Cerita Pembuka

68.9K 3.6K 109
                                    

Usai memesan makanan, aku langsung menuju tempat duduk yang sudah aku tandai dengan meletakkan dua buku di atas mejanya. Dengan tangan yang memijat-mijat kening, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling.

Alih-alih mendapatkan pemandangan yang menyegarkan untuk mengurasi rasa pening, aku justru mendapati keadaan yang semakin ramai dan juga sesak. Selain karena ini adalah jam makan siang, jumlah mahasiswa yang semakin bertambah di setiap tahunnya pun tidak diimbangi dengan perluasan kantin mahasiswa. Entah apa alasannya, yang jelas kantin ini tidak pernah beralih rupa sejak pertama kali aku makan di sini.

Sama seperti yang lainnya, aku yang merupakan seorang mahasiswa pasca sarjana, asisten program studi Fiska dan juga asisten dosen atau yang sering disingkat menjadi asdos, saat ini sedang menghabiskan jam istirahatku.

Walaupun sedang merasa lelah dan juga sedikit pusing, nyatanya menjadi mahasiswi, asisten prodi di bidang kurikulum serta asdos adalah hal yang sangat aku syukuri. Bagaimana tidak, semua ini adalah rencana yang diizinkan oleh Tuhan untuk terjadi padaku. Pada seorang Leeandra Kusuma Atmadja yang sejak kecil memang bercita-cita sebagai dosen.

Sudah setahun belakangan ini aku mengikuti program magister Fisika dan itu artinya aku sedang berada di masa-masa kritisnya seorang mahasiswa. Ya, apalagi penyebabnya kalau bukan karena adanya mata kuliah seminar yang mengharuskan para mahasiswa menyusun proposal penelitian sebelum nantinya aku menulis tesis dan disidang.

"Huuuft..." Aku pun mengembuskan napas, berharap agar tekanan di kepalaku bisa sedikit berkurang. Jika biasanya aku makan siang bersama dengan geng karyawan, maka kali ini aku memilih untuk mengisi perut sendirian.

Baru saja aku akan memejamkan mata, tiba-tiba saja suara Pak Asep terdengar. "Mbak Lee, ini nasi capcay dan jus sirsaknya." Salah satu penjual di kantin ini pun menyajikan pesananku dengan sangat gesit.

"Wah, cepat sekali datangnya. Terima kasih, Pak Asep," ucapku lengkap dengan senyum terbaik untuknya.

"Sama-sama, Mbak Lee. Selamat makan siang," balasnya dengan sangat ramah sebelum akhirnya dia berlalu.

Ketika aku sudah mulai asyik menikmati menu yang selalu menjadi favoritku sejak menempuh kuliah S1 di sini, terdengarlah sebuah suara yang cukup familiar di telingaku.

"Permisi, apakah saya boleh duduk di sini?"

Sedikit mengangkat kepala, "Ya, ten- Loh? Kak Halim?" Aku refleks berdiri lalu menyilakannya duduk di depanku.

Setelah dia mendudukkan tubuhnya, "Hai, Leeandra! Kamu apa kabar?"

"Leeandra baik, Kak. Kak Halim sendiri, bagaiamana?"

"Alhamdulillah, kabarku baik," jawabnya lengkap dengan senyum yang tampaknya tidak pernah berubah sejak pertama kali aku bertemunya.

Berbicara tentang momen pertemuan kami, saat itu aku masih tingkat satu sedangkan Kak Halim sudah berhasil menyelesaikan sidang tesisnya dan sedang menjadi asisten prodi seperti aku saat ini. Meskipun kami berbeda jurusan, aku tetap bisa bertemu dan berkenalan dengannya karena dia sedang melakukan sebuah penelitian bersama dengan Prof. Rahmat, dosen pembimbing akademikku.

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku mengidolakan Kak Halim. Selain karena berotak encer yang dibuktikan dengan keberhasilannya meraih beasiswa program fast track dan juga beasiswa S3 di NUS, wajah tampan dan alim Kak Halim telah membuat banyak perempuan di fakultas ini, mengidam-ngidamkan sosoknya menjadi pendamping hidup.

"Sudah masuk semester tiga ya, Lee?" tanya Kak Halim membuyarkan lamunanku.

"Iya, Kak," jawabku seraya mengangguk. "Kalau Kak Halim sendiri?"

"Aku baru saja selesai sidang dan karena wisudanya masih cukup lama, aku milih nunggunya di Indonesia saja." Tepat setelah Kak Halim selesai berucap, pesanannya pun datang.

