Bab 29 ~ Pedang dan Pisau

89 59 1
                                    

Pierre mempunyai sepasang pedang kembar yang hampir selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Pedang berbentuk melengkung yang membuat kesatria itu dikenal dengan julukan Tourein Svortat, bahasa Terran yang berarti Pedang Kembar. Pagi itu ia memperbolehkan Wester memegang salah satunya.

Ini adalah pertama kalinya Wester memegang pedang. Selama ini ia hanya pernah melihat senjata itu beberapa kali. Di Lembah Heiszl jarang terdapat pedang, bahkan sebagian orang di sana, terutama yang berasal dari desa-desa yang berada jauh di dalam hutan, menganggap pedang sebagai benda yang harus dijauhi karena merupakan simbol kesatria, musuh mereka. Pedagang atau orang asing yang membawa pedang biasanya juga harus menyerahkan pedang mereka di gerbang jika ingin masuk ke desa.

Awalnya Wester ragu apakah ia perlu mempelajari pedang, tetapi setelah memikirkannya baik-baik, mestinya ini tidak ada salahnya. Banyak pendapat di negerinya yang sejauh ini tidak benar, dan tentang pedang ini adalah salah satunya. Ia memegangnya, mencoba mengenali berat dan keseimbangannya.

Pierre menunjukkan cara menggunakan pedang. Memutar, mengayun, menebas, menusuk. Hal-hal yang tampak indah dan begitu mudah di tangan Pierre, tetapi sulit ketika Wester coba menirukannya. Gerakannya masih canggung dan terpatah-patah. Ketika Pierre mengizinkan Mina untuk mencobanya, gadis itu malah bisa memainkannya dengan lebih baik.

"Tubuhmu kuat, Wester," Pierre berkata. "Jika kau sudah lebih besar nanti, hantamanmu bisa sangat berbahaya, percaya padaku. Tapi itu hanya jika kau berlatih serius mulai dari sekarang. Sedangkan kau, Mina, sudah cukup bagus. Sepertinya kamu sudah lumayan sering berlatih pedang."

"Hanya sesekali." Mina meringis senang karena mendapat pujian itu. "Di rombongan Tuan Buschan kami selalu berlatih. Pedagang harus bisa melindungi dirinya sendiri. Tapi aku tidak sering menggunakan pedang, dan tidak seterampil Eddar. Aku lebih suka memainkan pisau." Ia menunjukkan dua buah pisaunya yang tergantung di kiri dan kanan pinggangnya.

"Kau terkenal dengan sebutan Si Pedang Kembar. Aku, mungkin nanti bisa dikenal sebagai Si Pisau Kembar." Gadis itu tertawa.

"Itu julukan yang bagus, dan sudah pasti itu pisau yang bagus," Pierre tertawa. "Aku juga punya dua pisau, tapi ukurannya berbeda. Yang satu ini ... lebih panjang, cocok buat digunakan dalam pertarungan jarak dekat. Sedangkan yang ini lebih kecil, cocok untuk dilempar dari jarak jauh."

"Bisa kau tunjukkan, Tuan?" Mina memohon. "Caramu melempar. Aku juga sering berlatih melempar pisau, tapi hasilnya masih sering meleset dari sasaran. Terakhir melempar, Wester malah menyuruhku untuk jangan melempar lagi supaya aku tidak salah kena orang." Ia menyeringai.

"Boleh," Pierre menyahut. Ia memperhatikan sekelilingnya, lalu menunjuk sasarannya. "Kau lihat batang pohon di samping batu itu?"

Wester dan Mina menoleh ke arah pohon setengah kering yang jaraknya sekitar sepuluh langkah. Belum sempat mereka balik melihat ke arah Pierre, pisau sudah melesat dan menancap tepat di tengah sasaran.

"Ah! Terlalu cepat!" seru Mina.

"Ya, kami belum sempat melihat caranya," kata Wester.

"Kalian saja yang melempar. Biar kulihat," balas Pierre santai.

Mina mengeluarkan satu pisaunya. Tangan kirinya menunjuk ke arah sasaran, sementara tangan kanannya yang memegang pisau ditarik ke belakang, sebelum kemudian diayunkan ke depan.

Pisau melesat dan menancap satu jengkal di bawah pisau Pierre.

"Ha! Itu hebat!" Pierre mengangguk-angguk.

Wajah Mina memerah, semakin senang. "Iya. Tapi itu karena jarak dari sini ke sasarannya pas. Kalau lebih jauh biasanya meleset."

