Bab 4 ~ Anak Gila

190 82 2
                                    

Hal paling berani yang pernah dilakukan seseorang bukan tumbuh dari keinginannya, melainkan dari rasa takutnya yang paling dalam.

Itulah kesimpulan sederhana yang muncul di benak Wester ketika akhirnya ia memutuskan untuk menerima tawaran Mina.

Kabur dari keluarganya, menuju negeri asing yang jauh.

Ternyata dibandingkan dengan takut pada amarah ayahnya, ia lebih takut pada sihir. Mungkin seperti anak lain takut pada pelajaran berhitung karena merasa paling bodoh, atau pada pelajaran bernyanyi karena merasa suaranya paling jelek. Ketakutan semacam itulah yang membuat ia nekat kabur.

Mina berkali-kali meyakinkannya, bahwa keputusan Wester untuk pergi itu sesuatu yang wajar. Toh ia sudah tiga belas tahun. Di luar sana ada ribuan anak lain yang melakukan hal serupa.

Gadis itu bahkan menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh.

Itu pasti bualan. Wester tidak yakin ada banyak anak lain seperti dirinya, yang nekat kabur dari keluarganya, hanya karena takut. Takut pada pelajaran sihir, takut gagal menjadi penyihir, dan terutama takut pada apa yang akan terjadi setelah ia gagal. Sementara mengenai keinginannya, ya, ia memang ingin melihat negeri-negeri di luar sana, tetapi Wester tidak yakin apakah itu merupakan dorongan yang kuat dan tepat untuk pergi.

Wester kembali ragu. Mungkin seharusnya ia tidak mengikuti rasa takutnya, dan percaya begitu saja pada omongan Mina, yang baru dikenalnya beberapa minggu, tentang betapa hebatnya negeri-negeri di luar sana.

Juga mengikuti ajakan gadis itu untuk mengabaikan ayah atau kakaknya sendiri. Ini perbuatan gila. Jadi sebaiknya ia bicara.

"Mmm ... Mina," Wester memanggil dengan takut-takut kala Mina sedang menumpuk selimut-selimut tebal di sekeliling tubuh Wester yang tersembunyi di sebuah peti baju di dalam kereta kuda.

Fajar baru saja menyingsing, dan Tuan Buschan telah meminta setiap anggota rombongannya agar bersiap pergi. Inilah saatnya.

Sudah sejak dini hari Wester berada di dalam kereta. Semalam ia mengendap-endap dari rumah, menemui Mina, kemudian mempersiapkan mental. Ia yakin semalam keinginannya semalam udah benar-benar bulat.

Namun, begitu saatnya mereka kini berangkat, ia justru ragu.

Ia berkata, "Mina, mungkin sebaiknya aku bicara dulu pada ayahku. Siapa tahu dia bisa mengerti, lalu berubah pikiran."

"Ssst, diamlah," tukas Mina sambil meletakkan telunjuknya di depan mulut. "Tetaplah di sini, dan jangan bersuara. Paling tidak sampai kita keluar dari Lembah Heiszl."

"Tapi, menurutku—"

"Hei, Mina!" Suara seorang pemuda terdengar dari arah depan.

Wester melirik dari balik tumpukan selimut, memperhatikan Mina yang melompat ke tempat duduk depan.

"Apa?" tanya Mina pada orang yang ada di samping kereta.

Wester tak bisa melihat sosoknya, karena pandangannya tertutup oleh kain terpal yang melengkung menutupi kereta.

"Kau yakin bisa membawa kereta ini?"

Kini Wester mengenali suaranya. Dia Quino, pemuda tegap berumur delapan belas tahun yang juga anggota rombongan Tuan Buschan. Wester tidak menyukai pemuda itu, karena dia selalu menatap dirinya dengan pandangan bermusuhan setiap kali Wester berkunjung ke tenda para pedagang.

Sikap Quino itu mungkin tidak bisa disalahkan, karena selama ini Wester memang tidak pernah membeli atau menjual barang apa pun.

"Tentu saja!" jawab Mina ketus. Sambil menunjuk ke dua ekor kuda di depannya ia melanjutkan, "Mereka lebih suka berjalan denganku, dibanding denganmu."

Quino mendengus. "Bawa dengan benar, jangan ceroboh seperti kemarin-kemarin. Atau Tuan Buschan takkan pernah mengizinkanmu lagi membawa kereta."

"Tak usah mengajariku," balas Mina.

"Cewek keras kepala," kata Quino geram. "Aku bicara baik-baik."

