Bab 37 ~ Milikmu

92 53 2
                                    

"Jika melihat bentuk pecahan dan potongannya, mungkin ini bekas altar, atau tempat pemujaan di masa lalu," kata Pierre saat berjongkok dan menyentuh batu-batu yang terserak di atas puncak bukit itu. "Umurnya mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan tahun, entahlah. Aku bisa membayangkan, orang-orang zaman dulu yang menikah di atas bukit ini, dengan pemandangan menakjubkan itu. Ini mungkin termasuk tempat suci."

"Mungkinkah ayah dan ibuku dulu menikah di sini?" tanya Mina.

"Mungkin saja."

Mina tersenyum. Mungkin senyuman pertamanya sejak siang tadi.

Suasana hati gadis itu sepertinya mulai membaik.

"Sekarang kita cari benda peninggalan itu?" tanya Wester.

Mina mengangguk dan memandang berkeliling. "Kalau aku menjadi ayahku, aku akan menyembunyikan barang itu di dalam tanah, di balik batu-batu ini, supaya tidak mudah ditemukan orang. Berarti ..."

"Kita harus menggalinya," lanjut Pierre.

"Di mana?" tanya Wester. "Tempat seluas ini mau kita gali semua?"

"Terserah Mina. Dia bosnya." Si kesatria tertawa. "Kalau dia ingin aku menggali semuanya, akan kugali."

"Tidak. Aku tak ingin merusak tempat seindah ini dengan galian di mana-mana," tukas Mina. "Sebentar, biar aku berpikir dulu."

Ia melihat sekelilingnya lagi. "Ibu bilang ada satu batu yang berbeda di sini. Tapi dari yang kulihat sepertinya semuanya sama saja. Dan sebentar lagi petang, mungkin kita belum bisa menemukannya hari ini."

"Kau ingin kembali ke kota, dan ke sini lagi besok pagi?" tanya Wester.

Mina terdiam, sebelum menjawab. "Tidak. Aku ingin bermalam di sini."

Wester tidak bertanya kenapa akhirnya Mina memutuskan begitu. Mungkin karena akan membuang banyak waktu dan tenaga jika harus bolak-balik pergi lagi ke kota. Jika alasannya memang benar ini, Wester setuju saja. Pierre, sesuai rencana awal, juga mestinya tidak bisa lama-lama di Goetz; dia harus secepatnya pergi ke Tavar, mungkin besok atau lusa. Jadi, akan lebih baik jika mereka bisa mencari benda itu sepagi mungkin besok, begitu matahari terbit.

Mina duduk beristirahat, bersender di batang pohon, ke arah matahari yang mulai terbenam. Wester duduk di sampingnya ikut menikmati pemandangan. Sementara Pierre berkeliling mencari ranting-ranting yang bisa dibakar untuk membuat api unggun.

"Jika ayah dan ibuku menyukai tempat ini, mungkin seperti ini jugalah yang mereka lakukan," kata Mina. "Duduk bersama ... di sini menikmati terbenamnya matahari. Berdua."

Wester mengangguk-angguk. "Mmm ... ya, pemandangannya bagus."

Mina menoleh. "Kamu suka?"

"Matahari terbenam? Lumayan. Matahari terbenam artinya pelajaran sihir selesai, dan aku bisa pulang buat makan malam. Biasanya begitu." Wester meringis, kemudian tertawa sendiri.

"Berarti, kebalikannya, kamu tidak suka matahari terbit?"

"Hmm... ya, begitulah, sepertinya, karena berarti itu waktunya mulai belajar lagi. Belajar mengenai sesuatu yang tak pernah bisa kulakukan. Seringkali rasanya malas sekali. Tapi, mestinya aku tidak boleh menyalahkan matahari terbit, 'kan? Jadi, aku tidak perlu tidak suka."

Mina tertawa. "Tidak perlu tidak suka. Kata-katamu bikin pusing."

"Kamu sendiri, suka matahari terbit?"

"Tentu saja." Mina mengangguk mantap. "Matahari terbit berarti hidup baru. Hidup kita dimulai lagi. Ada begitu banyak hal yang ingin sekali kulihat dan kulakukan. Saat malam boleh saja aku bersedih seperti ini, tapi begitu pagi datang kesedihan itu hilang semua, digantikan oleh semangat."

"Berarti kamu lebih suka matahari terbit daripada matahari terbenam?"

"Ya, betul."

"Kalau kamu seperti itu, mungkin ibumu juga."

