Bab 32 ~ Keputusan Yang Baik

77 59 1
                                    

Wester masih terdiam. Sebenarnya ia sudah membuat keputusan dalam hati, apa yang harus dilakukan dengan pisau itu. Tapi ia perlu lebih yakin.

Mina melanjutkan kata-katanya, "Bukannya aku tak ingin Wester memberikan pisau itu padamu, Zerua, tapi Tulio sendiri tadi bilang jika kalian memegang pisau yang sudah diberi tuah, jangan-jangan para dewa malah justru menjadi murka, dan pisau itu memberi ketidakberuntungan lebih jauh."

"Apakah para dewa nanti menjadi murka atau tidak, biarlah itu menjadi tanggung jawab kami," kata Tulio. "Kami akan menerimanya nanti, apa pun yang terjadi."

"Benar." Zerua mengangguk. "Kami yang akan menanggung resiko itu."

Mina tetap bersikeras. "Tapi kalau benar begitu, jadinya pisau itu tidak akan berguna lagi buat kalian, dan berbahaya. Sebaliknya, akan berguna bagi Wester, dan itu sudah terbukti sejauh ini. Pisau itulah yang menyelamatkan dia saat disandera oleh Willar."

"Baik. Mina, semuanya, sekarang diam dulu." Pierre yang sejak tadi hanya mendengarkan kini angkat bicara. "Aku rasa Wester sudah paham bahwa pisau itu milik keluarga Zalantin, dan ia juga tahu betapa pentingnya itu bagi kalian. Tapi kenyataannya sekarang adalah pisau itu sudah menjadi miliknya. Dan ia mendapatkan itu tidak secara curang. Jadi, sekarang semuanya terserah pada Wester. Biar ia yang memutuskan, apakah tetap mau memiliki pisau itu dan menggunakannya secara baik, atau berbesar hati dengan memberikannya pada kalian, dengan harapan kalian pun bisa menggunakannya dengan baik. Apa pun keputusannya, kuharap kalian bisa menerimanya."

"Aku akan membayar," kata Zerua cepat. "Berapa pun yang kau mau, Wester. Katakan saja..."

"Nona Zerua ..." Tulio tampak kurang setuju. "Tapi kita—"

"Kalian tak perlu membayar apa pun," kata Wester.

Semua orang terdiam dan memperhatikannya.

"Pisau itu milik kalian," lanjut Wester. "Kalian lebih membutuhkannya. Aku akan memberikannya secara cuma-cuma."

Ia menyodorkan pisau di tangannya ke arah Zerua.

Gadis Tavar itu terpana beberapa saat, kemudian meraih pisau tersebut dan menunduk hormat. "Terima kasih, Wester. Aku ... aku tak tahu harus bilang apa .... Terima kasih."

Ia menunduk lagi, kali ini diikuti oleh Tulio.

Di sebelah Wester, Mina mengerutkan keningnya.

"Wester, aku yang memberikan pisau itu padamu," kata Mina. "Kenapa sekarang kau memberikannya begitu saja pada orang lain?"

"Karena mereka lebih membutuhkannya. Kamu memberikan pisau itu padaku sebagai seorang teman. Kini aku memberikannya pada Zerua, sebagai seorang teman juga. Dan seorang teman tidak perlu meminta uang seperti para pedagang. Kamu yang mengajariku hal itu."

Mina merengut, tapi sepertinya mulai bisa menerima.

"Kalau begitu, gunakan itu baik-baik, dan jaga jangan sampai hilang lagi," kata Mina pada Zerua dan Tulio.

Zerua mengangguk. "Aku tidak akan lupa pada kata-katamu, Mina. Karena kau temanku juga."

Mina memandanginya, terlihat sedikit heran, lalu tersenyum lebar. "Betul. Kita berteman."

Yang lainnya tertawa lega, karena pada akhirnya hal ini bisa diselesaikan dengan baik dan semua orang tetap bisa berdamai.

"Oh, ya, satu lagi, Zerua," kata Wester. "Tadi Mina bilang aku bisa merasakan kalau ada sihir atau tuah di pisau itu. Sebenarnya ... ya, aku bisa merasakan sedikit, tapi kurasa itu bukan sesuatu yang penting juga. Pisau itu masih seperti Pisau Zalanther yang dulu, yang kalian percayai bisa mendatangkan berkah bagi keluarga kalian. Jangan khawatir."

"Betulkah?" Zerua tersenyum lebar. "Terima kasih."