"Semakin banyak berlatih kau akan semakin ahli."

"Apa seumurku dulu kau juga sudah berlatih pisau atau senjata lainnya?" tanya Mina.

"Aku dititipkan ibuku di Lafette dan diajari berbagai macam hal oleh guruku sejak berusia sepuluh tahun. Jadi, sedikit lebih muda darimu. Oh ya, sekarang giliranmu, Wester. Kau juga bisa melempar?"

Wester menggeleng. "Aku tidak bisa."

"Cobalah," kata Pierre memberi semangat. "Kulihat kau selalu membawa pisau di pinggangmu. Ya, itu, pisau yang kemarin kau gunakan untuk menusuk Willar. Seperti kemarin, coba gunakan itu. Bayangkan bahwa kau memang harus melakukan ini. Bahwa kau pasti bisa melakukannya."

Wester mengerti, bahwa sebenarnya ini adalah bagian dari latihan untuk bisa menjadi seorang kesatria. Adalah salah jika belum apa-apa ia sudah ragu dan bilang tidak bisa. Ia menarik keluar pisau dengan gagang hitam berukir itu dari sarungnya. Menikmati rasa hangat yang menjalar dari jemari, lalu ke tangan dan ke tubuhnya. Dalam benaknya ia teringat dengan jelas satu demi satu gerakan yang tadi dibuat oleh Mina kala melempar pisaunya.

Semua detil gerakan itu, dengan bantuan pisau di tangannya, tergambar jelas di benaknya, dan itu membuat ia lebih percaya diri.

Ia menatap batang pohon yang menjadi sasaran, memandangi dua pisau yang sudah lebih dulu menancap di sana. Lalu melempar.

Pisaunya melesat. Dengan gerakan yang terlihat jelas oleh Wester seolah-olah waktu berjalan sangat lambat. Gerakannya berputarnya lurus sempurna, lalu dengan suara keras menancap di batang pohon.

Tepat di antara dua pisau milik Pierre dan Mina.

Pierre dan Mina bertepuk tangan.

"Hei, itu hebat, Wester!" seru Mina. Mata gadis itu berbinar cemerlang. "Kamu ... kenapa tidak bilang kalau sebenarnya kamu juga bisa melempar?"

"Tapi memang aku tidak bisa!" Wester membantah. "Dan baru kali ini aku melempar. Aku hanya beruntung pisauku bisa menancap di antara dua pisau kalian."

"Beruntung atau tidak, sudah pernah melempar atau belum, itu tetap hasil yang bagus," kata Pierre. "Dan kau juga sudah bisa melempar dengan cara yang baik. Teruskan saja, Wester, cobalah berlatih terus setiap kali ada kesempatan. Yakinlah, bahwa itu bisa menjadi keterampilan yang sangat penting bagimu nanti."

Wester senang mendengarnya. Lebih senang lagi karena mengetahui bahwa ternyata ia punya satu kelebihan yang mungkin bisa dibanggakan, walaupun ia tahu hasil lemparannya tadi murni kebetulan. Di Lembah Heiszl ia tertekan karena selalu menjadi anak yang paling bodoh dalam hal sihir. Di sini rasanya berbeda. Ia bisa melakukan sesuatu, dan hasilnya lumayan.

Wester semakin yakin bahwa ia telah membuat keputusan yang benar saat ia menolak untuk terus belajar sihir, dan pergi untuk mencoba hal-hal yang baru. Terbukti bakatnya ternyata memang ada di tempat lain.

Wester mencabut semua pisau dari gagang pohon. Pisau milik Pierre, milik Mina dan juga miliknya. Namun, ketika menyentuh gagang pisau miliknya, ia merasakan hawa hangat yang terasa mengganggu. Yang bukan sekadar membantunya memperkuat indera penglihatan, pendengaran, atau perasa, tapi juga menyuruhnya untuk memusatkan perhatian ke satu titik.

Masalahnya, jika di Erien pisau itu mampu membantu Wester menemukan sosok gadis desa yang kehadirannya terasa mencurigakan di tengah-tengah banyak orang, di sini apa yang ditunjukkannya di tengah-tengah padang rumput yang sepi? Sejauh matanya memandang, hanya ada rumput dan pohon. Rasanya tak mungkin ada orang lain di sini selain mereka bertiga.

Wester mengabaikan perasaannya. Ia menyerahkan pisau Pierre dan Mina kepada mereka, lalu kembali naik kuda dan meneruskan perjalanan.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now