Bab 21 ~ Orang Mati

92 60 1
                                    

Wester terperangah, tak percaya sedikit pun kata-kata yang baru saja ia dengar. Ia hendak dibunuh! Ditenggelamkan di sungai!

Tubuhnya gemetar. Mulutnya terbuka lebar, tapi bahkan suara jeritan tak bisa lagi ia keluarkan saking takutnya. Di belakangnya Mina menjerit-jerit dan menangis, sementara Quino berteriak-teriak memohon agar Willar mengampuni Wester dan membiarkannya pergi.

Namun, setelah semua alasan sinting yang tadi diucapkan oleh Willar, apa ada lagi yang bisa mencegahnya buat mencabut keputusan mati tersebut? Wester meronta dan berusaha melepaskan diri saat Rond dan Taft menyeretnya ke tepi sungai. Ia tak sanggup. Tenaganya tidak cukup kuat.

Di tepi sungai yang jernih, Wester bisa melihat wajahnya sendiri yang memucat, ketakutan dan tanpa daya. Juga dua wajah laki-laki bengis di kiri dan kanannya yang memegangi tangan dan bahunya. Rond dan Taft memaksa Wester berlutut, kemudian tangan entah siapa menjambak rambutnya dan menekan kepalanya, hingga menyentuh permukaan sungai.

Demi Jiwa Yang Agung!

Perlahan wajahnya menembus batas air, masuk terus ke dalamnya tak tertahankan. Air yang dingin menenggelamkan kepalanya.

Wester meronta, memberontak sekuat tenaga sambil menahan napas, berharap itu bisa membuatnya bertahan. Pikiran-pikiran buruk datang. Kenangan-kenangan lama menghampiri.

Mati. Ia akan mati sebentar lagi.

Sesaat kemudian Wester merasakan kedua tangannya terlepas dari genggaman Rond dan Taft. Suara ceburan terdengar.

Panik, Wester menggerakkan kedua tangannya di air, berusaha mengangkat tubuhnya. Ketika berhasil mengeluarkan kepala dan menarik tubuhnya ke belakang, ia melihat kedua prajurit, baik Rond maupun Taft, sudah tertelungkup di tepi sungai. Air sungai berwarna merah, dan di punggung kedua prajurit itu masing-masing tertancap anak panah.

Wester gemetar. Rasa takutnya belum hilang, malah sekarang ditambah kebingungan. Cepat-cepat ia berbalik. Tak jauh darinya tampak seseorang datang mendekat ke arah Willar dan kedua prajurit yang masih tersisa.

Orang itu menunggang kuda besar berwarna cokelat. Di tangannya terdapat busur dan satu lagi anak panah yang siap untuk dilepaskan.

Wester mengenali orang itu. Si kesatria bernama Pierre.

Kesatria itu turun dari kudanya, sekitar dua puluh langkah dari Willar, dengan tatapan tajam yang sama sekali tak lepas dari sosok si kepala prajurit Tavarin. Willar yang merasa terancam berlari ke kiri mendekati Wester, menjambak rambutnya dan menarik tubuhnya. Pedang diletakkan di leher Wester. Sementara dua prajuritnya bersiaga dengan pedang teracung ke arah Pierre.

"Berhenti! Jangan mendekat!" seru Willar.

Pierre meletakkan busurnya di pelana. Seolah tak mendengar kata-kata itu ia menarik sepasang pedang melengkung dari balik punggungnya dan melanjutkan langkahnya, mendekat.

"Berhenti!" teriak Willar sekali lagi. "Kau ... Kau sudah membunuh dua prajurit Kerajaan Tavarin! Kau akan dihukum berat!"

Pierre berhenti pada jarak sepuluh langkah. "Kau perlu tahu, jika yang kubunuh adalah prajurit seperti dirimu, aku sama sekali tidak peduli."

"Kalau kau mendekat, kugorok leher anak ini! Kami ... Kami berempat akan pergi! Jangan coba-coba mengejar!"

Wester menahan napasnya ketika bilah pedang yang tajam menggores sedikit lehernya. Wester melirik. Darahnya ada di pedang itu.

Ia ketakutan, tapi sesuatu yang aneh kemudian melintas di benaknya.

Sekarang, bagaimana kira-kira reaksi Willar jika melihat darah Wester yang dianggap sial itu mengalir di pedangnya? Apakah ia akan histeris? Ketakutan, atau justru marah?

Apa benar Willar bakalan berani menggorok lehernya, padahal dia tadi bilang tak ingin mengotori tangannya dengan darah anak penyihir?

