Bab 30 ~ Benda Pusaka

85 57 1
                                    

Mereka berkuda lagi selama satu hari penuh menembus padang rumput, dari pagi hingga sore. Perjalanan yang pemandangan awalnya terasa begitu indah tapi kemudian jadi sedikit membosankan karena sepertinya tak ada yang berbeda, hanya ada rumput dan tanah yang relatif datar.

Untunglah menjelang sore daerah yang mereka lewati mulai lebih bervariasi. Pohon-pohonnya mulai banyak, tanahnya mulai terasa naik dan turun, tidak lagi datar. Lalu akhirnya ada sebuah danau kecil yang ternyata terlihat setelah mereka turun melewati perbukitan.

Pierre memilih tanah lapang di tepi danau sebagai tempat beristirahat. Saat malam laki-laki itu berkata bahwa Kota Goetz sudah dekat. Jika tak ada halangan besok sore mereka akan sampai, dan saat tengah hari mereka juga sudah akan sampai di jalan kerajaan yang relatif ramai dan biasanya banyak dilewati oleh berbagai rombongan pedagang, prajurit atau orang-orang yang datang dari berbagai arah.

Wester senang mendengarnya, karena ia sudah hampir bosan dengan perjalanan selama dua hari di padang rumput.

Malam itu ia tidur lebih cepat, selain karena lelah juga karena dengan cara itu ia bisa merasa lebih cepat sampai di esok hari. Ia sudah tidak sabar sampai di satu lagi kota baru yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya.

Ketika melirik Mina, ia yakin gadis itu pun sama tak sabarnya. Atau mungkin Wester salah. Gadis itu mungkin sekarang malah sedang gelisah karena sebentar lagi sampai di Goetz, dan menemukan kenyataan baru tentang ayah dan ibunya, yang bisa jadi justru terasa tidak menyenangkan nantinya.

Ah, jangan terlalu dipikirkan, kata Wester dalam hati.

Bebaskan pikiran, tidur dengan nyenyak, nikmati saja nyanyian binatang malam dan angin yang berhembus saat malam semakin kelam.

Itu yang selalu dilakukan Pierre setiap kali ia menghabiskan malam di tempat-tempat seperti ini. Memeluk pisaunya, Wester tertidur.

Namun esoknya, ternyata pagi berjalan tak sepenuhnya sesuai dengan rencana. Begitu mereka hendak naik kuda dan melanjutkan perjalanan, Pierre berkata, "Ada yang datang."

Wester dan Mina menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Pierre. Mereka menatap padang rumput yang terhampar luas di sebelah timur. Di sana, ada dua orang berkuda ke arah mereka. Sosoknya tidak jelas karena dua orang itu mengenakan baju tebal dan tudung untuk melindungi diri dari angin.

Wester menunggu bersama Mina dan Pierre di tepi danau.

Tak lama kedua orang itu berhenti di depan mereka. Satu orang memajukan kudanya selangkah, lalu turun dan membuka tudungnya.

Wester mengenali wajahnya; orang itu adalah salah seorang tamu di penginapan Tuan Hiller. Dia yang disebut sebagai sang suami.

"Selamat pagi, Tuan," kata laki-laki itu pada Pierre.

"Selamat pagi, Tuan." Pierre menjawab. Ia melirik ke arah satu orang lainnya yang masih menunggang kuda, kemudian menunduk hormat. "Kita belum sempat berkenalan saat kita masih berada di Rumah Hijau."

"Namaku Tulio, aku berasal dari kota Tavar. Maaf jika aku terpaksa membuatmu menunda perjalanan. Kami sangat berterima kasih karena Anda bersedia menunggu. Sebenarnya, terus terang kami sudah berniat mengikuti rombongan Anda sejak dari penginapan, tapi karena beberapa hal kami harus menunda. Kami lalu menjual kereta kuda kami kepada Tuan Hiller, lalu terus kemari dengan menggunakan kuda, supaya bisa mengejar Anda."

"Kenapa Anda tidak menemuiku langsung di penginapan?"

"Saat itu ... kami masih ragu," jawab Tulio. "Dan kelihatannya Anda sangat terburu-buru pergi."

Pierre mengangguk-angguk. "Apa yang bisa aku bantu?"

Tulio mengalihkan pandangannya ke arah Wester. "Anak itu, Tuan. Dia memegang barang milik kami."

Napas Wester tertahan. Apakah yang dimaksud orang ini adalah drakunst yang kemarin sempat ada di kereta Mina?

