Cerita 20 - Tentang Sepuluh Tahun Yang Lalu

14.4K 1.8K 87
                                    

Bertepatan dengan hari pembagian rapor untuk Leeandra, rumah milik sang bapak berserta isinya pun disita oleh bank. Tentu saja hal ini membuat keluarga kecil Atmadja itu harus pindah ke sebuah kontrakan petak yang sebelumnya telah dicarikan oleh Pak Timin, mantan supir di keluarga tersebut.

"Maaf karena saya hanya bisa mencarikan tempat tinggal yang seperti ini, Pak," sesalnya pada sang majikan yang terbiasa tinggal di rumah besar dan luas itu.

"Justru saya yang seharusnya minta maaf karena sudah merepotkan kamu," tanggap Pak Ferdian seraya membuka pintu.

Dikarenakan barang-barang yang dibawa oleh keluarga Pak Ferdian tidak lebih dari tiga kardus berukuran sedang, maka proses bongkar muat serta bersih-bersih kontrakan yang sudah kosong selama tiga bulan itu pun berlangsung dengan sangat cepat.

"Jangan lupain Leeandra ya, Mbok Sum," ucap Leeandra pada istri Pak Timin yang merupakan asisten utama di rumahnya yang dulu.

"Mbok nggak mungkin bisa lupain orang-orang yang Mbok sayang, Non," balas Mbok Sum yang kemudian berpelukan dengan gadis kecil yang hari ini baru saja menerima rapornya itu.

"Terima kasih banyak, ya, Mbok." Kali ini, Bu Larasatilah yang berucap. Membuat perempuan yang sudah berusia kepala lima itu menganggukkan kepalanya lalu berpelukan dengan keduanya secara bergantian.

Begitu sepasang suami istri itu sudah berpamitan dan berlalu, Bu Larasati langsung meminta penjelasan pada suaminya. "Tolong jelaskan semuanya, Pak," pintanya dengan air mata yang kembali meluncur di atas kedua pipi tirusnya.

"Bapak minta maaf ya, Bu." Pak Ferdian lantas bersimpuh sambil memeluk kaki Bu Larasati.

"Apa yang sudah terjadi, Pak? Mengapa Ibu tidak tahu soal utang yang berujung dengan penyitaan seperti ini?"

Dengan mata tampak memerah dan basah, Pak Ferdian menjelaskan duduk perkaranya. "Semua bermula dari keinginan Bapak untuk memperluas jaringan bisnis mabel kita, Bu." Pak Ferdian kemudian mengatakan bahwa setelah dia meminjam uang pada bank dengan jaminan berupa sertifikat rumah beserta isinya pada akhir tahun lalu, maka secara kebetulan, salah seorang sahabatnya memesan mabel dalam jumlah yang sangat besar.

"Di tengah perjalanan, pesanan yang menjanjikan keuntungan hampir lima belas miliar itu dibatalkan tanpa sebab yang jelas." Pak Ferdian lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Jika saja waktu itu Bapak tidak menganggapnya sebagai sahabat, tentu kerugian yang kita tanggung tidak akan sebesar ini."

"Maksudnya, Pak?"

"Bapak sudah kadung terlalu percaya padanya. Jadi, setelah dia melakukan pemesanan itu, Bapak tidak membuat perjanjian hitam di atas putih seperti biasanya, Bu."

Pak Ferdian kemudian menjelaskan bahwa setelah pesanan itu dibatalkan secara sepihak, maka secara berangsur-angsur, karyawannya pun mengundurkan diri dengan beraneka alasan. "Tidak cukup sampai di situ, para pemasok bahan baku ke toko mabel kita juga mendadak memutuskan kontrak kerja sama. Mereka memang membayar biaya pemutusan kontrak, tapi jumlahnya tidak bisa menutupi semua biaya ganti rugi ke pelanggan. Akhirnya, dengan berat hati, Bapak menjual toko mabel kita."

Mendengar penjelasan sang bapak, Leeandra pun menangis pilu. Sungguh, dia tak menyangka bahwa bapaknya yang terkenal sangat baik dan senang membantu siapa pun itu, bisa terkena kasus sepelik ini.

"Maafkan Bapak ya, Bu, Lee," ucap Pak Ferdian lalu menjelaskan bahwa alasannya menutupi semuanya ini karena lemah jantung yang diidap oleh sang dan saat itu, Leeandra juga sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir semester.

Mendengar hal itu, baik Bu Larasati maupun Leeandra menangis, tanpa mau menyalahkan siapa pun. Bagi mereka berdua, ketika nasi sudah menjadi bubur, maka tugas kita adalah menyiasati rasa dari bubur tersebut.

Semenjak hari itu, kehidupan keluarga Atmadja pun berubah drastis. Jika Pak Ferdian beralih profesi menjadi kuli bangunan, maka Bu Larasati yang memiliki ijazah sarjana ekonomi dan dulunya pernah bekerja sebagai pegawai bank itu pun menjadi asisten rumah tangga di beberapa rumah demi bisa melanjutkan hidup. Bukan karena tidak mau mencari pekerjaan yang lebih layak, hanya saja faktor usia dan juga kesehatan membuat mereka harus ikhlas menjalani pekerjaan tersebut.

Tidak ingin hanya menjadi beban bagi kedua orangtuanya, Leeandra pun ikut bekerja sebagai guru les privat bagi anak-anak yang tinggal di sekitar tempat tinggal barunya itu. Bahkan dia sangat bertekad untuk mengangkat derajat keluarganya. Terlebih setelah apa yang dikatakan oleh pepatah 'sehabis manis sepah dibuang', terbukti nyata di depan matanya. Orang-orang yang dulunya bersikap hormat dan juga sering meminta bantuan, kini menutup semua inderanya atas keadaan keluarga Atmadja. Untungnya Pak Timin dan Mbok Sum tidak ikut menjadi bagian dari mereka. Meskipun tidak lagi bekerja sebagai supir dan asisten rumah tangga, keduanya rutin mengunjungi dengan tangan tak hampa.

"Biar Bapak, Ibu dan Non Lee tetap sehat," ucap Pak Timin seraya menyerahkan sekantung jeruk yang kini tak bisa dibeli oleh keluarga Leeandra. Jangankan buah, bisa makan dengan nasi dan lauk sederhana tanpa berutang saja, ketiganya sudah sangat bersyukur. Upah yang didapatkan Pak Ferdian hanya sebesar tiga puluh ribu per hari dan pendapatan Bu Larasati selama sebulan jika ditotal hanyalah satu juta rupiah.

Hari demi hari dilalui dengan penuh perjuangan dan rasa keprihatinan hingga pada akhirnya Leeandra berhasil masuk ke sebuah SMA Negeri favorit di Jakarta. Sungguh, ini adalah momen paling membahagiakan bagi Leeandra. Apalagi, di hari pengumuman itu, dia bisa melihat senyum yang telah lama hilang dari di bibir kedua orangtuanya.

Happy reading all!

Semoga semakin ramai, sehingga aku bisa repost dengan lancar dan juga sampai tamat!

.

.

.

Kak Rurs with💎

Cerita Ci(n)ta Sang Asdos ✔ (Lengkap)Where stories live. Discover now