Sesuatu yang lain lalu terasa di belakang lengan kiri Wester. Sesuatu yang keras di sebelah kanan pinggang Willar. Gagang pisau. Apakah itu pisaunya? Yang semalam dirampas oleh Willar?

Mungkin ... pisau itu bisa diambilnya sekarang. Ya, ini kesempatan satu-satunya, selagi Willar disibukkan oleh si kesatria.

Perlahan Wester mengangkat lengan kirinya. Tangan kanannya lalu menyusup masuk di bawah ketiak kirinya, dan menggenggam gagang pisau tersebut. Benar. Rasa hangatnya terasa, menjalar jemari dan tangannya.

Itu pisau miliknya. Pisau itu membuatnya tenang, lebih percaya diri. Wester merasa pikirannya lebih jernih. Ia memang ada di ujung maut, tetapi sesuatu yang kuat menyakinkannya bahwa ia masih bisa selamat melewati saat-saat genting ini.

"Tuan Willar," si kesatria berkata dengan tenang. "Apa kau tahu siapa anak yang kau pegang itu?"

"Dia anak sial dari Lembah Heiszl! Tapi kalau memang terpaksa, aku tak akan ragu membunuhnya, betapapun sialnya dia."

"Nah, sekarang, kau tahu siapa aku?"

"Kau ... kesatria dari Gunung Hohn." Willar menggeram. "Aku tidak takut padamu. Kau pikir dengan membunuh dua prajuritku dari belakang membuatmu patut ditakuti?"

"Tidak, bukan itu," tukas Pierre. "Aku tidak peduli kau takut atau tidak. Aku cuma ingin kau paham bahwa anak di tanganmu itu penyihir dari Lembah Heiszl, sedangkan aku kesatria dari Gunung Hohn. Apa kau tidak tahu, penyihir dan kesatria bermusuhan sejak lama? Apa kau tidak tahu, kalau mestinya aku tidak peduli kalau kau membunuh anak itu?"

Wester menatap Pierre lekat-lekat dengan penuh kebencian. Tampaknya ia memang tak bisa mengharapkan pertolongan dari seorang kesatria. Wester harus menolong dirinya sendiri. Ia harus bertindak, sebelum terlambat.

Ia menggenggam erat gagang pisau yang masih tergantung di ikat pinggang Willar, lalu perlahan-lahan menariknya, hingga lepas sebagian dari sarungnya. Kini ia siap untuk menghujamkan pisau tersebut ke tubuh Willar.

Saatnya—

"Tunggu!" seruan Pierre terdengar.

Wester tertegun, memandangi kesatria jangkung di depannya.

"Tunggu," ulang Pierre. "Apa kau ... mengerti kata-kataku?"

Wester menatap wajah laki-laki itu, berusaha membaca apa yang sebenarnya dia maksud. Apakah Wester sedang berbicara padanya, atau masih berbicara pada Willar? Willar pasti mengira ucapan itu ditujukan untuknya.

Apa pun, itu membuat Wester menunda tikaman diam-diamnya ke tubuh Willar, sekaligus juga, mungkin, menunda gorokan pedang Willar di lehernya.

"Menyerahlah, Willar," ucapan Pierre terdengar lebih menakutkan.

Willar menggeram, lalu berteriak gugup. "Troof! Vermalan! Serang dia! Tunggu apa lagi?"

Kedua prajurit Tavarin di sampingnya maju menyerang. Kedua pedang mereka terayun bersamaan ke arah tubuh Pierre. Dengan sigap Pierre menangkis keduanya dengan sepasang pedang kembar melengkung miliknya. Kedua prajurit menyerang lagi, dengan gerakan lebih cepat, tetapi Pierre kembali berhasil menangkis.

Willar tampaknya melihat kesempatan kabur. Ia menarik pedang dari leher Wester, tapi tangan kirinya tetap mencengkram rambut anak itu, terus menjambaknya kala ia berlari menuju kudanya. Ketika melihat Quino turun dari atas kereta, Willar mengacungkan pedangnya, mengancam agar pemuda itu mundur dan tidak ikut campur.

Wester melihat kesempatan. Ia mengayunkan tangan kanannya, lalu menusukkan pisaunya ke pinggang Willar kuat-kuat.

Laki-laki itu menjerit kesakitan dan melepaskan cengkramannya pada rambut Wester.

Wester melompat mundur, ketakutan bercampur lega.

Valley of WizardsOnde as histórias ganham vida. Descobre agora