Cerita 16 - Perang Batin Leeandra

15.3K 1.8K 71
                                    

Saat malam mulai menjelang, Leeandra yang sedang duduk di tepian tempat tidurnya tampak menatap langit-langit kamar lalu beralih pada kaus Pak Rizal yang belum sempat dia kembalikan itu. Dalam diamnya, gadis tersebut tengah memikirkan serangkaian kejadian yang semuanya berkaitan dengan dosen mudanya itu. Tidak apa-apa, kan, kalau aku memikirkannya seperti ini?

Masih dengan kepala yang penuh dengan bayang-bayang Pak Rizal, Leeandra pun mengalihkan pandangannya ke arah bingkai foto yang berada di atas meja samping tempat tidurnya. Hanya berselang sekian detik, air mata Leeandra sudah meluncur bebas hingga membasahi kedua pipinya.

"Leeandra sayang Bapak dan Ibu," ucapnya setelah mengambil dan mendekap foto yang berisi potretnya bersama dengan kedua orangtuanya tersebut.

"Kalau Pak Rizal mulai masuk ke dalam pikiran dan hati ini, Leeandra harus apa, Pak, Bu?" tanyanya yang kemudian menangis. Selama ini, dia telah menanamkan pemikiran bahwa perasaan suka apalagi cinta adalah distraksi terbesar untuk cita-citanya, tapi akhir-akhir ini, dia mulai merasa tidak mampu jika harus terus menampik pesona dari dosennya tersebut.

Lelah menangis sambil berperang batin, Leeandra pun tertidur dengan posisi tangan yang memeluk bingkai foto dan juga kaos putih bernomor punggung 17 tersebut.

*****

Setelah semalaman Leeandra sibuk memikirkan semua hal yang telah dilakukan Pak Rizal padanya, pagi ini, secara mengejutkan, Leeandra diminta untuk menemui manager kurikulum. Menurut Mbak Ina, salah satu pejabat fakultas itu berkata dengan penuh emosi. Wah, ada apa, ya?

Begitu Leeandra dipersilakan masuk dan duduk berhadapan, "Kenapa laporan evaluasi pelaksaan UTS dari prodi Fisika selalu begini sih?" tanya wanita bertubuh tambun yang akrab disapa Bu Siska itu.

"Maaf, Bu Siska. Maksudnya 'selalu begini', itu bagaimana, ya, Bu?" tanya Leeandra sopan.

Bu Siska pun mengambil laporan dari prodi Matematika dan juga Biologi. "Coba kamu bandingkan. Prodi lain bisa buat laporan yang tebal-tebal dan prodimu? Hanya dua puluh lima lembar."

"Sebelumnya saya meminta maaf jika Ibu tidak berkenan dengan laporan evaluasinya. Namun, seperti inilah hal yang diminta dan juga disetujui oleh penanggung jawab kurikum beserta kepala prodi kami, Bu."

Bu Siska berdecak kesal. "Pak Rizaldi dan Prof. Daryanto itu tipe manusia yang terlalu efektif dan efisien," ujarnya dengan raut wajah penuh kekesalan. Leeandra yang mendengarnya hanya diam tak menanggapi.

Cukup lama menanti kelanjutan dari perbincangan ini, akhirnya Bu Siska membuka mulut dan berkata, "Ya, sudah kalau memang seperti ini gaya prodi kamu. Mau tidak mau, ya saya terima." Dengan senyum manis yang terpatri indah di bibirnya, Leeandra pun mengucapkan terima kasih.

Keluarnya dari gedung dekanat, Leeandra langsung melangkahkan kakinya menuju ke gedung pusat administrasi kampus. Sebenarnya, sebelum panggilan dari Bu Siska, Leeandra sudah memiliki agenda untuk mengurus perubahan mata kuliah prasyarat yang diberikan Prof. Yanto pekan lalu.

"Diisi formulirnya," ucap salah satu staf kurikulum pusat yang memang terkenal super jutek sejak dahulu kala. Kalau sudah begini, rasa-rasanya, Leeandra jadi ingin bertanya, adakah biaya yang harus dia bayarkan untuk seulas senyum dari perempuan di depannya itu?

"Baik, Mbak." Leeandra lalu mengisi lembar demi lembar dari formulir yang seharusnya menjadi pekerjaan Pak Rizal. Namun, dikarenakan dosen tersebut memiliki jadwal mengajar, maka sebuah surat kuasa pun dilayangkan olehnya pada sang asisten.

Saat Leeandra sudah selesai mengurus semuanya dan sudah berada di luar gedung, sebuah suara terdengar memanggilnya. Begitu gadis itu menoleh, "Mau ke mana kamu?" tanya sang pemilik suara.

"Saya mau kembali ke prodi, Pak," jawab Leeandra yang justru membuat Pak Rizal menghela napasnya.

"Kamu tidak makan siang?" Baru saja Leeandra akan menjawab, "Maksud saya, kamu mau tidak makan siang bareng saya?"

"Sebenarnya bukan tidak mau, tapi saya sudah berjanji akan makan bareng dengan para karyawati, Pak," tolak Leeandra.

"Kalau Halim yang ajak kamu makan siang, kok kamu mau, ya?" Merasa tidak punya bantahan, Leeandra pun mengiakannya.

Selesai keduanya memilih dan memesan menu makan siang, Pak Rizal berkata, "Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih saya untuk kamu yang sudah mengurus banyak hal di hari ini."

"Sudah menjadi tugas saya untuk mengurus semua hal yang berkaitan dengan kurikulum prodi, Pak," balas Leeandra. "Jadi, Bapak tidak mengucapkan terima kasih apalagi sampai melakukan hal seperti ini," imbuhnya dengan sedikit tegas.

Alih-alih menanggapi, Pak Rizal justru menyibukan diri dengan ponselnya. Hingga sampai pesanan mereka sampai, keduanya tampak mempertahankan kebisuan masing-masing. "Pak, makanannya sudah sampai," ucap Leeandra pada akhirnya yang hanya diangguk Pak Rizal.

"Terima kasih sudah mentraktir saya, Pak." Kali ini, segaris senyum pun terbit di bibir Pak Rizal. Ini yang saya tunggu, Leeandra! Saya menunggu kamu mengucapkan terima kasih!

"Sama-sama, Leeandra," balasnya lalu mulai menikmati semangkuk soto ayam yang terkenal juara di kantin yang berada di samping gedung rektorat ini. 

TBC...

Ditunggu komentar-komentarnya yaa!

.
.
.
Kak Rurs with💎

Cerita Ci(n)ta Sang Asdos ✔ (Lengkap)Where stories live. Discover now