Bab 11 ~ Melanjutkan Perjalanan

119 61 1
                                    

Wester bingung, sudah berapa lama Quino ada di dalam, atau di dekat kereta? Bukankah tadi ia kabarnya mabuk di kedai? Kenapa sekarang dia bisa tampak cukup segar?

Wester menelan ludah. Dengan pedangnya yang terhunus, Quino jelas tidak main-main. Wester tak mau mengambil resiko coba-coba berteriak minta tolong. Ia memperhatikan kala Quino merogoh ke dalam peti untuk mengambil kantong kulit berisi drakunst miliknya.

Pemuda itu meringis begitu ia berhasil menemukan barangnya.

"Bagus," katanya. Bau minuman keras dari mulutnya merayap ke hidung Wester. Mungkin ia masih sedikit mabuk. "Sekarang, kusarankan kau tetap menutup mulut sampai kapan pun."

"Kamu mau ke mana?" Wester tak menutupi rasa ingin tahunya.

"Bukan urusanmu, Bocah. Aku tidak akan kembali lagi, tapi kuharap kau tetap tidak bicara pada yang lain. Jangan sampai ini menjadi urusanmu. Mengerti?"

Wester mengangguk.

Quino menatapnya, lalu balas mengangguk. "Terima kasih, dan maaf," katanya sambil menarik pedangnya.

Pemuda itu lalu melompat keluar, kembali hampir tanpa suara.

Wester berusaha menenangkan diri. Suara orang berlari kemudian datang mendekat. Dari depan kereta muncul Mina yang melompat masuk dengan terburu-buru.

"Quino menghilang," kata gadis itu.

Wester belum tahu harus berkata apa. Apakah ia perlu memberitahu Mina tentang kedatangan Quino tadi?

"Dia tidak ada di kedai," Mina melanjutkan. "Jadi kita tidak bisa tahu siapa yang minum bersamanya, dan apakah ada hubungannya dengan maling itu." Ia memandangi Wester yang masih termenung ragu. "Kelihatannya Quino memang sudah tidak peduli pada kita. Dan mungkin tidak peduli juga pada barangnya."

"Mina ..."

"Kamu benar, lebih baik kita serahkan saja drakunst itu pada Tuan Buschan. Terserah nanti mau diapakan. Yang penting itu tidak lagi menjadi urusan kita." Tanpa menunggu jawaban Mina berjalan melewati Wester ke arah kotak besar di bagian belakang.

"Mina, Quino tadi datang."

Mina langsung menoleh, matanya menatap Wester tajam.

"Dia datang dan mengambil barangnya."

Pelan-pelan Mina duduk. "Dia mengatakan sesuatu?"

Wester mengangguk. "Katanya dia tidak akan kembali lagi."

Mina mengangguk-angguk dengan rahang mengeras. "Jadi itu, cara yang dipilih oleh Quino untuk menyelesaikan masalahnya."

"Kurasa ia melakukannya demi kita," kata Wester ragu. "Quino akhirnya mungkin tahu keberadaan dirinya dan benda itu membuat kita semua dalam bahaya. Makanya ia pergi."

"Seharusnya ia bilang dari awal pada Tuan Buschan kalau punya masalah!" kata Mina kesal. "Tidak akan begini jadinya."

"Memangnya akan jadi seperti apa kalau Tuan Buschan tahu sejak awal? Bukannya kamu pernah bilang, Quino akan langsung diusir? Sama saja, 'kan?"

"Ya, tapi ... ah, tak tahu lah! Aku pusing!" Mina langsung melemparkan tubuhnya ke lantai kereta, kemudian bergelung memunggungi Wester. "Quino sudah pergi. Aku tidak peduli lagi!"

Wester mengangkat bahu. Kalau Mina saja pusing, apalagi dia. Dan jika Mina saja tidak peduli, apalagi dia. Ya sudah. Yang penting masalah dengan Quino dan drakunst-nya sekarang sudah selesai.

Baik Wester dan Mina kini tidak punya beban lagi, dan bisa tidur dengan lebih nyaman dan aman. Semoga.

Wester berbaring dan memejamkan mata, berusaha melupakan semuanya. Sebelum tidur, ia menghela napas dan berdoa pada Jiwa Yang Agung. Semoga Quino bisa selamat di luar sana, dan suatu hari nanti bisa lepas dari jeratan drakunst-nya. Etieret. Elier.