Wester menjadi tegang, takut jangan-jangan kedua orang ini ada hubungannya dengan para pengedar obat-obatan itu.

Pierre menoleh, dan melihat kebingungan di wajah Wester.

Namun dengan tenang kesatria itu balik bertanya pada si laki-laki asing, "Barang apa? Kenapa bisa ada di tangan anak ini?"

"Pisau Zalanther. Benda itu milik majikanku."

Tulio menoleh ke belakang. Si penunggang kuda satunya perlahan membuka tudung yang menutupi wajah dan kepalanya.

Wester tertegun. Orang itu ternyata adalah si gadis desa yang pertama kali dilihatnya saat sedang bernyanyi bersama rombongan Tuan Buschan di tepi api unggun, dan kemudian terlihat lagi di jalanan di Kota Erien.

Tanpa sadar Wester menyentuh gagang pisau di pinggangnya. Rasa hangat yang merayapi tangan dan tubuhnya terasa lebih kuat.

Gadis berambut pendek yang usianya belum tertebak itu turun dari kudanya dan mendekat. Ia mengangguk memberi hormat.

"Namaku Zerua Zalantin. Ya, Tuan, pisau itu milikku."

Selama beberapa saat semua orang terdiam.

"Apa itu benar, Wester?" tanya Pierre.

"Aku ... tidak tahu. Aku mendapat pisau ini dari Mina," kata Wester ragu.

Ia belum percaya pada kata-kata orang itu, walaupun ia mengakui sepertinya pisau itu memang ada hubungannya dengan si gadis bernama Zerua. Karena jika tidak, tak mungkin Wester merasakan keanehannya setiap kali ia memegang pisau tersebut dan melihat Zerua.

"Dan aku mendapatkannya dari Drell," sahut Mina.

"Apakah kau tahu dari mana laki-laki bernama Drell itu mendapatkannya?" tanya Tulio dengan tenang.

Mina menggeleng.

"Kalau begitu aku akan menceritakannya, supaya kalian bisa percaya dan mengerti. Kuharap ini tidak mengganggu kalian."

"Lakukan, Tuan," kata Pierre.

Tulio mengangguk. "Pisau Zalanther itu milik Keluarga Zalantin, salah satu keluarga terhormat di kota Tavar. Pisau itu sudah ada sejak beratus tahun yang lampau dan diwariskan secara turun-temurun. Itu adalah simbol keluarga, dan kami percaya para dewa akan selalu memberikan berkahnya selama kami masih memegang pisau tersebut.

"Sayangnya pada suatu hari pisau itu dicuri dari kediaman orangtua Zerua, dan akibatnya berbagai ketidakberuntungan menimpa keluarga majikanku. Tambang kami di Goetz hancur akibat gempa, dan reruntuhannya menimbun banyak pekerja, termasuk di antaranya kakak Zerua yang saat itu berada di dalam gua. Beberapa anggota keluarga yang lain jatuh sakit hingga meninggal. Para pelanggan pergi sehingga perusahaan menjadi goyah dan menyisakan banyak utang. Majikanku, ayah Zerua, kemudian wafat. Keluarga Zalantin jatuh miskin begitu cepatnya. Kami percaya, semua itu terjadi karena para dewa tak mau lagi menolong kami karena pisau itu sudah hilang.

"Lalu, setelah lewat lima tahun tiba-tiba kami mendapat kabar. Ada seseorang yang melihat pisau itu dijual di pasar gelap di Tavar. Kami berdua, aku dan Zerua, langsung melacak. Ternyata pisau itu dibeli oleh seorang pedagang, yang kemudian membawanya hingga ke Lembah Heiszl. Kami mengejar dan akhirnya sampai di Desa Orduin. Di sana kami bertemu seorang penyihir, yang mengaku bahwa ia melakukan echirinst pada pisau tersebut. Kami terkejut karena takut tindakan itu bakal membuat dewa-dewa murka.

"Sayangnya penyihir itu tak bisa memberitahu sihir atau tuah apa yang kini ada di pisau itu karena hasil echirinst selalu bersifat acak; sulit diduga, kadang luar biasa, kadang gagal sama sekali. Pada beberapa kasus, baru bisa kelihatan efeknya setelah berbulan-bulan. Tetapi ia bersedia memberitahu siapa pedagang yang meminta jasanya melakukan echirinst. Pedagang itu pergi ke Irs-Tuar, maka kami pun langsung pergi ke sana, sambil berharap-harap cemas bahwa tidak ada tuah yang berhasil ditanamkan di dalam pisau itu."

Valley of WizardsKde žijí příběhy. Začni objevovat