Bab 13 ~ Gadis Misterius

120 63 1
                                    

Gadis itu masih ada di sana.

Wester tahu, walaupun ia tidak melihatnya. Ia tahu berkat pisau di tangannya, ia yakin itu. Pikirannya bergerak cepat mencari jawaban. Besar kemungkinan gadis itu ada hubungannya dengan peristiwa di kereta Quino. Mungkin dialah si maling. Bahkan mungkin, dia jugalah yang minum bersama Quino di kedai, membuat pemuda itu mabuk, lalu mengambil kesempatan. Gadis itu bukan orang desa, makanya tak bisa dikenali oleh Makio.

Namun, belum tentu juga seperti itu. Siapa tahu gadis itu hanya kebetulan berada di Erien, lalu bertemu lagi dengan mereka.

"Hei, kenapa kamu?" Ginia menegurnya.

Wester menoleh, ragu apakah sebaiknya memberi tahu Ginia atau tidak soal ini. Namun, alasan apa yang bisa dipakainya untuk meyakinkan Ginia, bahwa kemungkinan gadis berambut pendek itu adalah si pencuri?

Ia tidak mungkin bilang bahwa ia bisa tahu karena pisaunyalah yang memberi petunjuk. Ginia tidak akan percaya.

"Ehm... tidak ada apa-apa," ia pun menjawab.

"Kamu mau istirahat? Duduk saja di sana. Biar aku yang menyelesaikan pekerjaan ini."

Wester menuruti kata-kata Ginia. Ia bergeser sedikit dan duduk di atas sebuah kotak bekas di sudut jalan, kemudian melirik ke seberang jalan, yang jaraknya sekitar empat puluh kaki. Gadis itu masih ada di sana.

Oh, tidak, dia berjalan pergi. Ke arah barat. Wester berpikir cepat, dan tiba-tiba sebuah ide cemerlang, sepertinya, mampir di benaknya.

"Ginia, boleh aku berjalan-jalan sebentar?"

"Huh? Mau ke mana?"

"Mungkin ke tempat Drell dan Artur."

"Ke mana?" Kali ini Tuan Buschan yang bertanya. Ia baru saja selesai berbincang dengan seorang pedagang makanan.

"Dia mau ke bengkel kereta, mencari Drell dan Artur," Ginia yang menjawab, masih sambil sibuk melipat kain-kainnya.

Tuan Buschan mengangguk-angguk. "Memang sudah waktunya dua anak itu pulang. Sudah hampir petang. Kamu tahu tempatnya?"

"Di sebelah barat?" tanya Wester.

"Benar. Kamu tinggal ikuti saja jalan itu, terus ke ujung, nanti kamu akan sampai. Bengkel Tred terlihat dari jauh."

Wester mengangguk. Ia pun bergegas pergi, menyusup di antara tubuh-tubuh orang yang berseliweran. Ia menggenggam gagang pisau di pinggangnya. Pisau itu menuntunnya menemukan sasaran yang ia cari.

Ketemu. Gadis itu berjalan di depannya, sekitar dua puluh langkah, di antara beberapa orang lain yang berjalan searah. Wester gelisah, dan tiba-tiba ragu. Sebenarnya apa yang ia cari? Memangnya gadis itu mau ke mana?

Bagaimana jika Wester sampai ke tempat yang berbahaya?

Uh! Padahal Tuan Buschan sudah memperingatkan bahwa sebaiknya Wester jangan coba-coba melakukan hal bodoh!

Mendadak, gadis itu menghentikan langkahnya, tepat sebelum perempatan terakhir di ujung barat kota. Dia menoleh ke belakang.

Wester cepat-cepat melompat, bersembunyi di balik pilar sebuah bangunan. Gawat, apa gadis itu tahu bahwa ia membuntutinya?

Wester menunggu, kemudian mengintip dari balik pilar.

Gadis itu sudah lenyap.

Wester memperhatikan setiap sudut jalan, berusaha mengenali semua orang yang lalu-lalang atau sedang berbincang. Sebuah kereta kuda berisi jerami lewat di depannya. Kusirnya mendesis berusaha memperingatkan kudanya agar berjalan dengan lebih teratur, dan hal itu membuat perhatian Wester teralih. Ia mempererat genggaman di pisaunya.

Hangatnya masih terasa, tapi ia tak bisa lagi merasakan kehadiran gadis itu. Semua sepertinya sudah tak setajam yang dirasakannya tadi, bahkan perlahan-lahan memudar.

Wester keluar dari persembunyiannya, dan berjalan cepat hingga ke perempatan. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak tampak sosok gadis itu.

