Bab 16 ~ Para Tamu

104 61 2
                                    

Makan malam dihidangkan. Daging kambing asap dengan bau harum menusuk. Sepertinya lezat.

Seperti umumnya para penyihir di Lembah Heiszl, Wester belum pernah makan daging. Bukan karena itu dilarang, tetapi karena para penyihir percaya bahwa makanan yang berasal dari hewan akan membuat aliran energi di tubuh terhambat, dan membuat sihir mereka menjadi lemah. Karenanya mereka selalu memilih memakan buah-buahan atau sayuran.

Namun Wester berpikir, toh ia tidak lagi berada di Lembah Heiszl, dan ia juga tidak percaya kalau ia akan menjadi penyihir yang baik, jadi ketika Mina menawarkan daging tersebut, ia pun hampir mengambilnya.

Tetap saja, pada akhirnya sesuatu menahannya. Ia menolak dengan sopan. Tampaknya walau bagaimanapun Wester tak bisa menyangkal kenyataan bahwa dirinya tetap merupakan orang yang berasal dari Lembah Heiszl. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat ia menolak. Entahlah, mungkin darah dalam tubuhnya yang berasal dari para penyihir, termasuk Weidross ayahnya, yang membuat ia teringat.

Wester tidak berusaha untuk melawan. Ia memilih mengambil buah apel yang tersedia di ujung meja, dan makan seperti biasa.

Seiring dengan hadirnya makanan di meja-meja, tamu-tamu yang lain akhirnya bermunculan. Yang pertama turun dari kamarnya adalah laki-laki berkumis tipis dengan ekspresi wajah datar. Ia mengenakan baju tebal, sehingga tidak begitu jelas apakah tubuhnya gemuk atau kurus.

Sambil makan Wester dan Mina membuat tebak-tebakan.

"Menurutku dia adalah tamu terakhir yang tadi disebut Tuan Hiller," kata Wester. "Penunggang kuda yang datang sendirian."

"Menurutku bukan," jawab Mina. "Dia adalah si suami yang datang dengan kereta pertama. Mari kita taruhan sekeping tihr."

"Aku sama sekali tidak punya uang!" balas Wester.

"Kamu punya nanti di Tierra, setelah Tuan Buschan memberimu upah. Kamu berikan nanti padaku kalau sudah dapat."

"Kamu nanti yang akan memberikan tihr punyamu," tukas Wester yakin. "Aku bilang dialah si penunggang kuda terakhir."

"Oh, ya? Jadi itu jawabanmu, ya? Kalau begitu aku akan bertanya pada Tuan Hiller. Dia tahu jawaban yang benar."

Mina bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah tempat duduk Tuan Hiller. Di sana gadis itu berbisik pada si pemilik penginapan.

Tuan Hiller tampak mengangguk-angguk.

Mina pun bergegas kembali ke tempat duduknya.

"Aku yang benar," katanya. "Kamu kalah satu tihr."

"Benar?" tanya Wester tak percaya.

"Masa aku bohong?"

"Tapi, bagaimana kamu tadi bisa tahu?"

"Pengamatan, Wester, pengamatan," kata Mina sok tahu. "Kamu lihat, laki-laki itu mengambil dua piring daging, tapi hanya satu yang dimakan olehnya, sementara yang satunya lagi ditutup dengan serbet. Nah, piring daging kedua ini ia simpan buat istrinya. Mungkin istrinya itu sedang sakit atau masih beristirahat di kamarnya, jadi tidak bisa turun kemari."

"Bisa saja mereka dua orang yang datang menunggang kuda, bukan suami-istri itu. Pengamatanmu tadi bisa saja salah."

"Hmm ya, itu betul. Aku memang lebih banyak menebak tadi." Mina meringis. "Tapi kamu lihat, 'kan? Tebakanku cukup akurat. Lagi pula kurasa tidak cocok jika dia salah satu laki-laki penunggang kuda itu. Masak dia membawakan makanan untuk laki-laki lain? Kalau memang begitu artinya laki-laki ini terlalu baik, dan temannya yang di atas itu terlalu malas!"

Wester manggut-manggut, belum begitu setuju dengan pendapat itu.

"Sekarang coba tebak yang ini," bisik Mina.

Dua orang laki-laki turun dari lantai atas. Keduanya bertubuh tegap, berwajah tanpa ekspresi. Yang pertama lebih tinggi satu kepala dibandingkan yang kedua. Mereka duduk di pojokan dan masing-masing mengambil satu piring, lalu keduanya makan tanpa banyak bicara.

Wester langsung menebak dengan yakin, "Sudah jelas, mereka sepasang penunggang kuda itu!"

Mina tidak langsung membalas. Ia tampak berpikir beberapa saat, sebelum berkata, "Bukan. Taruhan satu tihr, bukan kedua penunggang kuda itu. Mereka adalah dua dari tiga orang yang menaiki kereta yang satu lagi."

"Kenapa begitu?"

"Baik, kutanyakan pada Tuan Hiller, ya."

Mina kembali mendekati Tuan Hiller dan berbisik. Sang pemilik itu mengangguk. Mina balik lagi ke kursinya sambil tersenyum lebar.

"Aku benar lagi. Kamu kalah dua tihr."

Wester menggeleng-geleng tak percaya. "Dari mana kamu tahu?"

"Haha, aku tidak tahu. Aku menebak." Mina tertawa puas. "Sebenarnya aku juga berpikir sama denganmu. Kedua orang itu mestinya adalah sepasang penunggang kuda itu. Tapi kalau tebakan kita sama, 'kan jadinya tidak menarik. Kita sama-sama menang, tapi tidak dapat apa-apa. Dengan cara menebak yang berbeda, aku punya kemungkinan untuk menang dan mendapat satu tihr lagi."

"Tapi kamu juga bisa kalah, 'kan?"

"Ya tidak apa-apa kalau ternyata kalah. Aku tadi sudah menang satu tihr, dan kalau kalah sekarang jadi hilang satu tihr. Impas." Mina terkekeh.

Sial, gadis ini memang pintar, Wester menggerutu dalam hati.

"Cuma aku bingung," Mina menggumam. "Kalau mereka bertiga, kenapa hanya dua orang yang turun? Satunya lagi ke mana?"

"Seperti si istri tadi, mungkin orang itu memilih beristirahat di kamarnya," jawab Wester. "Bedanya, yang ini tidak minta dibawakan makanan ke atas."

"Sepertinya begitu." Mina mengangguk-angguk, walau tampaknya belum yakin. Perhatiannya kemudian teralih. "Sudahlah, ini turun satu lagi."

Kali ini yang turun satu orang. Laki-laki, bertubuh jangkung dan tegap dengan dada bidang. Rambutnya kekuningan, tipis tercukur rapi. Alisnya tebal, dan tatapan matanya tajam, tapi ketika tersenyum ia terlihat menyenangkan.

Ada sesuatu pada dirinya, semacam aura, orang-orang Lembah Heiszl menyebutnya begitu, yang mampu membuat semua orang mengalihkan pandangan ke arahnya. Bahkan Tuan Hiller berdiri menyambutnya, lalu dengan hormat mempersilakan laki-laki itu duduk.

Laki-laki tegap itu tertawa kecil lalu menawarkan Tuan Hiller agar duduk makan bersamanya, yang dituruti oleh si pemilik penginapan.

Wester dan Mina saling menatap, lalu tersenyum lebar. Sebelum Mina membuka mulut, cepat-cepat Wester berkata, "Si penunggang kuda terakhir! Orang yang ketika ditanya Tuan Hiller hendak pergi ke mana malah dijawab dengan tawa."

"Ya, kelihatannya dia." Mina setuju. "Kalau aku memilih pilihan terakhir yang tersisa, sepasang laki-laki penunggang kuda, aku pasti akan kehilangan satu tihr. Tapi supaya taruhannya adil, ya aku harus memilih mereka, supaya berbeda denganmu."

Wester nyengir. "Siapa tahu, kamu masih mungkin menang lagi."

"Betul. Sayangnya aku belum bisa bertanya pada Tuan Hiller," kata Mina sambil memandangi kedua orang yang sedang berbincang itu.

"Siapa dia, ya? Kelihatannya cukup terkenal. Tuan Hiller saja sampai hormat begitu."

"Pemilik rumah makan tentu saja harus sopan dan hormat pada setiap tamunya," tukas Mina. "Tapi betul, kurasa dia bukan orang biasa. Penampilannya seperti prajurit, dan bajunya seperti orang biasa, tak beda dengan dua orang yang duduk di sana," katanya sambil menunjuk dua laki-laki pendiam yang makan di pojokan, "tapi rasanya berbeda."

"Coba tanya ke Eddar, mungkin dia tahu," bisik Wester sambil melirik Eddar yang duduk di seberang mereka.

Mina langsung mencondongkan badannya ke depan. "Kamu tahu, Eddar? Siapa dia?"

"Dia kesatria," Eddar menjawab sambil menggigit makanannya. "Tapi aku tidak tahu namanya."

Kesatria? Kesatria dari Kuil Kesatria di Gunung Hohn? Ada di sini?

Wester merasakan darahnya berdesir kencang. Tubuhnya gemetar.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now