Bab 38 ~ Bersama

152 58 1
                                    

Pierre mengangguk. "Kita harus berhati-hati."

"Aku akan melindungimu, Mina, seperti Tuan Pierre," tukas Wester.

"Terima kasih, Wester." Mina tersenyum. "Kamu manis sekali."

"Mina, kau gadis yang pintar. Kadang terlalu pintar." Pierre tertawa. "Jadi, aku yakin kau pasti sudah sangat paham maksudku. Tapi sebenarnya aku berkata begini karena aku tidak bisa melindungimu selamanya. Kau tahu, aku harus segera pergi ke Tavar, dan tentunya Wester ikut denganku. Berhubung kau sudah berhasil menemukan apa yang kau cari, berarti bisa dibilang tugasku di sini selesai, dan kami akan berangkat besok. Setelah itu kau harus bisa menjaga dirimu sendiri."

Mina terdiam. Begitu pula Wester.

Wester baru saja menyadari bahwa sebentar lagi mungkin ia harus berpisah dengan Mina. Dan ini rasanya tidak mengenakkan.

Apakah mereka memang harus berpisah besok?

"Soal itu, bagaimana kalau kita punya rencana lain?" kata Mina. "Aku punya rencana, Tuan, jika dirimu tidak keberatan."

"Baik. Katakan saja."

"Aku ingin tetap ikut bersama kalian."

Pierre menatap gadis itu dalam-dalam. "Kau yakin? Kupikir kau ingin tinggal bersama bibimu di Goetz."

Mina menggeleng. "Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Yang aku inginkan adalah pergi bersama kalian. Aku tahu, Tuan, kau tidak ingin menerima pelayan satu lagi. Tapi aku mohon ..."

"Ya, Tuan," Wester cepat-cepat menyahut. "Bisakah Mina ikut juga?"

Pierre tertawa. "Kalian tidak perlu memohon. Ya, kau boleh ikut, tentu saja. Aku tidak masalah. Tapi sekali lagi kubilang, kau ikut bukan sebagai pelayan. Sebagai teman, itu sudah cukup."

"Terima kasih!" Mina tersenyum lebar, dan menunduk hormat. "Terima kasih, Tuan. Ini ... memang keinginanku. Hanya bersama kalian aku bisa senang. Dan lagi, ada sesuatu yang harus kulakukan di Tavar, setelah aku membereskan beberapa hal di Goetz."

"Sama-sama, Mina," balas Pierre yang lalu tertawa. "Sepertinya aku juga lebih senang begini, tidak lagi pergi ke mana-mana sendirian."

Mina belum bilang apa rencananya; apa yang ingin dia lakukan nanti di Tavar. Wester juga tidak bertanya. Malam itu mereka tidur di puncak bukit, lalu esoknya bangun, sarapan sambil menikmati matahari terbit, setelah itu kembali ke kota. Mereka langsung pergi ke rumah Erria dan Choya.

Di sana, Mina memberikan salah satu butir batu merah miliknya.

Yang segera saja membuat kedua perempuan itu tercengang.

Ternyata ini rencananya.

Wester ikut kaget, dan tak urung bertanya-tanya dalam hati. Jika Mina memberikan satu batunya, dia masih punya sisa berapa?

"Ayahku dulu mendapatkan batu itu saat pergi menggali bersama pamanku," Mina berkata pada Erria dan Choya. "Jadi, kurasa kalian berdua berhak mendapatkannya juga."

"Tapi suamiku dulu tidak pernah bilang apa-apa soal ini," kata Erria. Batu itu masih tergeletak di telapak tangannya yang terbuka. Dia belum berani menutupnya. "Mungkin hanya ayahmu sendiri yang dulu menemukannya."

"Ya, itu mungkin saja," kata Mina. "Mungkin ia sendiri yang menemukan batu itu, lalu menyembunyikannya, tanpa memberi tahu yang lain, supaya kalau pencarian berikutnya gagal, paling tidak ia sudah memiliki jaminan buat masa depannya. Atau buat masa depanku. Ia tidak langsung memberikannya pada ibuku, atau langsung menjualnya karena tidak ingin menimbulkan kecurigaan banyak orang. Mungkin seperti itu. Tapi, bagiku itu bukan tindakan yang adil. Aku sayang kalian. Aku ingin kalian mendapatkannya juga."

Erria dan Choya menangis. Bahagia tentu saja.