Mina memandangi Wester. Dahinya berkerut. "Maksudmu?"

"Ya begitu. Besok pagi, saat matahari terbit, kamu perlu pindah tempat duduk, ke sana, ke sisi pohon yang satu lagi. Supaya bisa melihat matahari terbit. Mungkin di sana adalah tempat yang lebih disukai oleh ibumu dibanding tempat yang ini. Mungkin itu tempat yang paling disukainya."

Mata gadis itu membesar, seakan tersadar sesuatu.

Lalu, ia berseru, "Pintar! Kamu memang pintar!"

Mina berdiri, lalu berlari ke sisi pohon di balik mereka.

"Di sini! Seharusnya batu yang berbeda itu ada di sini!"

Wester cepat-cepat berdiri menghampirinya. "Mmm ... apa yang kubilang tadi belum tentu benar, ya. Belum tentu batu itu ada di sini."

"Aku yakin." Mina menoleh. Dalam remang cahaya petang terlihat senyuman gadis itu yang lebar dan wajahnya yang berseri. "Aku tidak bisa menjelaskannya, tetapi aku yakin."

Gadis itu berlutut, lalu mencabut rumput dan mengorek-ngorek tanah di dekat sebuah batu, yang kini hanya ujungnya yang terlihat dengan tinggi kira-kira sejengkal dari permukaan tanah.

"Kalian menemukannya?" Seruan Pierre terdengar.

Ia meletakkan ranting-ranting yang baru saja dikumpulkannya, lalu ikut berlutut di samping Wester dan Mina. Ia mengeluarkan pisaunya dan menggali. Kedua anak akhirnya membiarkan kesatria itu yang melakukannya.

Pierre menggali sampai sedalam dua jengkal. Batu yang awalnya tadi hanya kelihatan ujungnya kini terlihat lebih besar. Bentuknya persegi, mungkin dulunya ini adalah sebuah meja batu. Namun, meja batu itu juga kelihatannya tidak utuh lagi, sudah pecah atau patah.

"Ada semacam tulisan di sini," kata Pierre sambil meraba bagian dalam batu yang sebelumnya tertutup tanah. "Sayang aku tak bisa membacanya. Terlalu gelap. Mungkin diukir ayah dan ibumu, tapi mungkin juga sudah ada sejak dulu. Lalu ini ..." Suara ketukan kecil terdengar. Pisaunya seperti menyentuh semacam besi di bawah sana.

Pierre menunduk, mengambil sesuatu, kemudian menyodorkannya ke Mina, "Mungkin ini benda yang kau cari."

Benda itu adalah kotak besi berukuran kecil. Lebarnya hanya setelapak tangan dan terbungkus kain, tetapi kain itu sudah sobek sebagian.

Hati-hati Mina menyingkap kain tersebut, membersihkan kotak besinya, dan akhirnya membukanya. Napas gadis itu tertahan.

Selama beberapa saat ia memperhatikan isinya tanpa berkedip.

"Isinya batu ..." bisik Mina. "Merah. Astaga, ini... lihatlah!"

"Jangan." Tanpa diduga Pierre mengangkat tangannya, menahan Mina. "Tidak perlu. Aku tidak perlu melihatnya. Dan kau juga, Wester, sebaiknya jangan melihatnya."

Wester mengerjap-ngerjapkan matanya heran, belum mengerti.

"Kenapa, Tuan?" kata Mina, takut-takut dan menarik lagi kotak besinya.

"Benda di dalamnya adalah benda berharga milikmu," kata Pierre. "Milikmu seorang. Jadi sebaiknya jangan tunjukkan begitu saja kepada siapa pun. Kecuali jika kau ingin memberikan atau menjualnya."

"Tapi kalian berdua temanku. Kenapa tidak boleh?"

"Ya, kami temanmu, dan aku bersumpah, aku akan melindungimu dengan nyawaku jika kau sampai terancam. Kau tidak perlu khawatir. Namun tetap saja, itu adalah barang berharga pribadimu yang sebaiknya kau simpan baik-baik. Kau tidak perlu menunjukkannya pada orang lain."

"I—iya, Tuan," Mina akhirnya mengangguk. Gadis itu termenung. "Aku mengerti. Ini batu merah, yang nilainya sangat mahal. Orang bisa gelap mata jika melihatnya, bahkan hanya dengan mengetahuinya. Kalian temanku, aku percaya kalian tidak akan berusaha mengambil ini, tapi sebaiknya aku memang harus mulai belajar berhati-hati. Benar begitu, Tuan?"

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now