Lalu suara pemuda itu terdengar lebih pelan, "Dan jangan coba-coba menyentuh barangku, mengerti?"

"Aku tidak peduli pada barangmu."

"Bagus!"

"Hei." Suara lainnya terdengar. "Apanya yang bagus?"

Wester mengenalinya juga. Itu suara Eddar, pemuda berusia dua puluh tahunan yang menurut cerita Mina sudah ikut Tuan Buschan sejak kecil dan karenanya telah dianggap sebagai anak sang Tuan. Ia pemuda yang ramah dan disukai banyak orang.

"Bagus, karena Mina sekarang sudah berani membawa kereta lagi dan berjanji akan melakukannya dengan benar," tukas Quino.

"Oh, iya, itu bagus." Dari balik selimut Wester melihat kepala Eddar yang manggut-manggut. "Kau baik-baik saja, Mina?"

"Aku baik-baik saja."

"Hati-hati," kata Eddar. "Kalau nanti ada apa-apa, atau kalau kau lelah, bilang saja padaku."

"Yaaa." Mina terdengar senang. "Aku akan berteriaaak!"

Eddar tertawa mendengar teriakan Mina, kemudian suaranya berubah tegas, "Kembali ke keretamu, Quino. Kita segera berangkat."

Quino tidak menjawab, mungkin hanya menggerutu dalam hati.

Wester mendengar kedua pemuda itu melangkah pergi.

Di kursi depan Mina duduk memegang tali kekang kuda dan pecutnya. Gadis itu menoleh ke belakang, nyengir ke arah Wester yang bersembunyi di balik tumpukan selimut, seperti berusaha menenangkan.

Perintah Tuan Buschan terdengar. Satu demi satu, sepuluh kereta pedagang bergerak maju perlahan, meninggalkan tanah lapang tempat mereka selama ini tinggal. Ketika tiba giliran roda kereta Mina berputar di jalanan tanah yang basah dan berbatu-batu, dada Wester berdebar tak karuan.

Sebelum ini ia memang pernah pergi meninggalkan desanya, tapi paling jauh hanya sampai ke desa tetangga. Sekarang, ia akan keluar lembah!

"Santai saja," kata Mina sambil mengayunkan pecutnya. Suaranya pelan, jadi mestinya tidak akan terdengar oleh rekannya yang berada di kereta lain. "Saat pertama kali bepergian kamu memang akan berpikir yang aneh-aneh. Semuanya seolah terlihat mengerikan atau semacamnya. Tapi setelah itu biasa saja. Kau akan menikmatinya. " Gadis itu kemudian menyanyi-nyanyi.

Wester mengintip melalui celah di belakang kereta. Pohon-pohon jangkung di depan gerbang desa yang telah dikenalnya seumur hidup semakin menjauh, kemudian tertutup oleh dua kereta lain yang berjalan di belakangnya. Mau tak mau membuat ia mengangkat sedikit kepalanya, berusaha melihat.

Wester semakin gelisah. Ayah dan kedua kakaknya ada di belakang sana, dan ia baru saja meninggalkan mereka! Ia memang benar-benar sudah gila.

Ia anak gila yang sedang mengikuti gadis gila.

"Hei, kamu tidak dengar ucapanku tadi?" Mina menegur.

Wester menatap gadis itu yang sedang menoleh lagi ke belakang.

"Kamu mau dilihat orang, hah?" bisik Mina sambil melotot. "Dan membuatku terkena masalah? Tutup terpalnya, sembunyikan kepalamu. Yang begini masak belum mengerti juga? Yang sudah lewat di belakang jangan dilihat lagi! Nikmati saja apa yang muncul di depan. Tenang sajalah."

Melihat Mina tampak kesal, Wester menjadi ikut kesal. "Kenapa sekarang kamu jadi terus memaksaku? Kalau mau, aku bisa turun sekarang."

"Siapa yang memaksamu? Aku cuma mengajak, kamu yang memilih ikut. Kalau mau, kamu boleh pulang. Lompat saja sana, aku tidak peduli. Tapi seperti kubilang semalam, mumpung sudah di sini, lebih baik nanti saja pulangnya, begitu kamu sudah jadi orang hebat. Kalau masih bodoh begini, buat apa?"

Wester menggerutu, dan kembali bersembunyi.

Kata-kata Mina seperti biasa tajam, tetapi selalu ada benarnya.

Kalau masih bodoh, buat apa pulang?

Valley of WizardsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang