Bab 33 ~ Kota Tambang

94 58 1
                                    

Kota Goetz terletak di kaki Gunung Sox, dan dikenal sebagai salah satu pusat pertambangan terbesar di Tavarin. Mina bilang di sana ada berbagai macam tambang batu mulia, dari yang berukuran besar dan mempekerjakan lebih dari dua ratus orang, sampai yang kecil dan hanya digali oleh lima orang. Ada begitu banyak gua alami maupun buatan yang digali di sepanjang kaki pegunungan dari utara sampai selatan.

Sayangnya, ketika Wester, Mina, dan Pierre sampai di kota itu, hari sudah petang dan tak banyak lagi yang bisa dilihat. Kota itu tampak sepi. Mereka lalu pergi ke penginapan dan memesan makanan di kedainya. Mina tampak bersemangat hingga menutupi rasa letihnya. Mungkin karena sebentar lagi ia akan tahu lebih banyak tentang asal-usul dirinya. Sehingga ia terus bercerita pada Wester mengenai sejarah Goetz.

"Kamu ingat cerita Zerua? Tentang tambang yang dulu dimiliki oleh keluarga Zalantin di Goetz?" Mina berkata sambil mengunyah makanannya. "Dia benar. Kata orang, yang paling terkenal di sini dulu adalah tambang batu merah milik keluarga Zalantin, yang letaknya di seberang sungai di sebelah barat kota. Tiga ratus orang dulu katanya pernah bekerja di tempat itu, di dalam gua gelap di kaki pegunungan. Ya, tentu saja aku belum pernah melihat sampai jauh ke dalam; aku hanya mendengar ini dari cerita Tuan Buschan. Tapi begitulah kira-kira, tambang itu dulu adalah simbol kesuksesan Goetz, yang membuatnya menjadi kota terkaya dan terpenting di Tavarin.

"Sampai tiba-tiba, sekitar lima belas tahun silam, terjadi gempa yang menghancurkan seluruh tambang di pegunungan, meruntuhkan dinding-dindingnya dan mengubur seluruh pekerja di dalamnya. Seribu orang tewas. Kedukaan menyergap seluruh kota. Kota bagaikan mati seketika. Butuh waktu beberapa tahun bagi Goetz untuk bisa bangkit dan kembali dikenal sebagai kota tambang. Tambang-tambang baru bermunculan dan orang-orang kembali datang. Namun, tetap belum ada lagi tambang-tambang yang sebesar dulu, apalagi yang sebesar milik keluarga Zalantin. Bagi sebagian besar penduduk, peristiwa gempa yang mengerikan itu tak pernah bisa dilupakan."

Mina bercerita dengan gayanya yang dramatis dan menghanyutkan, membuat Wester berpikir, mungkin ada baiknya gadis itu mencoba berkarir sebagai pencerita yang berkelana dari satu kota ke kota lainnya.

"Apakah di Goetz hanya ada tambang batu merah?" tanya Wester.

"Tambang batu hijau dan kuning juga ada, tapi kau 'kan tahu, kedua batu ini harganya lebih rendah daripada batu merah, jadinya ya mereka kalah terkenal."

"Tidak ada tambang besi?"

"Tambang besi lebih banyak di selatan atau timur. Misalnya di Anorr, di kaki Gunung Gaston. Dan jumlahnya tidak banyak."

"Betul," Pierre menyahut. "Itulah sebabnya di negeri Tavarin ada lebih banyak perajin batu mulia dibandingkan pandai besi."

"Tapi 'kan ada juga pandai besi di Goetz," kata Wester. "Itu, yang hendak didatangi oleh Drell dan Artur. Siapa namanya?"

"Danan, itu nama yang tertulis di brosur," jawab Mina. "Tinggalnya kalau tidak salah di sebelah timur pasar. Hmm ... ya, besok pagi kita bisa coba ke sana. Barangkali ia, Drell, atau Artur bisa membantuku menemukan orang yang kucari. Bagaimana, Tuan?" Ia menatap Pierre.

"Terserah kau, Mina. Selama berada di Goetz, kau bosnya. Aku ikut saja." Pierre menyeringai lalu menenggak minumannya.

Esok paginya, setelah sarapan, berlatih pedang dan bersantai sejenak di halaman penginapan, ketiganya pergi ke pasar yang terletak di pusat kota. Selama perjalanan Wester memandang, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Kota Goetz sama ramainya dengan Erien.

Yang menarik, sepertinya ada banyak bangsa di sini, berbaur menjadi satu. Orang-orang berkulit putih keturunan Terran ada di sini. Orang-orang yang berkulit gelap, yang merupakan keturunan Houlund dan bangsa-bangsa lainnya di barat, juga ada. Ada pula orang-orang bertubuh besar yang konon berasal dari balik pegunungan barat, yang berjalan ke arah kaki pegunungan sambil memanggul martil atau kapak berukuran besar; mereka tampaknya akan memulai pekerjaannya di tambang.

Di pasar, rombongan pedagang dari negeri-negeri asing berbaur dengan pedagang lokal dan para pembeli. Ada berbagai macam barang yang dijual di sana, seperti umumnya pasar. Namun yang paling menonjol adalah tumpukan batu mulia yang tampak di sana-sini, yang seluruhnya berkilauan memancing mata siapa pun yang melihatnya. Termasuk Mina, yang beberapa kali berhenti untuk mengagumi batu-batu indah itu.

Untung gadis itu lalu cepat tersadar dan kembali berjalan.

Mereka menemukan sebuah bengkel pandai besi tak jauh dari pasar. Karena tak ada pandai besi lain yang terlihat di Goetz sejauh ini, mereka yakin bahwa itulah tempat Danan, orang yang beberapa hari lalu dicari oleh Drell dan Arthur.

Tempat itu tampak sepi, hanya ada satu orang yang tengah menimbang-nimbang kotak besi di salah satu sudut ruangan yang dindingnya terbuka. Orang itu bertubuh tegap dengan janggut tebal yang sedikit kurang terurus. Kakinya yang sebelah kiri buntung, dan ia berjalan dengan dibantu sebuah tongkat. Ketika melihat kedatangan tiga orang tamunya, ia tersenyum tipis.

"Selamat pagi. Ada yang bisa kubantu?" Ia menatap Pierre dan menunduk hormat. Sepertinya ia bisa langsung mengenali sosok seorang kesatria. "Anda ingin aku memeriksa pedangmu, Tuan? Aku bisa mengasahnya sebentar, supaya tetap tajam." Matanya tampak sedikit berbinar ketika melihat senjata di punggung Pierre. "Apakah itu ... pedang kembar yang terkenal itu?"

Pierre tersenyum. "Terima kasih atas tawaranmu, tapi nanti saja. Saat ini teman kecilku ini punya sedikit pertanyaan. Mungkin kau bisa membantu."

"Tentu saja, Tuan."

"Mmm, Anda pandai besi yang bernama Danan?" tanya Mina.

"Itu aku."

"Yang sedang mencari batu-batu hitam dari Hessen?"

"Itu aku juga. Kau punya beberapa, Nona?"

"Saat ini tidak lagi. Sudah kuberikan pada temanku. Ia bilang ia akan membawanya kemari. Namanya Drell, dan ia mungkin datang bersama satu temanku yang lainnya. Anda tahu, Tuan? Apa mereka sudah pernah datang?"

"Nama ..." Si pandai besi termangu. "Aku lebih bisa mengingat wajah daripada nama. Tapi jika teman yang kau maksud itu kira-kira seumur denganmu, ya, kurasa ada. Mereka berdua datang sekitar dua hari yang lalu, membawa batu hitam. Aku memberi mereka uang. Aku juga menawari mereka apakah mau membeli koleksi pedang atau pisauku, tapi mereka menolak, dan memilih pergi lagi ke utara. Ke Tavar, atau mungkin ke Hessen."

"Jadi, mereka sudah pulang, ya ..."

"Mungkin. Tapi kalian membawa kuda, sedangkan mereka hanya menumpang kereta. Kalau hendak menyusul mereka, kalian pasti bisa."

"Mungkin kami nanti akan menyusul, setelah urusan kami selesai," kata Mina. "Sekarang aku sedang mencari seseorang dulu. Aku bingung harus bertanya ke mana, jadi mungkin kau bisa membantuku."

Mina mengeluarkan kalung yang tergantung di lehernya. Ia menunjukkan batu putih yang tergantung di kalung itu, yang di permukaannya tampak ukiran kecil berbentuk garis-garis awan. "Apakah kau tahu, orang di kota ini yang mungkin memiliki kalung yang sama dengan punyaku?"

Valley of WizardsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang