Bab 17 ~ Sang Kesatria

113 59 4
                                    

Di Lembah Heiszl Wester sudah sering mendengar cerita-cerita menyeramkan tentang para kesatria.

Ayahnya sering membicarakannya, begitu pula Ferren kakaknya. Sejauh yang bisa Wester tangkap, sosok kesatria itu biasanya mengerikan. Bertubuh besar, kuat, dan perilaku mereka kejam, suka membunuh. Kesatria adalah musuh turun-temurun para penyihir.

Itulah yang membuat Wester sekarang menjadi tegang. Kesatria ini pasti orang jahat. Tetapi, jika benar demikian, kenapa Tuan Hiller menyambutnya dengan baik? Tuan Buschan juga kelihatannya sama, tidak memusuhinya. Laki-laki itu juga tidak tampak mengerikan, walau sudah pasti dia seorang yang kuat. Jadi, apa benar dia jahat?

Wester menoleh ke arah Mina. Mina sepertinya juga sama saja. Gadis itu lebih terlihat penasaran dibanding takut atau semacamnya.

"Kita bisa bertanya pada Milia." Mina menunjuk gadis berambut cokelat yang baru muncul dari dapur sambil membawa sekendi air minum.

Tampaknya gadis itu hendak memberikan kendinya pada laki-laki yang tengah mereka bicarakan. Dan ... entah ini hanya perasaan Wester saja atau tidak, gadis itu kini kelihatan lebih cantik dibanding tadi. Wajahnya berseri-seri dan senyumannya terkembang. Satu lagi contoh bahwa kesatria itu tampaknya memang disukai oleh banyak orang.

"Ssstt, Milia," Mina berbisik begitu gadis itu lewat di belakang Wester dan Mina. "Boleh kami tahu, laki-laki itu siapa ya?"

"Hah? Kalian tidak tahu?" Milia menatap keduanya dengan tatapan meremehkan.

"Kesatria, ya?" tanya Mina.

"Ya, dan bukan kesatria biasa," tukas Milia. "Dia Pierre, kesatria terhebat di Estarath. Pahlawan dan pendekar pedang yang terkenal di mana-mana."

"Oh." Wester dan Mina melongo.

Cukup lama sampai membuat dahi Milia mengernyit.

"Ah, sudah. Aku ditunggu. Kalian berdua jangan bertingkah memalukan, ya." Milia bergegas pergi dari hadapan keduanya.

Mina langsung cemberut menndengarnya. "Bertingkah memalukan? Maksudnya? Memangnya kita anak kecil?"

Sementara Wester meringis. Kegelisahannya belum hilang, bahkan bertambah. Ada kesatria di tempat ini; jangan sampai dia tahu ada bocah keturunan penyihir di sini! Wester tidak bisa membayangkan jika dia sampai tahu. Ksatria itu mungkin akan menghajar Wester tanpa ragu, tak peduli dirinya masih anak kecil.

Wester mengkeret, duduk diam di kursinya. Ingin rasanya ia cepat-cepat keluar dan kembali ke kereta. Mudah-mudahan Tuan Buschan tidak kelepasan bicara mengatakan pada kesatria itu kalau ada seorang anak penyihir di sini.

Diam-diam Wester memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Dua orang laki-laki pendiam yang tadi makan di pojokan, kini naik ke lantai dua.

Si suami yang membawakan makanan untuk istrinya malah sudah menghilang sejak tadi, entah kapan.

Dua orang lainnya kemudian turun, sepasang tamu yang terakhir, yang menunggang kuda. Wester sedikit terkejut karena kali ini ia mengenali keduanya. Mereka ternyata Rigon dan Tuan Taggar!

Yang mengejutkan, ternyata Tuan Taggar ini juga mengenal kesatria berambut kuning bernama Pierre itu. Jadilah empat orang itu kemudian makan bersama di satu meja.

Tidak, lima! Karena Tuan Buschan juga akhirnya bergabung di sana.

"Nah, para pembesar sudah makan di satu meja. Kamu tidak mau ikut, Eddar?" Mina terkekeh.

Eddar menjulurkan lidahnya, lalu menggeleng sambil tertawa kecil. "Sebenarnya sih mau. Sayangnya, Tuan Buschan tidak mengajakku."

Ginia yang duduk di sebelahnya menyeletuk. "Seharusnya kamu pergi saja ke sana, lalu pura-pura kenal. Siapa tahu mereka benar-benar mengajakmu makan."

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now