Cerita 8 - Ajakan Pak Rizal

17.9K 2.1K 108
                                    

Setelah sarapan, semua peserta menuju ruang-ruang kelas untuk mengikuti sesi Focus Discussion Group (FGD). Sebagai seorang staf di bidang kurikulum, Leeandra pun merasa bahwa inilah waktunya untuk mengaktualisasikan diri.

"Menurut saya, peminatan ilmu pada mahasiswa itu dilakukan sejak semester lima. Apalagi jika kita semua sepakat bahwa tujuan dari peminatan ini adalah untuk membuat mereka fokus dan bisa mempelajari secara dalam atas apa yang ingin mereka pelajari," ucap Leeandra saat kelompoknya membahas perihal pelaksanaan dari peminatan rumpun ilmu yang banyaknya dilakukan pada tahun terakhir tersebut.

Leeandra kemudian menambahkan, jika mahasiswa baru diperbolehkan memilih peminatan pada semester enam atau bahkan tujuh, maka hal itu memungkinkan adanya stagnasi pada kualitas dari penelitian yang dilakukan para mahasiswa.

Tanpa disangka, semua pendapat lengkap dengan bukti-bukti konkret yang Leeandra paparkan, membuatnya terpilih sebagai perwakilan kelompok yang harus mempresentasikan hasil diskusi ini di depan seluruh peserta.

"Terima kasih sudah memilih Leeandra, Pak, Bu," ucapnya yang kemudian maju ke depan.

Sembari memperhatikan Leeandra yang tengah berbicara di podium dengan begitu percaya dirinya, Pak Rizal terus saja menyerukan pertanyaan-pertanyaannya di dalam hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi, Leeandra? Adakah beban besar yang coba kamu sembunyikan dari dunia? Boleh saya tahu apa itu?

Tanpa disadari oleh Pak Rizal, di sudut lain, tampaklah sepasang mata yang tengah mengamati gerak-geriknya. Sepertinya perempuan itu adalah pusat duniamu yang baru ya, Zal, ucapnya di dalam hati.

"Kami persilakan pada Ibu Lita Tanjung untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok tujuh," ucap pembawa acara yang tentu saja membuyarkan pengamatan terhadap Rizal.

*****

Ketika kegiatan di hari kedua ini dinyatakan selesai, Pak Rizal pun mengatakan pada panitia bahwa dirinya dan juga Leeandra tidak ikut kembali ke hotel bersama rombongan. Bahkan, pria berhidung mancung itu juga meminjam mobil dari salah satu panitia agar keduanya bisa pergi dengan lebih santai dan intim. Katakan jika ini berlebihan, tapi Pak Rizal benar-benar ingin Leeandra menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya.

Setelah 20 menit berada di dalam mobil, Pak Rizal akhirnya berucap demi memecahkan keheningan dan juga kecanggungan di antara mereka berdua.

"Sama orang lain kamu bisa tertawa-tawa, tapi mengapa tidak bisa begitu sama saya?"

"Maaf, Pak." Tentu saja bukan itu yang ingin didengar oleh Pak Rizal.

"Kamu minta maaf untuk apa, Leeandra?"

"Selain tidak bisa tertawa-tawa dengan Pak Rizal, saya juga minta maaf karena sudah melakukan tindakan yang tidak profesional di depan Bapak."

"Tindakan apa yang kamu sebut tidak profesional itu?" tanya Pak Rizal yang sontak menolehkan wajahnya ke arah Leeandra.

"Menangis di depan Bapak."

"Memangnya kenapa kalau kamu menangis di depan saya?"

"Bapak adalah atasan saya dan sangatlah tidak patut jika saya memperlihatkan masalah pribadi saya pada Bapak." Meski menjawabnya dengan tenang, nyatanya Leeandra sedang merasa sangat kesal pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak, hal yang selama ini dia sembunyikan, justru terlihat secara langsung oleh dosen yang hobinya menyindir dan menyinyir itu.

Alih-alih menanggapi ucapan itu, Rak Rizal justru menaikkan laju kendaraan lalu membelokkan kemudi ke arah pintu masuk dari ke sebuah kedai es krim legendaris di kota ini.

"Kita ke Zangrandi, Pak?"

"Iya. Yuk," jawab Pak Rizal yang kemudian menyunggingkan senyumnya.

Sementara Leeandra masih terperangah dengan senyum yang baru pertama kali dilihatnya itu, Pak Rizal sudah lebih dahulu masuk, memilih tempat duduk lalu memesan es krim kesukaannya.

Selesai menyebutkan pesanan dan mengucapkan terima kasih pada sang pelayan, "Kenapa kita ke sini, Pak?" Leeandra bertanya pada dosen yang terkenal lebih dingin daripada es krim itu.

"Saya mau makan es krim."

"Oke, saya ganti pertanyaannya. Kenapa Bapak ajak saya ke sini?"

Dengan mata yang kini sudah menatap Leeandra lekat, "Kata orang, es krim adalah obat ampuh untuk menghapus kesedihan."

"Saya tidak bersedih kok, Pak."

"Saya tidak percaya," jawab Pak Rizal yang bertepatan dengan datangnya pesanan mereka.

Melihat Leeandra yang tidak juga menyentuh es krim rasa vanilanya, Pak Rizal pun menghela napasnya. "Baiklah, saya percaya kalau kamu sedang tidak bersedih," ucapnya lalu kembali menyuap sesendok es krim ke dalam mulutnya.

"Kali ini saya yang tidak percaya, Pak," tanggap Leeandra yang kemudian menundukkan kepalanya.

"Lalu kamu mau saya bagaimana?"

"Saya mohon agar Bapak mau melupakan kejadian semalam dan juga tidak lagi berupaya untuk mencari tahu alasan mengapa saya menangis." Mendengar itu, Pak Rizal pun mengusap wajahnya dengan kasar. Ternyata, Leeandra sangat peka hingga maksud terselubung dari ajakannya makan es krim ini pun dapat diketahuinya dengan sangat cepat.

Jika biasanya Pak Rizal begitu lihai mengeluarkan kata-kata dari mulutnya untuk membuat orang bungkam dan juga mengelus dada, maka kali ini, dia merasa kalau kemampuannya itu telah musnah tanpa sisa. Jiwa tukang sindir dan nyinyirnya pun tampak tertidur dan tertinggal di warung rawon.

"Jika itu yang kamu mau, saya akan kabulkan."

Usai mengatakan itu, keduanya pun terdiam. Awalnya, cum lauder University of California, Barkeley ini tidak mempermasalahkan kebungkaman Leeandra padanya. Namun, saat melihat sang asisten itu menjawab telepon dari seseorang disapanya dengan Kak Halim dengan penuh senyum, emosinya pun langsung naik sampai di ubun-ubun.

Kalau dengan Halim, kamu selalu bisa tersenyum bahkan tertawa-tawa. Sedangkan sama saya, kamu menujukkan hal sebaliknya. Kalau boleh tahu, beda kami apa sih, Lee? 

TBC... 

Happy reading, Rurs Geng! 

Semoga terhibur juga dengan repost yang aku lakukan di akhir tahun ini💞💕

.
.
.
Kak Rurs with💎

Cerita Ci(n)ta Sang Asdos ✔ (Lengkap)Where stories live. Discover now