Sambil mulai menikmati makan siangnya, "Bagaimana rasanya jadi asisten prodi dan juga asisten dosen? Pasti sibuk banget ya, Lee?" Kak Halim lantas menatapku dengan cukup lekat.

"Hahaha iya lumayan, Kak. Apalagi Leeandra kan bantu di bagian kurikulum. Jadi kalau sedang awal semester seperti ini, ya, pastinya kerjaan jadi banyak banget."

"Dikurang-kurangin stressnya biar kamu nggak jatuh sakit loh, Lee." Ucapan Kak Halim tentu saja membuatku kaget.

"Kak Halim tahu dari mana kalau Leeandra sering stress?" tanyaku penasaran.

"Bahkan aku yakin kalau saat ini kamu sedang stress."

"Kok bisa begitu?"

"Minum yang kamu pesan adalah jus sirsak dan dulu, Prof. Rahmat pernah cerita sama aku kalau beliau punya seorang mahasiswi bimbingan akademik yang kalau sedang stress pasti minum jus sirsak sebanyak-banyaknya. Terus waktu aku tanya siapa namanya, beliau jawab itu kamu," jelasnya lalu tersenyum.

"Kenapa Ptof. Rahmat buka-buka kartu Leeandra begini sih?" tanyaku yang kini merasa malu. Bisa-bisanya dosen pembimbingku itu menceritakan hal semacam ini pada orang lain.

Kak Halim hanya mengangkat bahu sambil tertawa kecil lalu kembali melanjutkan makannya. Setelah sekian menit kami makan bersama dalam diam, aku yang sudah selesai makan pun bertanya padanya. "Kak Halim ada rencana jadi dosen di sini, nggak?"

Menganggukkan kepala, "Doakan aku bisa lolos tes materi dan wawancara ya, Lee," jawabnya yang lagi-lagi lengkap dengan senyum manisnya.

"Pasti Leeandra doakan!"

Baru saja aku ingin melontarkan pertanyaan yang lain, ponsel yang sejak tadi aku letakkan di atas meja pun bergetar. Dengan cepat, aku melirik ke arah layer dan terteralah siapa gerangan yang meneleponku.

"Kak Halim, Leeandra izin untuk mengangkat telepon dulu ya." Kak Halim mengangguk, menyilakan.

"Halo, Leeandra. Jangan lupa kalau jam setengah dua ini kita jalan ke pusat. Saya sudah di lantai satu," ucap Pak Rizal, si coldest-killer lecturer se-prodi fisika tempatku menimba ilmu sekaligus bekerja itu.

"Baik, Pak Rizal. Saya akan segera ada di sana," jawabku dan sambungan telepon pun langsung diputus olehnya. Seraya mengelus dada, aku bergegas meletakkan ponsel tersebut di atas meja.

"Kamu sudah dipanggil, ya?" tanya Kak Halim yang hanya aku balas dengan anggukkan.

"Kalau begitu, selamat beraktivitas kembali, Leeandra!" seru Kak Halim tepat sebelum aku berdiri dan berlari menuju gedung prodi fisika.

Begitu sampai, aku langsung melihat pria yang tadi meneleponku itu sedang duduk dengan wajah yang dia tekuk dengan sempurna. Alih-alih menajwab sapaanku, "Jarak antara prodi ini dengan kantin jauh banget, ya?" Pak Rizal justru menyindirku seperti biasa.

"Ini masih jam satu kurang empat menit loh, Pak," ucapku menanggapi mulut si dosen muda itu.

"Kalau mau jadi dosen, ya kamu harus disiplin. Kalau sudah tahu akan pergi jam setengah dua, ya sudah siap sejak pukul setengah satu."

"Saya minta maaf, Pak," ucapku yang kemudian meminta izin untuk mengambil laptop dan juga berkas yang ada di atas mejaku. Meski merasa sangat geram, aku sadar dengan posisi. Pak Rizal adalah dosen sedangkan aku hanya mahasiswi dan juga asistennya.

Yang seperti Pak Rizal ini kok ya jadi idola para mahasiswi? Ah, mereka pasti tidak tahu kalau dosen yang satu ini juara bertahan dalam kategori menyindir dan menyinyir!

Ada yang kangen dengan Pak Rizal dan Tante Leeandra?

.
.
.
Kak Rurs with💎

Cerita Ci(n)ta Sang Asdos ✔ (Lengkap)On viuen les histories. Descobreix ara