Bab 7 ~ Cara Pedagang

174 62 1
                                    

"Tidak terlalu," Mina menjawab pertanyaan Artur.

"Tapi kelihatannya ini yang kau cari," kata gadis itu pada Drell. "Betul, bukan?" Ia kemudian membaca kata-kata yang tertulis di kertas yang dipegangnya, "Pandai besi di Goetz ini mencari serpihan batu hitam dari Hessen, juga beberapa benda lain seperti ... hmm, ya ... bla bla bla."

Mina mengangkat wajahnya dan memandangi Drell. "Aku tahu kau punya beberapa batu semacam itu. Betul, bukan?"

Drell melirik ke arah Wester. Wester cepat-cepat menggosok kuda pura-pura tidak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.

"Tidak usah mengkhawatirkan Wester!" tukas Mina sekali lagi. "Dia anak baik, tidak seperti kalian!"

"Ya, aku punya batunya," jawab Drell hampir tak terdengar.

"Asyik, bukan?" Artur menyeringai. "Pandai besi itu bakalan memberi hadiah yang bagus kalau kita memberinya batu hitam. Batu permata, mungkin? Bayangkan itu!"

"Benarkah?" tukas Mina, membaca lagi. "Tidak disebut hadiahnya di sini." Lalu ia mendelik. "Kenapa? Tidak percaya? Nih, baca sendiri!"

"Aku tidak bisa membaca!" seru Artur.

"Ya sudah. Terus kamu mau percaya padaku atau tidak?"

"Iya, aku percaya!" Artur menggerutu. "Tapi jangan bilang kau tidak tertarik. Aku tahu kau juga punya batu hitam. Benar, bukan?"

Mina menatapnya lebih lama. "Ya, aku punya beberapa."

Ia mengeluarkan sesuatu dari kantong baju dan menunjukkannya. Wester mengintip dari balik punggung kuda yang sedang ia gosok. Tidak jelas terlihat bendanya, terlebih karena Mina kemudian menggenggam kembali batu itu. "Aku memang punya. Lantas kenapa? Apa menurut kalian lebih baik aku minggat dari sini, lalu pergi ke Goetz?"

"Kalau kau tidak tertarik, mungkin Drell tertarik," kata Artur sambil melirik ke arah temannya. Drell meringis.

"Begitu?" Mina termangu. "Kau berniat untuk pergi?"

Drell mengangguk-angguk ragu. "Suatu hari nanti kita semua juga pasti akan meninggalkan rombongan ini. Ya, 'kan?"

"Tapi apa sekarang?" tanya Mina dengan suara lebih pelan.

"Mungkin setelah sampai di Erien," jawab Drell. "Kalian mungkin akan terus ke selatan, sedangkan aku akan ke barat menuju Goetz."

"Sendirian?"

"Aku punya sepupu di Erien. Namanya Rigon, ia kerja di sebuah bengkel kereta. Mungkin dia akan tertarik juga untuk pergi ke barat."

"Sebaiknya kau bersabar," tukas Mina. "Suatu hari nanti Tuan Buschan pasti akan membawa kita pergi ke Goetz, bahkan terus sampai ke Gunung Sox!"

"Kapan? Paling cepat mungkin baru tahun depan," tukas Drell. "Sementara aku ... aku harus segera ke Goetz. Kau tidak mengerti. Ayahku dulu memberikan serpihan batu-batu ini, dan berkata, bahwa ini adalah benda yang akan memberikan keberuntungan pada hidupku, dan bahwa aku akan tahu ketika saatnya tiba. Inilah saatnya, dan aku tidak boleh menunda-nunda, atau aku akan sial seumur hidupku."

"Terserah, kalau itu maumu." Mina menggaruk-garuk kepalanya. "Tapi bilang pada Tuan Buschan kalau mau pergi. Jangan kabur begitu saja."

"Tentu saja."

"Kalau batu ini, aku dulu mendapatkannya dengan memenangkan taruhan dari seorang pemabuk di Tavar," tukas Mina. "Gampang sekali. Kalau menurutku sih tidak ada yang istimewa, tapi kalau menurutmu itu penting, ya sudah, akan kuberikan saja padamu."

Drell menggeleng. "Itu bukan cara pedagang yang baik. Kita harus saling bertukar, seperti biasa. Kau berikan itu, maka akan kuberikan sesuatu padamu, yang juga cukup berharga."

"Benda apa?" tanya Mina tertarik.

"Nantilah, tapi kau pasti akan suka."

"Baiklah."

"Yakin kau tidak mau ikut kami ke Goetz?" Artur bertanya.

