Bab 22 ~ Menjadi Kurir

91 59 1
                                    

Tangan kiri Willar meraba pinggangnya dan dengan sekuat tenaga ia mencabut pisau yang tertancap. Darah mengalir deras. Laki-laki itu berputar dan menatap Wester penuh kebencian, tapi tak berani maju mendekat karena tak jauh dari sana Pierre sudah berhasil mengatasi lawannya.

Dengan lincah ksatria itu mengelak dari dua serangan lawan, lalu pedang kembarnya terayun, memutar cepat ke kiri dan ke kanan, menebas leher dua prajurit musuhnya bersamaan. Kedua kepala itu berputar-putar di udara.

Willar melemparkan pisau di tangannya ke arah Wester.

Untunglah, Wester waspada dan masih bisa menunduk, sehingga pisau itu hanya melayang di atas kepalanya. Si kepala prajurit lalu lari ketakutan, bersimbah darah. Dia berhasil mencapai kudanya dan melompat naik. Tanpa membuang waktu dia memacu kudanya, kabur dengan susah payah.

Pierre berlari mengejar, tetapi setelah beberapa langkah kesatria itu berhenti dan membiarkan Willar pergi.

Pierre memandangi kuda dan penunggangnya itu yang semakin menjauh, kemudian menoleh, menatap Wester yang tengah memungut kembali pisaunya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya laki-laki itu.

Wester menelan ludah, mengangguk. Ia masih bingung bagaimana harus menanggapi ucapan Pierre. Tadi laki-laki itu sudah jelas-jelas bilang kalau penyihir adalah musuhnya, jadi sudah sepatutnya kalau Wester tak suka padanya.

Namun, Wester tak bisa memungkiri bahwa Pierre tadi sebenarnya sudah menolongnya, selain dengan cara mengalahkan semua prajurit Tavarin itu, juga dengan peringatannya saat mencegah Wester bertindak ceroboh.

Mungkin seharusnya Wester berterima kasih.

"Terima kasih," akhirnya Wester berkata.

Pierre mengangguk. "Maafkan tadi, saat aku bilang tidak peduli jika dia sampai membunuhmu. Itu tidak benar. Itu sekadar caraku untuk membuat dia bingung. Aku, kalau kau ingin tahu, tidak pernah menganggap para penyihir sebagai musuh."

Wester balas mengangguk. Ia belum percaya, tetapi mungkin saja yang dikatakan laki-laki itu benar.

Pierre menoleh, berkata pada Quino, "Carikan batu-batu untuk menggali lubang."

"Untuk apa, Tuan?"

"Untuk mengubur keempat orang ini. Apa pun yang telah mereka lakukan saat hidup, setiap manusia membutuhkan tempat yang layak, ketika tubuh mereka sudah menjadi mayat."

Wester bersama Mina, Quino, dan Pierre menggali empat buah lubang di tepi sungai, kemudian menguburkan empat prajurit yang tewas.

Pierre mendoakan mereka; sesuatu yang terasa sedikit aneh karena kesatria itu jugalah yang telah membunuh keempatnya tanpa ampun.

Wester memandangi Pierre, mengamati tingkah lakunya, dan bertanya-tanya dalam hati apakah semua kesatria dari Gunung Hohn seperti dia. Sopan saat berkata-kata, hangat saat bercanda, dingin saat membunuh, dan religius saat melihat kematian.

Mungkin hanya dia satu-satunya kesatria yang seperti itu, sementara yang lainnya tak beda jauh dengan yang selama ini ia dengar di Lembah Heiszl; jahat, kasar, licik, dan semua hal buruk lainnya. Mungkin.

Wester tak memungkiri, ia mengagumi Pierre.

Di sisi lain, sebagai keturunan penyihir, ia tahu bahwa ia tidak boleh percaya pada penampilan kesatria itu. Bisa jadi ada sesuatu yang buruk pula dalam diri Pierre.

Matahari sudah hampir terbenam ketika mereka selesai. Pierre berkata, malam ini mereka akan bermalam di tepi sungai dan besok pagi-pagi sekali baru kembali ke penginapan. Pierre menyalakan api unggun dan membagikan roti kering yang ia bawa.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now