Bab 3 ~ Keluarga Penyihir

227 84 3
                                    

Weidross menatap Wester dengan pandangan menegur.

Cepat-cepat Wester mengambil beberapa buah dan sayuran dari tengah meja, lalu meletakkan di piringnya. Pelan-pelan ia mengunyah makanannya. Kakak laki-lakinya, Ferren yang duduk di sisi kanannya membuat seringai menyebalkan, seperti mengejek, sementara kakak perempuannya, Cylla yang duduk di kirinya hanya tersenyum tipis tanpa bicara, seperti biasa.

"Kamu terlalu banyak berpikir, tapi sayangnya selalu bukan yang penting-penting," sindir Ferren. "Makanya pelajaranmu selalu tertinggal."

Wester diam saja. Ferren, kakak nomor empatnya, bukanlah kakak yang menyenangkan. Dia sering merendahkan Wester, dan sok tahu. Ya wajar sih. Di usianya yang tujuh belas tahun saat ini Ferren sudah menguasai cukup banyak sihir, dan karenanya harus dihormati. Lagi pula, kata-katanya benar.

"Kamu juga, Cylla." Ferren mengalihkan sasaran ke adik perempuannya. "Kudengar mulai sering bolos. Coba, tadi sore, pergi ke mana kamu?"

"Ke sungai."

"Cari apa?"

"Cuma main. Sebentar." Cylla menjawab dengan singkat-singkat seperti biasanya, tanpa ekspresi.

Ia sebenarnya gadis yang manis, dan kakak yang paling disukai Wester dibanding yang lain, karena tidak pernah mengganggunya. Selain itu bicaranya irit, dan dari yang irit itu, jika bicara pada Wester selalu sopan. Namun, bagi kebanyakan orang dia memang kelihatan aneh, tertutup dan tidak bisa ditebak. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kepala gadis itu.

"Jangan terlalu jauh ke sungai," Weidross menatap Cylla tajam. "Sudah berapa kali Ayah bilang? Ada yang tidak baik di sana."

Yang dia maksud adalah Lovath, penyihir yang hidup menyendiri dan dijauhi banyak orang karena konon mempraktikkan sihir hitam. Tidak seperti sihir hijau, biru, atau merah yang memakai manipulasi energi, sihir hitam dipraktikkan dengan cara memanipulasi jiwa manusia. Sangat berbahaya, jahat, dan karenanya dilarang.

Belum ada bukti bahwa Lovath menggunakan sihir semacam itu, bisa jadi itu hanya desas-desus, tetapi orang telanjur tidak suka dan menjauhinya.

Wester sendiri yakin Cylla tidak akan pergi jauh sampai bertemu Lovath. Kakaknya itu mungkin hanya pergi ke tepi sungai untuk melukis; dia suka melakukan itu. Namun, kekhawatiran ayahnya tentunya wajar.

Cylla hanya mengangguk kecil untuk mengiyakan ucapan ayahnya, kemudian kembali mengunyah makanannya dengan pelan dan lama seperti biasa. Semua terdiam. Suasana makan malam yang menyebalkan, Wester menggerutu dalam hati. Parahnya, ternyata masih ada lanjutannya.

"Kamu ikut aku saja besok," Ferren berkata pada Wester.

Alis Wester terangkat, kunyahan di mulutnya tertahan.

Ferren saling berpandangan dengan ayahnya, membuat Wester mulai curiga bakalan ada sesuatu yang tidak menyenangkan lagi baginya, yang pasti—sekali lagi—berhubungan dengan sihir.

Weidross mengangguk, dan menjelaskan, "Besok Ferren akan pergi ke utara, ke Desa Guiszil untuk berguru pada Eir Zolin. Kamu mungkin pernah mendengarnya, dia teman dekat kakekmu. Dia menguasai berbagai macam sihir, dan pengendali api yang hebat. Kamu bisa belajar dengan lebih baik di sana. Jadi, kamu ikut Ferren besok."

Wester menelan ludah. Kejutan apa lagi ini? Ia gagal belajar membuat angin, salah satu bagian dari sihir biru, dan sekarang malah disuruh mencoba mengendalikan api, bagian dari sihir merah yang biasanya lebih susah dan berbahaya? Kenapa bukan mengendalikan air saja, yang juga termasuk sihir biru dan lebih mudah?

Atau malah sihir hijau, di mana ia bisa belajar memanipulasi energi yang ada di dalam tumbuh-tumbuhan. Menjadi pembuat obat-obatan masih lebih baik dibanding terluka gara-gara bermain api. Mestinya ayahnya ingat kalau dia sendiri dulu terluka karena berusaha mengendalikan api.

