Bab 35 ~ Roh

75 57 1
                                    

Pelan-pelan Wester membuka matanya.

Sinar putih tadi tidak lagi menyilaukan. Di seberangnya duduk seorang wanita bergaun putih dengan wajah pucat. Sosoknya tidak kelihatan nyata, hanya seperti butir-butir air dalam kabut yang mewujud menjadi manusia. Wester menahan napas, begitu melihat kemiripan wajah wanita itu dengan Mina. Pasti, itu adalah roh ibu gadis itu, yang entah bagaimana caranya berhasil didatangkan berkat kehadiran dua batu putih.

Semua orang menatap wanita itu, terpana. Entah apa yang sekarang dirasakan Mina. Pasti dia gembira sekaligus terharu.

Wester yakin karena perasaan yang sama pasti akan ia rasakan jika seandainya ia berkesempatan bertemu dengan roh ibunya.

Setelah beberapa saat Mina tampaknya berhasil menguasai dirinya.

Ia berkata dengan suara bergetar, "Ibu ... ini Ibu?"

"Ya. Namaku Annia, dan kau adalah putriku."

Mina hendak melepaskan tangannya. Sepertinya ia tak kuasa untuk berusaha memeluk roh ibunya. Tapi Erria menggenggamnya erat-erat. "Jangan lepaskan tanganmu, Mina. Atau roh ibumu akan pergi."

"Iya, jangan," sang roh berkata. "Ini kesempatanku satu-satunya untuk bisa bertemu denganmu."

"Aku tak ingin ini menjadi satu-satunya," sahut Mina terisak.

"Maafkan aku."

"Jangan minta maaf padaku, Ibu." Mina menggeleng sedih, lalu suaranya menjadi lebih tegar. "Iya, aku mengerti."

"Sekarang dengarkan aku, Mina, baik-baik, karena waktuku tidak lama. Dulu, lima belas tahun lampau, sebelum ayahmu meninggalkan kita, ia mewariskan sebuah benda untukmu. Ia meletakkannya di sebuah tempat. Kini kau harus menemukannya."

Mina termenung, lalu mengangguk-angguk, berusaha mengerti. "Ayahku dulu meninggal bersamamu di Ulund, bukan? Saat aku masih bayi. Kata Bibi Murren karena terkena wabah penyakit menular yang mematikan. Jadi ... aku harus kembali ke Ulund?"

Ibunya, Annia menggeleng. "Yang ada bersamaku di Ulund adalah ayah angkatmu. Yang kumaksud tadi adalah ayah kandungmu, yang meninggal di kota ini. Di Goetz."

Mina ternganga. "Maksudmu, makam di sampingmu ... bukan makam ayah kandungku?"

"Ayah angkatmu, Aruno, adalah laki-laki yang baik. Tidak apa-apa kamu menganggapnya seperti ayahmu sendiri. Tapi sekarang aku perlu memberitahu hal yang sebenarnya."

Mina menarik napas, lalu mengangguk lagi. "Aku mengerti. Kalau begitu di mana aku harus mencari benda itu?"

"Letaknya ada di salah satu puncak bukit di seberang sungai, tak jauh dari kaki Gunung Sox. Di sana ada sebuah pohon yang berdiri di samping deretan batu hitam tua berumur ribuan tahun. Di salah satu sudutnya ada sebuah batu yang berbeda. Pohon itu dulu tempatku bertemu pertama kali dengan Marin, ayah kandungmu. Kamu akan merasakannya begitu tiba di sana. Tapi supaya kamu tidak salah melangkah begitu nanti menemukannya, ada baiknya kuceritakan dulu beberapa hal. Mudah-mudahan waktuku cukup."

Annia kemudian mulai bercerita, membawa semua orang ke masa sekitar lima belas tahun silam di Goetz. Saat itu Annia dan Erria berumur dua puluhan, dan keduanya baru saja menikah. Suami Annia bernama Marin, sedangkan suami Erria bernama Julen. Seperti halnya Annia dan Erria yang merupakan saudara kandung, Marin dan Julen juga adalah kakak beradik. Bersama teman mereka yang bernama Aruno, kedua laki-laki itu berasal dari negeri Houlund, dan pergi ke Goetz untuk mencari pekerjaan di tambang-tambang batu mulia. Keduanya lalu menikah dengan Annia dan Erria yang orang asli Goetz.