Mungkinkah dia masuk ke salah satu rumah?

Wester memperhatikan rumah besar di ujung jalan, bangunan terdekat dengan posisi terakhir gadis itu saat tadi masih terlihat. Sepertinya rumah biasa, dengan dinding-dinding batu yang kusam dan jendela-jendela kayu yang terbuka lebar. Pintunya tertutup, sementara dari dalamnya terdengar suara tangisan anak kecil dan dua orang yang tengah berbincang. Bukan pembicaraan yang aneh. Itu hanya rumah biasa, dan rasanya tidak mungkin gadis dari sebuah desa di luar Erien bisa begitu saja masuk ke dalam rumah itu.

Wester menghela napas. Sepertinya sudah cukup aksi tidak jelasnya sore ini, yang ternyata tidak berjalan sesuai rencana.

Huh, memangnya dia punya rencana apa?

Wester tertawa sendiri, kemudian diam lagi, supaya tidak dikira orang gila. Baiklah, mungkin sebaiknya kini ia benar-benar mengikuti perintah Tuan Buschan: memanggil Drell dan Artur, serta menyuruh mereka untuk segera pulang.

Bengkel kereta milik Tred ada di ujung Kota Erien. Beberapa kereta kuda tampak sedang diparkir di halaman, dan Drell serta Artur berada di salah satu sudutnya. Kedua anak itu sedang berbincang dengan seorang pemuda tegap berambut kemerahan, yang sepertinya tengah bekerja mengetok roda kereta dengan palu besi. Wester menyeberangi jalan, lalu menyusuri pagar dan mendekati mereka bertiga.

Drell yang pertama melihat kedatangannya. "Wester! Kemarilah!"

Gayanya cukup akrab, berbeda dengan kemarin saat kedua anak itu mengejek Wester. Drell kemudian memperkenalkan Wester dengan pemuda tegap yang tengah mengerjakan roda, Rigon, yang ternyata sepupunya. "Rigon bilang besok ada kereta yang berangkat ke Goetz. Ia sedang memperbaiki rodanya sekarang. Sebentar lagi selesai."

"Kamu dan Mina mau ikut?" tanya Artur, mengejutkan.

Wester menggeleng. "Sepertinya tidak."

"Maksudmu, kalian berdua, atau hanya kamu yang tidak?"

"Mina juga tidak," tukas Wester. Sebenarnya ia tidak yakin, tetapi ia lebih suka jika Mina tidak ikut pergi, dan karenanya menjawab begitu.

"Sayangnya Rigon juga tidak." Drell melirik sepupunya. "Padahal ada pandai besi bagus di Goetz. Bukankah kamu dulu bilang ingin menjadi pandai besi yang hebat, tidak terus bekerja di bengkel?"

"Hei, jangan keras-keras," kata Rigon. Ia melirik ke arah laki-laki bertubuh gemuk yang sedang berbincang dengan seorang tamu. Kelihatannya itu Tred, pemilik bengkel yang berarti atasan Rigon. "Aku mau menjadi pandai besi, tapi kurasa Goetz bukan tempat yang terbaik untuk belajar. Haston lebih bagus. Di sana aku bisa belajar membuat pedang atau pisau yang baik. Perisai, baju besi, atau yang lain."

"Jadi menurutmu pandai besi di kota Goetz nanti, yang meminta orang-orang membawakan batu hitam padanya, bukan pandai besi yang bagus?" tanya Drell. "Kudengar dia cukup terkenal."

"Seperti kataku tadi, Haston lebih bagus," tukas Rigon.

"Kalau mau ke Haston, mau pergi dengan siapa?" tanya Artur.

"Bisa saja bersama Wester ini. Kudengar rombongan kalian akan pergi ke selatan. Betul?" Rigon tersenyum pada Wester, lalu tertawa.

Wester mengangguk. "Betul. Kalau mau, ikut saja. Tinggal bilang pada Tuan Buschan, ia akan menerimamu dengan senang hati. Asal kamu senang bekerja, ia pasti suka."

Drell mengangkat bahu. "Kita semua punya tujuan sendiri."

"Kalian berdua disuruh segera kembali oleh Tuan Buschan," kata Wester. "Kalau memang mau pergi, harus pamit. Jangan seperti Quino."

"Kami tahu!" Artur tampaknya kesal karena dinasihati oleh anak yang lebih kecil. "Tapi sebentar lagi. Kami harus memastikan bahwa Rigon benar-benar sudah membetulkan roda ini sekarang, supaya kami juga yakin kalau besok bisa pergi."

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now