Wester tidak tahu berapa harga batu merah itu jika nanti dijual, tetapi pasti mahal, cukup buat memperbaiki rumah dan membeli ladang. Setelah ini kehidupan mereka mudah-mudahan akan jadi lebih baik.

Selepas dari rumah Erria, Mina bersama Wester dan Pierre pergi ke tujuan berikutnya. Mereka menemui Danan si pandai besi.

Di sana Mina menjelaskan pada Danan siapa dirinya sebenarnya, dan bahwa laki-laki itu adalah pamannya.

Kemudian Mina memberi satu butir batu merah juga pada laki-laki itu.

Danan terkejut, dan menolaknya. "Aku dulu tidak ikut mencari bersama ayahmu!"

"Kau pamanku," kata Mina. "Batu itu milikku, dan sekarang aku ingin kau memilikinya. Mudah-mudahan usahamu berkembang. Nanti, jika aku kemari lagi, kau bisa memberiku sesuatu yang bagus."

"Mina, kau ... kau anak yang baik sekali. Terima kasih banyak." Danan tampak masih belum percaya, dan hampir menangis. "Ya, nanti pasti akan kuberikan sesuatu. Yang terbaik! Tapi, kau mau ke mana sekarang?"

"Ke Tavar. Aku ingin menemui Zerua dari keluarga Zalantin."

"Keluarga Zalantin?" Dahi Danan mengeryit. "Apakah kau ... hendak memberikan batu merah juga kepada mereka? Mina, gara-gara Tamaz kami semua harus bekerja keras untuk menutupi utangnya. Gara-gara dia ayahmu dulu memaksakan diri pergi ke perut gunung, dan akhirnya meninggal di sana. Menurutku, kau tidak perlu sampai membantu mereka!"

Mina menggeleng. "Apa yang sudah terjadi di masa lalu, aku tak perlu memikirkannya. Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang menurutku baik saat ini. Aku akan tetap memberikannya. Mereka berhak."

"Baik. Aku mengerti." Danan termenung, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, kurasa begitu. Kapan kau pergi?"

"Sekarang."

"Bolehkah aku dan bibimu menjamumu dulu hari ini? Kalian semua. Kalian bisa pergi besok," Danan memohon.

"Pierre ada urusan penting di Tavar. Kami harus segera pergi."

Begitulah, hari itu Mina yang membuat semua keputusan.

Beberapa kali Wester melirik ke arah Pierre, sejak mulai dari rumah Erria sampai bengkel kerja Danan. Kesatria itu sama sekali tidak berkata apa-apa, dan sekilas tidak kelihatan terlalu peduli, tetapi Wester bisa melihat, beberapa kali Pierre tersenyum. Sepertinya apa yang dirasakan oleh Pierre sama seperti yang dirasakan Wester. Keduanya bangga pada Mina.

Tidak masalah apa yang pernah terjadi di masa lalu. Seperti kata Mina, dan juga Pierre, yang penting adalah apa yang bisa mereka lakukan pada saat ini, untuk diri sendiri, dan untuk orang lain di sekitar mereka.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan. Tavar adalah tujuan berikutnya. Sebuah kota yang sebenarnya tidak begitu jauh dari Lembah Para Penyihir, dan sudah sering Wester dengar dari cerita-cerita di desanya. Namun setelah semua yang dialaminya selama ini, ia merasa seperti akan masuk ke tahapan hidup berikutnya, yang bisa menjadi menarik, tetapi bisa pula menakutkan.

Selama berkuda ia membayangkan, apa yang kira-kira akan mereka hadapi nanti. Jika dipikir-pikir, sekarang mereka semua telah memiliki tujuan. Sebuah keinginan, dan harapan untuk melakukan sesuatu yang baik.

Pierre sudah tahu tujuannya sejak lama, karena ... ya karena dia adalah seorang kesatria. Tujuannya jelas. Kemudian beberapa hari yang lalu Wester mengetahui tujuannya. Untuk menjadi seorang kesatria yang baik juga, yang nantinya bisa menghapuskan permusuhan lama di antara kaum penyihir dan kesatria. Hari ini giliran Mina yang menemukannya. Untuk menolong keluarga dan teman-temannya, yang menderita akibat kejadian di masa lalu.

Meskipun demikian, dari kesemuanya itu, yang paling menyenangkan bagi Wester adalah mereka bisa melakukannya bersama-sama, di mana mereka bisa saling berbagi beban dan kegembiraan bersama-sama. Perjalanan masih panjang, hal baik dan buruk akan terjadi, tetapi mereka sudah siap.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now