Cerita 37 - Jawaban Teka-Teki Hidup Leeandra

12.8K 1.7K 309
                                    

Senin sore atau lebih tepatnya setelah Leeandra mendapatkan surat yang menyatakan bahwa dirinya diizinkan untuk menambahkan durasi penelitiannya di Bandung, maka dia pun bergegas kembali ke kota itu. Kedatangannya tentu saja disambut hangat oleh Abang, Mang Arie dan juga Mbak Suci yang ternyata sudah menyiapkan sebuah taktik agar Bu Lita tidak dapat menjalankan aksinya lagi.

Keesokkan paginya, sembari membantu Leeandra membuat sampel, Mbak Suci bercerita perihal berita yang tentu saja sedang ramai dibicarakan di jagad kampus ini. "Sejujurnya, Leeandra tidak tahu soal alasan mengapa mereka batal bertunangan di akhir pekan lalu sih, Mbak," tanggap Leeandra apa adanya.

"Mbak Nadine nggak bercerita apa pun, Mbak Lee?" Sembari memutar magnetic stirrer, Leeandra menggelengkan kepalanya.

Walaupun penasaran, Mbak Suci memilih untuk ber-oh-ria saja lalu kembali memfokuskan diri dalam membantu Leeandra. Baginya, keberhasilan Leeandra dalam membuat sampel adalah prioritas utamanya saat ini.

Sementara itu, di waktu yang bersamaan tampaklah Mbak Nadine dan Mbak Ina yang sedang bertransaksi dengan seorang pria. "Silakan diperiksa dulu, Nyonya," ucapnya sembari memberikan sebuah amplop cokelat cukup tebal.

Usai mengecek semuanya, "Good job, Man!" seru Mbak Nadine yang kemudian mengirimkan sejumlah uang melalui gawainya. "Saya sudah kirimkan bayaran plus bonusnya ke rekening kamu. Coba deh, dicek."

Dengan mata yang masih melotot tidak percaya dengan jumlah uang yang baru saja diterimanya, pria bernama Arman itu mengucapkan terima kasihnya secara berulang-ulang pada Mbak Nadine.

"Sama-sama, Arman. Senang berbisnis dengan kamu," tanggap Mbak Nadine sebelum menyilakan pria bertopi untuk berlalu.

"Mbak Nadine bayar dia berapa sih?" tanya Mbak Ina yang kemudian melihat tangan Nadine membentuk angka 2, 0 dan 0.

"Dua ratus? Dua ratus apa, Mbak? Dua ratus juta?" Melihat Mbak Nadine mengangguk, Mbak Ina berteriak sekencang-kencangnya. Untung saja ini di butik, karena kalau ini di kampus, sudah pasti Mbak Ina mendapat teguran karena sikapnya itu.

"Daripada yang perempuan kayak gini jadi menantu keluarga Hendratama, mendingan aku kuras tabungan deh," tanggap Mbak Nadine seraya memandangi foto-foto yang baru saja didapatkannya.

"Iya, juga sih, Mbak. Lagipula, siapa sih, yang ikhlas punya saudara ipar yang murahan begini? Nih, dia pernah ngamar sama pejabat negara. Yang ini, sama fotografernya sendiri terus yang ini sama produser film yang hobinya memang kawin-cerai."

"Thanks for helping me, ya, Na." Mbak Nadine memeluk Mbak Ina.

"You're most welcome, Mbak Nadineee..." balas Mbak Ina sembari membalas pelukan itu dengan tidak kalah eratnya.

*****

Hari demi hari berlalu dan saat siang mulai menjelang di hari Jumat ini, "Sudah genap dua ratus sampel belum, Mbak Lee?" tanya Mbak Suci dengan wajah yang tak kalah berserinya dengan Leeandra yang pada akhirnya berhasil merampungkan pekerjaannya.

"Sudah dong, Mbak Suci," jawab Leeandra dan di detik selanjutnya keduanya berpelukkan.

Setelah sekian lama, keduanya mulai merenggangkan dekapan. "Sejujurnya Mbak tuh ngerasa bahagia sekaligus sedih tahu, Mbak Lee. Bahagia karena akhirnya kamu berhasil dan sedih karena kita harus berpisah," tutur Mbak Suci lalu mengusap air yang keluar di ujung matanya.

"Aaaa.... Mbak Suci jangan menangis dong..." Leeandra kembali memeluk Mbak Suci dan tanpa disangka, rasa sakit mendadak menyerang kepalanya. Pasti ini akibat dari aku yang kurang tidur dan selalu telat makan, batinnya.

"Kalau ada waktu kosong, kita wajib ketemuan," usul Mbak Suci yang kemudian disetujui Leeandra.

"Eh, iya, hari ini, Bapak kamu sudah boleh keluar dari rumah sakit, ya?" Leeandra mengiakan dengan anggukan sebelum dirinya izin untuk pergi ke toilet.

Cerita Ci(n)ta Sang Asdos ✔ (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang