Bab 19 ~ Tawanan

105 58 4
                                    

"Ma—maaf, Tuan," Mina tergagap. "Kami hanya ... ingin lihat ada apa."

"Begitu? Dari yang kudengar barusan, kalian sepertinya kenal dengan orang yang kami tangkap."

"Hanya sedikit," kata Mina pelan.

"Kami cuma kenal dia sebentar," sambung Wester.

"Lama atau sebentar, banyak atau sedikit, itu yang akan kami cari tahu." Willar menyeringai. "Ayo, ikut ke dalam. Tidak usah takut. Dan jangan banyak bersuara. Ini malam yang berbahaya. Aku tak ingin ada banyak keributan. Kalian mengerti?"

Wester dan Mina mengangguk. Keduanya membiarkan Willar menggiring mereka sampai ke depan pintu.

Dua prajurit yang berjaga di sana tampak terkejut melihat kemunculan Wester dan Mina, tetapi kemudian tidak mengatakan apa-apa.

"Kalian siapkan kuda," kata Willar pada dua penjaga itu, yang langsung mengangguk dan pergi ke arah istal.

Sementara pada dua prajurit lainnya yang membawa Quino, ia berkata dengan lebih hati-hati, "Sudah beres semuanya?"

"Ya." Salah seorang prajurit mengangguk. "Ada tiga." Ia melirik sejenak ke arah Wester dan Mina, kemudian melanjutkan. "Tidak ada masalah."

"Tiga?" Willar menatap ke dalam ruangan. "Tiga itu termasuk si orang Haston?"

"Ya."

"Dia tidak penting." Willar tampak menggeleng dengan khawatir. "Selain dua orang itu, masih ada satu, atau dua lagi, yang lebih berbahaya."

"Mereka tidak perlu tahu kita ada di sini," kata seorang prajurit.

"Betul. Kita langsung ke istal saja, Tuan," kata prajurit yang lain. "Tidak usah menunggu."

"Dua anak ini ikut," kata Willar.

Wester dan Mina langsung ternganga.

"Tuan, ikut ke—?'

Wester berusaha bertanya, tapi gagal karena tangan kiri Willar cepat membekap mulutnya. Mina juga tak berkutik karena tangan Willar yang satu lagi membekap mulut gadis itu. Dan bukan hanya kedua anak itu yang terkejut melihat tindakan Willar, melainkan juga kedua anak buahnya.

Bahkan Quino yang mata dan mulutnya tertutup tampak kebingungan. Sepertinya ia mengenali suara Mina, walaupun mungkin masih ragu.

Wester mencoba berontak dan berteriak, berusaha menarik tangan Willar yang menutup mulutnya, tapi laki-laki itu begitu kuat.

Mina pun sama, berusaha menendang-nendang.

Satu orang prajurit lalu meringkus gadis itu dan mengambil alih menutup mulutnya dari tangan Willar. Sementara Quino tidak berani macam-macam, berkat ujung pisau milik prajurit lain yang menempel di perutnya.

"Untuk apa menangkap dua anak ini?" tanya prajurit yang memegangi Mina.

"Mereka kenal Quino, tahu soal barangnya, dan mungkin tahu lebih banyak lagi," kata Willar. "Kita tidak bisa meninggalkan mereka di sini."

"Aku tidak suka ini." Si prajurit menggeram.

"Aku tidak peduli kau suka atau tidak," balas Willar. "Kau bawa Quino, dan kau, bawa gadis itu. Aku membawa bocah ini."

"Tapi mereka mesti disumpal dulu supaya tidak berisik."

"Ya sudah, lakukan!" kata Willar kesal.

Suara langkah kuda terdengar.

Wester melirik. Ada lima ekor kuda mendekat. Willar berbisik, meminta tali pada dua prajurit yang membawa kuda-kuda itu.

Wester ketakutan, tetapi ia tahu tak boleh diam saja. Ia berusaha memberontak lagi. Menyikut, menendang, menggigit, melompat-lompat.

Akibatnya Willar mulai tidak sabar. Tangan besarnya menampar wajah Wester, dan gagang pedangnya menggetok kepala anak itu.

Tak sampai sedetik, Wester roboh, kehilangan kesadarannya.

---

Wester tersadar dengan posisi meringkuk di pojok sebuah ruangan sempit dengan pintu tertutup, yang cukup gelap dan beralaskan tanah. Hanya ada sedikit sinar matahari yang menyelusup masuk di sela-sela jendela yang tertutup rapat.