Di sisi lain, Wester sudah pernah mencoba mengendalikan energi air maupun tumbuh-tumbuhan di sekitarnya, dan ia tetap sama bodohnya dalam hal itu. Jadi, meminta agar ia belajar energi air dan tumbuhan lagi, dibanding mempelajari api, mungkin memang tidak ada gunanya juga.

"Dengar, tidak cuma mengendalikan api, Zolin juga menguasai sihir-sihir yang lainnya," secara mengejutkan Ferren berkata pada Wester dengan lebih suara lebih ramah. "Ada banyak yang bisa dipelajari di sana."

"Murid-murid di sana juga lebih serius," lanjut Weidross. "Tidak seperti anak-anak di sini. Apalagi seperti Jonar, temanmu. Kudengar sebentar lagi ia pulang dari Hutan Ungu. Ia membawa pengaruh buruk."

Wester semakin kesal. Jadi maksud ayahnyanya, ia harus pergi, supaya tidak bisa lagi bermain dengan Jonar? Padahal Jonar ini, walau susah diatur, dia teman yang baik buat Wester. Dia tidak peduli walaupun Wester tidak bisa sihir. Jonar tidak merendahkannya seperti anak-anak lain.

"Bagaimana? Kamu bisa?"

"Iya ..." Seperti biasa, hanya itu yang bisa keluar dari mulut Wester.

"Bagus." Weidross mengangguk senang. "Kalau begitu habiskan segera makananmu, setelah itu tidur. Perjalanan ke Desa Guiszil cukup jauh, jadi kamu harus istirahat dengan baik malam ini." Ia menatap Wester lekat-lekat, kemudian tersenyum. "Setelah satu tahun di sana nanti kamu bisa kembali, dan Ayah percaya kamu akhirnya bisa menjadi penyihir yang baik."

Begitukah? Wester tetap tidak percaya. Tetapi demi kesopanan ia balas mengangguk. Ia pun melanjutkan makannya. Setelah selesai ia langsung pergi ke kamarnya. Ia berbaring, memikirkan apakah memang sebaiknya ia ikut pergi ke Utara, atau justru .... Ia kembali teringat pada Mina. Pada rencana orang-orang itu. Sesuatu yang membuatnya semakin gelisah.

Wester menutup wajahnya dengan bantal, kesal pada dirinya sendiri. Ia merasa tidak enak karena tadi sekali lagi ia menyetujui hal yang sebenarnya tidak dia inginkan. Kenapa ia tidak pernah bisa menolak?

Ia melepaskan bantal dari wajahnya. Didengarnya Cylla juga sudah masuk ke kamar. Sementara Weidross dan Ferren, samar-samar terdengar, masih meneruskan berbincang di meja makan tentang segala macam, mulai dari berbagai sihir milik Zolin sampai desas-desus tentang kemungkinan adanya serangan dari para kesatria di sebelah utara Lembah Heiszl.

Kabarnya para kesatria tengah mengincar Batu Suci yang tertanam di suatu tempat tak jauh dari Desa Guiszil, entah karena apa—alasan yang belum bisa Wester pahami. Weidross mewanti-wanti bahwa jika benar nanti terjadi serangan, lebih baik Ferren membawa Wester kembali ke Selatan, dan biar pasukan penyihir saja yang melawan para kesatria.

Ferren bilang tak mungkin para kesatria sampai berbuat senekat itu, dan sebenarnya ia nanti malah ingin bergabung dengan pasukan, begitu ia berhasil menguasai sihir merah. Namun, karena ayahnya keberatan, akhirnya Ferren berjanji akan membawa Wester pulang terlebih dulu.

Wester mendengar semuanya. Desa Guiszil di Utara ternyata bukan tempat yang aman seperti dikira sebelumnya. Itu tempat yang berbahaya. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh bocah bodoh sepertinya di sana, jika perang sampai terjadi. Ia hanya akan menyusahkan orang lain, termasuk kakaknya sendiri. Bahkan, jika terlambat menyelamatkan diri, ia mungkin akan menjadi orang pertama yang celaka. Mati di tangan para kesatria.

Ia yakin, seharusnya ia tidak pergi ke sana, dan memang tidak ada gunanya. Toh ia tidak akan pernah bisa menjadi penyihir. Wester sudah tahu, tidak ada sedikit pun bakat sihir dalam dirinya, dan sudah tidak ada lagi keinginan buat mempelajarinya. Ia tidak akan berhasil di sana, dan kegagalan itu justru nanti akan semakin mempermalukan ayahnya.

Begitu hal itu terjadi, tidak akan ada lagi jalan keluar baginya. Ia hanya akan dikenal sebagai seorang penyihir gagal seumur hidupnya.

Wester tak ingin menjadi seperti itu. Ia takut akan menjadi seperti itu.

Ia harus pergi, ke tempat lain, selagi masih ada kesempatan.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now