"Mereka bertiga bekerja di tambang batu merah milik Keluarga Zalantin, kemudian bersahabat dengan Tamaz, putra sulung sang pemilik tambang sekaligus ahli waris keluarga itu," kata Annia.

Wester dan Mina saling memandang, sama-sama terkejut, begitu mendengar nama Zalantin disebut. Keduanya tak menyangka ternyata keluarga gadis bersama Zerua itu ada kaitannya di sini.

"Mereka juga bersahabat dengan pamanmu," lanjut Annia. "Adikku yang bernama Danan."

"Danan?" Wester kembali terkejut. "Si pandai besi?"

"Ya, ia sekarang menjadi pandai besi di kota," kata Erria. "Kalian mengenalnya?"

"Kami bertemu dengannya sebelum kemari," jawab Pierre. "Ia bilang ia tidak yakin dengan batu itu. Padahal jika ia adalah adikmu, seharusnya ia tahu soal batu itu. Betul kan?"

"Kedua batu putih ini adalah milik keluarga kami yang diturunkan oleh ibu kami, tentu saja Danan pasti tahu," kata Erria.

"Kurasa ia hanya belum percaya jika kau adalah putriku," kata Annia pada Mina.

"Dan kurasa ia masih merasa sedikit bersalah atas kejadian yang terjadi dulu," kata Erria sedih. "Padahal itu sudah lama berlalu, seharusnya ia tak perlu lagi merasa begitu."

"Memangnya apa yang terjadi dulu?" tanya Mina penasaran.

"Bermula dari Tamaz," kata Annia. "Suatu hari ia bermain judi di Tavar, melawan teman-temannya, yang sebenarnya adalah juga musuh-musuhnya, karena mereka adalah anak-anak saingan bisnis Keluarga Zalantin. Tamaz kalah, dan tidak tanggung-tanggung kalahnya. Jumlahnya begitu besar hingga walaupun ia sudah berusaha menjual barang-barang miliknya, itu tetap tidak cukup. Ia masih harus berutang.

"Tamaz tidak berani menceritakan hal itu pada ayahnya, dan karena kebingungan ia lalu bercerita pada suamiku Marin, Julen, Danan, dan Aruno. Suamiku dan yang lainnya lalu berjanji untuk membantu Tamaz menutup utang itu. Aruno bisa segera membantu karena ia punya tabungan, tapi yang lainnya tidak. Danan, Marin, dan Julen harus bekerja keras di tambang untuk mengumpulkan batu mulia sedikit demi sedikit, kemudian memberikannya pada Tamaz. Tamaz berterima kasih, tetapi ia bilang itu belum cukup karena utangnya sangat besar. Kemudian Tamaz bilang bahwa jauh di dalam tambang konon terdapat satu batu merah legenda, yang amat besar, cemerlang dan harganya sangat mahal sehingga mampu membeli sebuah kerajaan. Ia bertanya apakah teman-temannya mau mencari batu tersebut.

"Tamaz berkata, jika batu itu nanti ditemukan, Danan, Marin, dan Julen boleh mengambil bagian terbesar, dibagi di antara mereka bertiga, sementara Tamaz hanya meminta sedikit bagian untuk membayar utangnya. Aruno memperingatkan mereka bahwa pergi jauh sampai ke perut gunung sangat berbahaya. Tapi mereka bertiga nekat.

Ternyata Aruno benar, di tengah jalan Danan mengalami cedera, jatuh dan kakinya patah, sehingga harus dipapah keluar oleh Marin dan Julen. Setelah itu Marin menemuiku. Saat itu aku sudah hamil muda dan begitu khawatir akan terjadi apa-apa dengannya. Aku melarang Marin untuk melanjutkan penggalian. Namun ia bersikeras, meyakinkan aku bahwa batu merah legenda itu benar-benar ada, dan memintaku bersabar dan berdoa. Marin dan Julen lalu kembali ke dalam gua.

"Selanjutnya, adalah saat-saat yang paling menyedihkan. Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sana, tak ada lagi yang tahu. Sehari sebelum kejadian, seorang dukun dari kaum orang gunung berkata bahwa makhluk halus penghuni gunung tidak suka ada orang-orang yang masuk untuk mengambil sesuatu yang bukan hak mereka.

"Dan akhirnya kabar mengejutkan itu datang."

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now