Matanya tidak ditutup, tetapi mulutnya disumpal kain, sementara kaki dan kedua tangannya terikat. Saat pertama kali bangun, kepalanya masih terasa sakit, bekas hajaran gagang pedang Willar.

Ia mencoba duduk dan mengangkat wajah, dan akhirnya bisa melihat Quino dan Mina yang ternyata juga ada di dalam ruangan, di sudut-sudut ruangan yang berbeda. Keduanya sudah lebih dulu sadar, atau mungkin malah tidak pingsan sama sekali. Seperti halnya Wester, mereka berdua juga diikat. Quino malah lebih parah, matanya masih ditutup.

Rasa takut dan panik kembali menyelimuti Wester.

Ia bertanya-tanya, ada di mana mereka, dan apa yang akan terjadi setelah ini. Para prajurit Tavarin itu sepertinya bukan orang baik. Kalau orang-orang itu hanya ingin menanyai Wester dan Mina tentang apa yang mereka ketahui, mestinya mereka tidak perlu sampai disekap seperti ini.

Wester memandangi gadis di depannya. Mina biasanya punya banyak jawaban. Quino, juga pastinya mengerti apa yang terjadi. Sayangnya mereka belum bisa saling bicara. Hanya bisa menunggu, sesuatu yang mungkin akan menyakitkan.

Wester hampir menangis. Kalau saja ia tidak bertindak bodoh. Ia sadar banyak tindakan bodoh yang telah dilakukannya dalam beberapa hari terakhir, dan mungkin semalam adalah yang terparah, saat ia mengikuti Mina untuk mengintip di dekat jendela.

Kalau saja ia tidak terpancing. Kalau saja ia bisa membujuk Mina untuk tetap bertahan di kereta. Kalau saja ia bisa membuat Mina tidak terus mencoba bertaruh dengan tihr konyolnya.

Namun, semua sudah terjadi. Tak ada gunanya berandai-andai. Sekarang lebih baik mencari akal, bagaimana caranya kabur dari tempat ini.

Pikir.

Pikir.

Pisau itu.

Wester melihat ke pinggangnya. Tidak ada. Tentu saja, pasti sudah dirampas para prajurit. Mereka tidak mungkin begitu tolol membiarkan tawanan mereka memegang pisau.

Atau ... lihat. Perhatikan. Pelajari.

Tuan Buschan bilang, kalau ingin jadi pedagang yang baik di suatu tempat, pelajari dulu seperti apa negerinya. Mungkin ini juga sama. Kalau berniat kabur, pelajari dulu tempat sekitarnya. Jangan bertindak gegabah atau terburu-buru. Pelajari.

Wester merapatkan punggungnya di dinding, lalu pelan-pelan menekan ke belakang dan memperkuat kedua kakinya, mengangkat tubuhnya ke atas. Setelah berdiri ia berjinjit di depan jendela, berusaha mengintip keluar melalui celah-celahnya.

Terlihat. Sedikit. Jalan tanah dengan rumput di kiri kanannya. Pagar kayu. Lalu ada rumah lain jauh di sana. Puncak Gunung Gaston yang tipis membiru tampak di kejauhan.

Ini bukan penginapan yang semalam. Ini sudah lebih jauh ke selatan.

Wester mencari celah lain, yang bisa membuatnya melihat ke arah berbeda. Namun, suara langkah terdengar. Cepat-cepat Wester menjatuhkan dirinya ke lantai.

Tak lama, pintu terbuka. Willar masuk, disusul oleh tiga prajurit. Tanpa berkata-kata mereka menarik tubuh Quino, Mina dan Wester keluar ruangan.

Di depan rumah sudah menunggu sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Wester tak sempat melihat lebih banyak, karena sinar matahari yang mendadak membuat ia harus memejamkan mata.

Begitu matanya terbuka, tubuhnya sudah berada dalam posisi dilempar dengan begitu mudahnya ke dalam kereta. Berikutnya Mina meluncur datang, dan terakhir Quino. Terpal belakang lalu ditutup.

Mereka diperlakukan seperti barang!

Wester bertukar pandang dengan Mina, yang tampaknya juga kesal dan marah, bukan hanya takut.

Sejenak kemudian Wester mengerti. Para prajurit itu tak ingin ketiga tawanannya dilihat oleh orang banyak saat melakukan perjalanan. Dengan kereta, sosok mereka bertiga bisa disembunyikan, beda jika menggunakan kuda seperti semalam.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now