Paruh kedua malam berlangsung damai. Wester bisa tidur nyenyak dan esok paginya bangun dengan tubuh segar. Mina pun tampaknya demikian. Gadis itu terus menunjukkan senyumannya yang biasa. Sepertinya ia sudah bisa melupakan semua kejadian semalam. Tak lama setelah sarapan rombongan berangkat menuju Erien, ke selatan.

Perjalanan kali ini lebih cepat dibanding kemarin. Jalan yang dilalui datar di tanah berumput, tak lagi becek dan berbatu-batu seperti ketika mereka baru keluar dari Lembah Heiszl. Wester belum bisa sepenuhnya menghilangkan perasaan bersalah karena telah meninggalkan ayahnya tanpa pamit, tetapi ia berusaha menikmati suasana di sekitarnya.

Menjelang sore mereka tiba di Kota Erien, setelah sebelumnya melewati beberapa desa dan ladang gandum yang membentang dari tepi hutan di sebelah kiri hingga kaki perbukitan di sebelah kanan. Jalanan utama menuju kota cukup ramai. Banyak orang lalu-lalang, dan sebagian mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda, sapi, atau keledai.

Di gerbang kota mereka diperiksa oleh para prajurit Kerajaan Tavarin. Beberapa prajurit tampaknya mengenal Tuan Buschan, jadi tidak ada masalah.

Rombongan lalu berbelok, melewati jalanan ramai menuju bangunan besar berdinding kayu yang tampaknya merupakan gudang yang disewakan untuk para pedagang. Seluruh kereta dimasukkan, kuda-kuda ditambatkan, dan mereka semua menginap di sana.

Aktivitas sesungguhnya baru tampak keesokan harinya. Tuan Buschan membuat penugasan untuk setiap anak buah. Kereta-kereta diberangkatkan ke berbagai jurusan. Ada yang ke pasar untuk menyalurkan barang-barang semacam senjata, pakaian, tembikar atau obat-obatan untuk para pedagang lokal yang berjualan di pasar. Ada pula yang pergi untuk mengantar pesanan ke para pelanggan kaya—umumnya bangsawan atau kerabat kerajaan Tavarin—yang tinggal di puri-puri yang letaknya cukup jauh di luar kota.

Mina termasuk yang mendapat tugas untuk mengantar barang pesanan ke puri-puri, bersama Eddar dan beberapa anggota lainnya. Mereka berangkat pagi-pagi sekali, sampai-sampai Wester tak sempat berbincang dengan gadis itu. Wester sendiri memulai tugasnya dengan memberi makan semua kuda serta membersihkan beberapa kereta, baru kemudian ia pergi bersama Tuan Buschan ke pasar. Keduanya menyusul Ginia, Artur, dan Drell yang telah pergi dulu untuk menjual barang-barang mereka ke pedagang lokal di pasar.

"Apa kau benar-benar ingin menjadi pedagang, Wester?" Tuan Buschan bertanya saat kereta perlahan memasuki jalanan kota. "Benar yang dikatakan Mina, ketika dia memperkenalkan dirimu?"

"Aku akan belajar," jawab Wester.

"Itu bukan jawaban yang benar. Aku bertanya, apa kau benar-benar ingin menjadi seperti aku, menjadi pedagang yang bisa pergi ke banyak negeri, atau mungkin kau sebenarnya hanya ingin keluar saja dari desamu tanpa tahu harus ke mana."

Wester meringis. "Mungkin yang kedua."

Tuan Buschan tertawa. "Tidak apa-apa, aku suka jawaban jujur. Waktu seumurmu aku juga begitu. Di desaku tak banyak yang bisa dilihat, selain hutan, padang rumput, dan pegunungan batu. Sama sekali tak terpikir untuk berdagang. Aku hanya ingin pergi, melihat sesuatu yang berbeda. Ya, kurang lebih itulah yang kuingat."

"Tapi tadi aku serius, Tuan. Aku ingin belajar. Kalau memang nanti aku hidup sebagai pedagang, aku ingin menjadi pedagang yang baik."

Tuan Buschan mengangguk. "Dengan senang hati aku akan mengajarimu. Kau punya penampilan yang kuyakin bisa membuat banyak orang suka, jadi aku yakin kalau kau mau, kau bisa menjadi pedagang yang sukses. Tapi begini, aku tak bisa mengajarimu semuanya satu persatu. Lebih bagus kau melihat saja secara langsung bagaimana cara rekan-rekanmu bekerja. Yang pertama harus kau mengerti ... hmm ... ya, mungkin ini yang paling penting. Sebelum kau mencoba berdagang di suatu tempat, kau harus lebih dulu paham sifat-sifat dan kebiasaan orang-orang yang tinggal di sana."

Valley of WizardsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang