Bab 15

1K 85 5
                                    

Next


“Oke, tercatat.” Andrei menutup pulpen miliknya lalu meletakkan benda itu di saku rompinya.

“Aku turut prihatin tentang keluargamu Dre.” Ucapan yang keluar dari bibir Rita melantun indah di telinga Andrei.

“Makasih.” Jawaban singkat Andrei. “Kau sendiri?”

“Masih lajang. Menunggu seorang pria datang, pria yang benar-benar tulus.”

“Jagan mencoba-coba. Kau nanti menyesal kalau sudah terlalu tua.”

“Bukan ini tujuan kita kan?”

“Tentu saja, bagus kau menyadarinya. Lanjutkan.”

Bryan tua berusaha mengatur nafas pendeknya, nafasnya tersengal saat dia berusaha mengambinya lebih panjang. Tinggal menghitung detik menuju kematiannya, kematian akibat penyakit kusta yang menggerogoti dirinya. Bryan mengatur posisi rebahnya dengan sisa-sisa tenaga yang dia punya, memastikan kalau dia meninggal dengan posisi yang nyaman.

“Rita…. Rima…” Dengan usaha ekstra dia memanggil kedua puterinya, suaranya terdengar serak namun masih terdengar penuh kasih sayang.

Kedua anak itu lantas tiba di kamar Bryan setelah berlari, mereka berdua berdiri menghadap Bryan. Menatap ayah mereka penuh haru, mata mereka memandangi tubuh Bryan yang sudah sangat kurus. Benjolan tulang itu muncul di mana-mana. Penyakit yang muncul tak lama berselang setelah insiden tewasnya sang istri. Kalau dihitung waktu, kira-kira hampir satu tahun setelah kejadian mengerikan itu.

Tangan Bryan yang kurus kering itu memegang tangan puterinya. Dia mencoba mendapatkan kembali kasih sayang sang anak, dan kedua anaknya hanya terpaku menatap ayah mereka.

Rita dan Rima sudah cukup dewasa untuk hidup sendiri, merka cukup kreatif di usian muda mereka. paling tidak mereka bisa memasak dan berbelanja sendiri. Ibu mereka tidak bodoh dengan mati meninggalkan mereka, dia diam-diam menyimpan uang yang dapat digunakan kedua anaknya jika mereka sudah dewasa.

Tentu saja keberadaan uang itu tidak akan Rita beritahu kepada ayahnya, ibu mereka sudah memberitahu tepat sebelum pertengkaran dasyat itu terjadi. Semuanya, termasuk menyakit kusta yang diderita Bryan. Ibu mereka terlalu terampil untuk mengajari kedua anaknya yang masih kecil untuk bertahan hidup sendiri, setidaknya cukup untuk bernafas.

Rita sudah berumur dua belas tahun, sedangkan Rima berumur delapan tahun. Dengan uang yang diberikan ibu mereka, mereka bisa bertahan setidaknya sampai keluarga jauh berkunjung ke tepat mereka, kunjungan berkala selama tiga tahun sekali.

Tubuh yang terbaring di ranjang itu dulunya adalah seorang pemburu, dengan senapan miliknya dia dapat melakukan apapun. Tapi kini senapan itu hanya tergeletak berdebu di gudang kecil milik Bryan, gudang yang tersembunyi di balik lemari pakaian kamarnya.

“Ada apa yah?” Rima yang menjawab, dengan suara biasa. Tidak menandakan adanya keprihatinan.

Walaupun di usia delapan tahun, Rima tahu pasti kalau ayah mereka lah yang telah membunuh istrinya sendiri. Sejak beberapa tahun terakhir kedua sejoli itu telah menunjukan tanda-tanda kerapuhan. Sebuah rumah tangga yang tidak kokoh lagi seperti dulu.

Memang, Rita dan Rima sudah merasa diabaikan sejak awal mula pertengkaran itu, ayah mereka sudah mengabaikan banyak kepentingan mereka berdua. Seakan Rita dan Rima hanya penghalang kehidupannya, begitu juga sejak setahun terakhir. Yang dilakukan Bryan hanya urusannya sendiri, penyakit yang menggerogotinya juga diabaikan begitu saja, dia seperti tidak memiliki siapa-siapa lagi.

Rita dan Rima tidak senang dengan hal itu. Ayahnya bisa saja meminta tolong kepada mereka berdua akan hal apapun, hal kecil apapun yang membuat keberadaan mereka diakui oleh Bryan. Maka dari itu, hari itu saat mereka dipanggil ayah mereka untuk yang pertama dan yang terakhir, mereka merespon.

“Ayah m-minta maaf kepada kalian.” Bryan terbatuk-batuk sebelum melanjutkan ucapannya, “Kalian, kalau mau tau kenapa ibu mati. Cari keluarga Farensi.”

Genggaman tangan sang ayah melemah, mulutnya yang dipenuhi jambang tebal itu berhenti bergeming. Rambut putihnya yang panjang memenuhi bantal yang menopangnya.

Terlalu repot untuk memotong itu semua sampai akhirnya menemui ajalnya. Bagian rumah yang bersih itu menjadi saksi kematian Bryan, akar-akar yang menggantung di bagian rumah turut menyaksikan bagaimana sang ayah mati. Rumah yang mereka tinggali hanya bersih dari dalam, berkat ketekunan Rita menjaga agar rumah peninggalan ibunya itu tidak kotor. Bagian rumah di luar yang menjadi kewajiban Bryan untuk membersihkannya terlihat sangat kotor. Di halaman rumah itu penuh sampah, tidak ada yang berinisiatif membuang sampah ke tempatnya, berkat kemalasan sang ayah. Akar-akar tanaman di sana juga sudah merambat melewati batasnya, kalau saja Rita bisa, dia pasti sudah membersihkannya.

“Bagaimana mayatnya?”

“Apa? Kau lebih tertarik dengan mayatnya daripada bagian lainnya?”

“Tentu saja, anak umur dua belas tahun yang berurusan dengan mayat. Akan diapakan mayat itu?”

“Bakar!!” Jawab Rita singkat.

Andrei berhedem, “Jadi kalian membakar ranjang itu?”

“Tepat sekali. Aku cukup pintar untuk menyadari bahwa rumah kami terbuat dari semen.” Rita tertawa kecil. Tertawa yang menggoda. “Farensi, itu keluargamu bukan? Andrei Farensi.”

“Sahabat lama tidak akan pernah lupa ya.” Andrei berkedip. Rita yang menyadarinya merona. “Jadi, aku bertanya-tanya apa hubungannya keluargaku dengan kematian ibumu?”

“Jangan Tanya aku, aku hanya seorang designer.”

“Apa ayahmu pernah mengatakan apapun yang berhubungan dengan keluargaku?”

“Cuma itu, hanya itu.” Tegas Rita.

“Untuk seorang wanita cantik. Kau lumayan mengerikan.” Puji Andrei sembari melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul delapan malam.

“Aku bukan wanita perokok yang suka minum-minum, kau lebih tau itu kan?” 

“Iya. Kau hanya wanita yang dibesarkan di lingkungan yang kurang pantas.”

Rita menyilangkan kakinya lalu tertawa kecil, “Hmm… apa kau mau memberikanku perlindungan saksi?”

“Berkat ceritamu, mungkin nyawamu juga terancam.” Andrei balas tersenyum. “Di mana kau menginginkannya?”

“Di rumahmu.” Kata-kata serangan dari Rita langsung membuat Andrei tertunduk.

“Boleh. Aku membutuhkan asisten untuk memasak.” Andrei berdiri dan memanggil pelayan, membayarkan semua yang mereka pesan lalu berbalik menatap Rita.

“Aku naik taksi ke sini.” Jawab Rita seakan tau apa yang dimaksud Andrei.

Andrei menjulurkan tangannya. Dengan sigap Rita menyambut uluran tangan itu, mereka berjalan seperti sepasang kekasih menuju mobil kantor Andrei terparkir. Andrei membukakan pintu, “Silahkan saksi.”

“Terimakasih detektif.”

Mobil itu meninggalkan parkiran resto dan beranjak lalu. Sinar bulan yang menerpa malam itu begitu indah, warnanya yang kebiruan serasa menghilangkan hawa seram yang terkesan malam itu, bentuknya yang setengah bulan seperti kehilangan sebagian dirinya. Bagian yang hilang itu muncul perlahan, seperti hati Andrei yang setengah kosong telah terisi kembali.

Dear diary…

“Seseorang boleh menyakitiku, boleh saja menganggapku tidak ada, menghina dan mencaci diriku, mereka boleh melakukan itu semua. Bukan karena aku yang lemah, mereka yang lemah. Orang yang kuat sesungguhnya adalah orang yang bisa menerima itu semua.”

“Aku hanya membiarkannya, karena aku tau, suatu saat nanti hinaan itu adalah pembelaanku. Ketika hari itu tiba, siapkan nyawa kalian.”

SECOND Psychopath (Completed)Where stories live. Discover now