Kening Mina berkerut. "Kami? Maksudmu, kau juga mau ikut pergi bersama Drell?"

"Kurasa, keberuntunganku juga bakal muncul di Goetz." Artur menyeringai.

"Begitu, ya?" Mina termangu.

Kemudian, gadis itu melirik ke arah Wester.

Waduh! Jangan-jangan Mina punya rencana gila yang lebih baru lagi. Bisa jadi dia terpengaruh buat ikut-ikutan pergi ke Goetz, dan karenanya kembali bermaksud mengajak Wester!

Tidak, kali ini tidak. Wester akan menolak jika Mina mengajaknya.

"Hei, Anak-Anak!"

Wester masih menguping pembicaraan Mina dan dua temannya, ketika seruan terdengar dari arah kereta Tuan Buschan.

Namun, yang memanggil bukan sang pemilik, melainkan seorang gadis berambut panjang diikat yang bernama Ginia, kalau Wester tak salah ingat. Gadis jangkung yang kadang-kadang terlihat membawa sapu dan di lain waktu membawa-bawa tombak. Kali ini dia tidak membawa keduanya.

"Kita berangkat sebentar lagi," kata gadis itu. "Kerjaan kalian sudah beres?"

"Kami sudah, tapi dia belum." Artur menunjuk dengan entengnya ke arah Wester.

Ginia menoleh, dan begitu melihat tatapan menegurnya Wester langsung menyesal. Seharusnya ia bisa menyelesaikan pekerjaannya sejak tadi, jika saja ia tidak terpancing untuk menguping obrolan Mina.

Tanpa berkata-kata Wester segera menyiram kuda di depannya dengan air dari ember terakhir, lalu mengelap tubuhnya sampai kering, sambil berharap semoga hewan itu tidak sampai menendangnya atau apa.

Lega setelah pekerjaan beratnya itu selesai, ia kemudian buru-buru berlari ke sungai untuk membersihkan semua peralatannya.

Sialnya, di sana masalah berikutnya justru datang.

Saat ia hendak berbalik tiba-tiba Quino muncul mengagetkannya. Tanpa basa-basi pemuda itu mencengkram bahu Wester lalu menarik tubuhnya ke balik pohon besar. Tatapan matanya menusuk.

"Jadi sejak malam kamu bersembunyi di kereta Mina, hah?" tanya Quino.

Ketakutan, Wester mengangguk.

"Kamu tidak berbuat macam-macam, 'kan?"

"Macam-macam?" balas Wester, tiba-tiba kesal. "Kau pikir aku melakukan sesuatu kepada Mina?"

"Bukan itu, bodoh. Apa kamu melihat sesuatu?"

"Tidak." Wester menggeleng.

Quino memandanginya. Tatapannya tak lagi setajam tadi, tetapi tetap mengesalkan.

Maka, tiba-tiba saja, kata-kata itu meluncur keluar dari mulut Wester. "Oh, maksudmu barangmu?"

Setelah itu ia kaget sendiri karena nekat mengatakannya.

Sepertinya ini gara-gara ia sudah teramat kesal pada Quino. Bukan karena ancaman pemuda itu padanya, lebih karena ia teringat pada kata-kata keras yang diucapkan Quino kepada Mina tadi pagi.

Mata Quino menyipit. "Barangku?"

"Drakunst, 'kan?" Kepalang basah. Menyingkirkan rasa takutnya, sekalian saja Wester menyebutkan dengan jelas barang yang dimaksud.

Quino mempererat cengkramannya. "Mina yang memberitahumu?"

"Dia tidak bilang apa-apa. Aku menemukannya saat bersembunyi."

Wajah Quino merah padam, tetapi ada sesuatu, di matanya, yang menunjukkan kalau pemuda itu ketakutan.

Melihatnya, Wester merasa ada di atas angin. "Salahmu sendiri kenapa menyembunyikan barang di kereta orang lain," lanjutnya. "Tapi jangan khawatir, aku tak akan mengatakannya pada siapa pun. Rahasiamu aman."

Quino melotot, dan kali ini Wester lebih menyesal daripada sebelumnya.

Ia sudah bicara terlalu banyak. Padahal ada pepatah di Lembah Heiszl, yang menyebutkan bahwa seorang yang bijak harus bisa mengendalikan lidahnya. Dan bahwa orang yang banyak bicara bukan berarti pintar, tapi bisa jadi yang paling tolol.

Bisa berbahaya jika sekarang Quino menganggap Wester sebagai ancaman yang harus dilenyapkan.

Semua gara-gara ketololannya.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now