"Walau begitu ..." Wester belum selesai, "aku mungkin kurang percaya jika para dewamu hanya akan memberikan berkah mereka, hanya jika kalian memiliki pisau itu. Ada atau tidak ada pisau, berkah itu tetap bisa datang. Tergantung pada apa yang kalian lakukan. Mmm ... itu menurutku."

"Wester benar," tukas Mina. "Tapi itu kepercayaan kalian. Jadi kurasa ..." Ia melirik ke arah Wester. "... kami tak perlu menyinggung soal itu."

"Jangan khawatir, aku bisa menerima pendapat kalian. Sebenarnya aku juga tidak terlalu percaya," kata Zerua. "Tapi banyak orang yang bekerja pada keluarga kami percaya hal itu, dan ketika pisau itu hilang, mereka semua menjadi ketakutan dan pergi. Kini setelah pisau itu kembali, aku bisa mendapatkan kembali kepercayaan mereka. Mungkin, berkah semacam itulah yang kami butuhkan." Gadis itu menoleh. "Tulio, kita pulang sekarang?"

"Kalian mau langsung kembali ke Tavar?" tanya Pierre.

"Ya, Tuan." Jawab Zerua dan Tulio bersamaan.

Pierre mengangguk. "Setelah urusan kami di Goetz selesai, mungkin kami boleh berkunjung ke tempatmu nanti di Tavar?"

"Tentu saja! Datanglah, Tuan, aku mohon. Kalian bertiga," kata Zerua. "Rumah keluarga kami kini kecil, tak lagi seperti dulu. Tapi kami selalu senang jika ada yang mau berkunjung dan berteman dengan kami, karena saat ini, orang-orang seperti itu sangat sedikit. Datanglah. Kami menanti kalian."

Pierre tersenyum. "Kami akan datang."

"Terima kasih, Tuan."

Zerua dan Tulio kemudian meminta diri.

Keduanya melanjutkan perjalanan ke utara, menuju Tavar.

Pierre, Wester dan Mina pergi ke barat sesuai rencana, menuju Goetz.

Di tengah perjalanan Pierre kemudian berkata pada Wester, "Kau bertindak sangat baik hari ini. Caramu bicara dan membuat keputusan, tak bakalan ada yang mengira kalau umurmu baru tiga belas tahun."

Kesatria itu tertawa.

"Ya, itu betul," tukas Mina. "Tubuhmu besar, Wester. Tidak akan ada yang tahu umurmu yang sebenarnya. Jika saja kamu memakai kumis dan janggut, mereka juga pasti akan langsung mengira kamu berumur tiga puluh tahun, bukan tiga belas tahun." Ia meringis.

Wester termangu. "Apa benar tadi aku membuat keputusan yang tepat, Tuan, dengan menyerahkan pisau itu?"

Pierre menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Belum tahu. Tapi yang kutahu, kau sudah membuat keputusan yang baik. Mereka berterima kasih padamu, dan bersedia menerimamu sebagai teman. Kurasa hal ini nanti akan terbukti lebih penting, daripada sekadar benar atau tidaknya keputusan yang kau buat sekarang. Keputusan yang salah selalu bisa diperbaiki, tetapi teman yang baik tidak selalu mudah didapatkan."

"Tapi sayang juga," Mina memancing. "Sekarang kamu jadi tidak punya senjata. Aku dan Tuan Pierre punya, cuma kamu yang tidak. Padahal aku tahu, kamu sangat menyayangi pisau itu, 'kan?"

"Tidak juga," jawab Wester. "Biasa-biasa saja. Aku tidak kecewa atau apa. Pisau itu tetap sebuah senjata biasa. Aku mungkin bisa mendapatkan senjata yang lain nanti."

"Kau akan mendapatkannya. Senjata yang lebih bagus. Saat kau pantas mendapatkannya," Pierre berkata.

"Iya, Tuan. Harus berusaha dulu, baru aku pantas mendapatkannya." Wester mengangguk mengerti. "Aku cuma sedikit tidak enak padamu, Mina, karena kamu yang memberikan pisau itu padaku. Seolah-olah sekarang aku tidak menghargaimu."

"Ah, aku tidak masalah kok. Aku mengerti semua alasanmu. Dan aku justru suka."

Wester tersenyum gembira. Bersama Mina ia memacu kudanya mengikuti Pierre yang telah melaju terlebih dulu.

Samar-samar, sepertinya ia lalu mendengar sang kesatria bernyanyi.

Katanya, "Pedang yang baik selalu bisa didapatkan, tetapi orang yang baik, tidak."

Valley of WizardsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang