Bab 9

1.5K 118 7
                                    

Saksi

# Beberapa saat sebelumnya # pagi jam 11.00

Seperti biasa, di universitas negri yang ada di kelsel itu memulangkan siswanya lebih cepat dari jam pulang normal. Universitas ternama di kalsel itu special karena  memiliki gedung tingkat sepuluh, lumayan besar, juga yang terbesar di kalsel.

Universitas itu di pilih oleh Dion lantaran dekat dengan rumah orang tuanya di kalsel, sebenarnya Dion tinggal di Jogjakarta dan rencananya akan melanjutkan kuliah di luar negri bersama dengan adiknya, Dina.

Saat itu mungkin Dion mengira tinggal di luar negri, tepatnya di inggris akan sangat menyenangkan, selalu menggunakan bahasa inggris setiap hari, libur bila salju turun, saling sapa dengan tetangga, semua itu menyenangkan dalam hayalan Dion. Dia salah besar.

Hidup di negara maju seperti inggris tidak semudah yang dia bayangkan, di Negara berjulukan Black Country itu Dion sering mendapat masalah. Bukan karena dia selalu berbuat ceroboh dan selalu nakal, tapi karena peraturan universitas di sana sangat ketat. Apalagi kebiasaan Dion yang selalu melandau tiap pagi membuatnya sering terkena hukuman, belum lagi waktu yang berbeda di sana membuatnya sulit beradaptasi.

Berkat training para dosen setiap minggunya sekolah selalu mengganggur pada hari sabtu. Daripada nongkrong gak jelas di sekolah lebih baik para mahasiswa di pulangkan lebih cepat.

Seperti hari sabtu sebelumnya, Dion, Roni, Boy, dan Rahul selalu duduk bersama di dekat parkiran. Kebetulan, mereka berempat bersahabat sejak SMA, entah apa yang membuat mereka berempat memilih universitas yang sama, mungkin pilihan hati.

“Sial, cewe itu pasti sudah melupakanku…” Dion mengoceh sendirian.

“Bro..lo kenapa?”

Dion tersadar kalau dia sedang melongo dengan ekspresi tidak rela kearah cewek yang sedang di liriknya diam-diam. Cewe cantik nan dewasa itu adalah teman Dion sejak SMA, mereka dulu sahabat karena hanya mereka yang memiliki kesadaran untuk berpikir kedepan.

Cewek yang suka mengenakan kemeja berwarna putih di luar baju berwarna warni itu membuat Dion juga suka mengenakan kemeja berwarna putih, tidak ada yang tau bagaimana perasana Dion yang sebenarnya pada cewek berambut sebahu itu, mungkin Dion terlihat seperti cowok melankolis yang sedang memandangi gedung universitas dan dihujani daun-daun kering yang berguguran.

Bukan karena lama tidak bertemu dengan si gadis yang membuat Dion bergumam sendirian, memang si cewek sendiri yang sedang berkumpul dengan cowok lain, pembicaraan mereka membuat Dion merasa cemburu. Selama ini mereka selalu terjebak di sebuah kasus yang biasa di sebut ‘friendzone’ dan itu membuat keduanya sering mencuri pandangan.

“Biasa…” Ucap Dion sambil menyunggingkan senyum lebar yang konyol sekaligus praktis. Setiap kali dia ketahuan sedang melirik pasti Dion akan melakukan itu, dan hebatnya dia tidak di anggap serius. “Hati lagi resah dan gelisah mikirin nasib lo..”

“Kenapa mikirin gue?” Tanya Roni. Dia adalah sahabat dekat Dion sejak mereka berdua terkumpul di MOS yang tadinya kejam berubah menjadi biasa saja, itu semua berkat Dion yang dengan berani berdiri dan tausiah tentang hukuman di akhirat, Roni hampir tidak percaya tausiah sahabatnya itu berhasil menyentuh hati para panitia MOS SMA dulu.

“Begini ya Sobat…” Ucap Dion sambil berjalan ke belakang tubuh Roni dengan muka serius. “Ada salah satu teman kita yang bilang mau traktir gue, tapi kenyataannya dia mangkir mulu…”

“Uhuk…” Boy terbatuk. Volume batuknya bahkan melebihi teriakan kakak Pembina di eskul pramuka SMP dulu. “Lo nyindir gue??”

Dion dan Roni menoleh pada sahabat mereka yang lain, Boy, dia menatap Dion dengan tampang supersensi. Sahabat mereka yang satu ini meliliki kebiasaan yang aneh bila sedang serius, urat lehernya selalu terlihat keluar. Seperti ingin mengajak lawan bertengkar, padahal apa yang bisa di lakukan urat leher seperti itu, cukup dengan di sentil pelan pasti orangnya akan mengeluh kesakitan.

SECOND Psychopath (Completed)Where stories live. Discover now