang terjadi?

Wester merinding. Tanpa sadar ia menggenggam gagang pisau yang tergantung di sampingnya. Sesuatu yang hangat kembali menghampirinya, sama seperti ketika pertama kali ia memegang pisau itu.

Dan ada suara. Tipis terdengar. Dari belakang.

Wester cepat-cepat menoleh ke belakang kereta.

Napasnya tertahan ketika ia melihat sesosok gelap ternyata ada di sana, tengah mengacungkan pedang ke arah lehernya.

"Tenang, bocah," bisik orang itu cepat. "Jangan bersuara, atau ..."

Quino. Dia bisa muncul hampir tanpa suara!

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now