why fall is painful when nobody catches you? (1)

17K 989 79
                                    

Jungkook

Aku dan ibuku sampai di bandara pukul delapan malam. Penerbangan ini sedikit delay, cuaca yang agak buruk tidak mengijinkan pesawat lepas landas tepat waktu. Sejujurnya, aku masih sedikit jetlag. Ibuku bersikeras untuk langsung pulang ke rumah, dua belas jam di pesawat membuat punggungnya sedikit nyeri. Ia perlu rebahan di kasurnya.

Adik dan kakakku sudah berdiri di depan gate keluar. Mereka memelukku, mengatakan kalau ia sangat sangat merindukanku. Nyaris empat tahun aku tidak bertemu mereka. Kakakku semakin cantik, dengan sepatu hak berwarna hitam, dress putih dan blazer coklat, khas orang kantoran sekali. Berbeda dengan empat tahun lalu yang selalu bebal jika ibu menyuruhnya memakai dress.

Adikku juga semakin cantik. Aku tidak percaya kalau tingginya sudah sedikit melebihi aku. Ia juga sudah pintar memoles wajahnya. Wajahnya tambah mirip dengan ibuku. Meskipun ia selalu mengirimi aku foto, tapi kecantikannya lebih terlihat jika dilihat aslinya.


Sampai dirumah, Mingyu—kekasih kakakku—sudah menyiapkan makan malam. Ku dengar dari ibu, Mingyu itu seorang asisten chef di Ritz. Jadi, makan malam ini berasa seperti aku makan di restoran berkelas. Sepanjang makan, kami banyak bercerita, melemparkan godaan dan juga melepas rindu.

Somi bercerita tentang kuliahnya. Adikku ini baru masuk semester pertamanya dua minggu lalu. Akupun begitu, bercerita tentang pesta kelulusanku dan rangkaiannya. Seminggu lalu aku mendapat gelar sarjanaku. Ibuku menyusul ke tempatku karena ingin melihat aku di wisuda. Memakai toga dan mendengar namaku dipanggil dengan indeks prestasi yang masuk jajaran cumlaude.

Berkuliah di luar negeri membuatku tidak bisa pulang tiap tahunnya. Beasiswaku hanya memberikan tiket pergi dan pulang—pulang saat aku sudah dapat gelar sarjana. Sebenarnya, bisa saja aku pulang tiap natal, tapi aku bersikeras untuk tetap tinggal. Ibuku selalu merindukanku setiap harinya. Berterimakasihlah kepada teknologi masa kini yang telah menyediakan video call, sehingga aku bisa bertatap muka setiap hari dengan ibuku.

Aku merebahkan diriku di kasurku. Tidak ada yang berubah dari kamarku, foto-foto masih tergantung tidak berdebu. Mejaku juga sepertinya tidak ada yang mengganggu. Hanya seprainya saja yang diganti baru. Aku menoleh ke arah jendela. Kamar di seberang jendelaku masih gelap. Entah pemiliknya belum pulang, atau pemiliknya sudah tidur. Karena, demi apapun, aku merindukan pemilik kamar itu.


***


Aku terbangun dengan beban diatas selimutku. Bau parfum lelaki menusuk hidungku. Aku menggeliat dan beban itu berguling ke kanan. Aku memukulinya, dan dia tertawa. Ia memelukku, mengucapkan kata rindu berkali-kali. Yah, aku juga rindu.

"Sialan, kau pulang tidak bilang. Tahu begitu aku jemput di bandara." Rengeknya. Macam anak kecil yang tidak dibelikan balon. "Untung aku bertemu Wonwoo Nuna tadi dibawah. Bilang kalau siluman kelinci sudah pulang semalam."

Aku mencubitnya. Seenaknya aku dibilang siluman kelinci. "Aku tidak mau merepotkanmu Tae. Katanya skripsimu banyak revisi."

"Tapi kan—"

"Sudahlah, aku sudah di rumah." Aku menjulurkan lidah dan mengumpatinya.

Aku bangun dan langsung ke kamar mandi. Taehyung masih bergelung di kasurku. Memainkan ponselnya dan sesekali tersenyum. Terkadang aku merasa senang saat Taehyung saat ada disini. Tapi, semua terasa berbeda sekarang. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar. Berpisah dengannya membuat berbagai hal berubah.

Terlebih lagi, Taehyung sekarang sudah ada yang memiliki.


***


Aku mengenal Taehyung saat umurku lima—saat aku sudah masuk taman kanak-kanak. Taehyung dan keluarganya membeli rumah milik Tuan Lee yang berada disamping kanan rumahku. Saat itu, aku melihat seorang anak lelaki yang membawa robot Bumblebee di tangan kirinya.

Taehyung menyapa ibuku dengan sebutan imo, lalu ibunya menyusul di belakang dan kami berkenalan. Taehyung langsung mengajakku bermain. Aku yang kala itu sudah banyak berteman mengajak Taehyung ke rumah Jimin. Rumah Jimin itu lebih besar diantara rumah kami, ada kolam renang di dalamnya. Dan hari itu juga, kami bertiga berenang bersama.

Kami bertiga tidak terpisahkan. Ditambah Namjoon, kakak Taehyung yang sering ikut bermain bersama kami. Kami sering bermain bersama. Mulai dari bermain sepak bola, layangan, hingga suatu hari ayah Jimin membawakan kami Play Station. Kami juga sering tidur bersama—tidur dalam artian memejamkan mata untuk beberapa jam kedepan.

Bisa dibilang, karena mereka aku menjadi anak perempuan yang boyish. Aku tidak pernah memakai rok kecuali untuk bersekolah. Aku tidak pernah berdandan seperti yang dilakukan Somi saat ia berusia 12 tahun. Bahkan pakai bedak untuk keluar rumah saja harus diingatkan oleh ibuku.


Tingkat sekolah menengah pertama adalah hal yang berbeda bagi hidupku. Aku mulai mengenal yang namanya menstruasi dan juga para lelaki yang mulai menunjukkan tanda-tanda pubertasnya. 

Taehyung yang pada saat itu liburan ke rumah neneknya di Daegu pulang dengan perubahan yang sangat mencolok. Dua minggu disana, suaranya berubah menjadi berat. Seperti suara paman sekuriti kompleks rumah kami. Entah sihir apa yang nenek Kim berikan pada Taehyung, tapi itu membuatnya menjadi lebih seksi.


Memasuki sekolah menengah atas, semuanya berubah. Aku dan Taehyung berada di sekolah yang sama dengan Namjoon, sedangkan Jimin ada di sekolah yang lain. Setiap hari aku pergi dan pulang bersama Taehyung. Kalau ia masih berlatih, aku akan menunggunya di pinggir lapangan. Selain itu—aku akui—Taehyung bertambah tampan. Penggemarnya ada dimana-mana.

Taehyung jaman sekolah menengah atas adalah idola kaum hawa. Meskipun akademiknya agak bobrok, tapi kuakui permainannya dalam mengolah bola dilapangan sangatlah mengagumkan. Nyaris semua cabang olahraga dikuasainya. Aku saja sampai bosan tiap sore hari melihatnya berlatih di lapangan. Setiap senin basket, selasa rabu futsal, kamis voli dan jumat ia menjadi berlatih mengibarkan bendera. Ya, Taehyung adalah salah satu anggota pasukan pengibar bendera di sekolah.


Dan di tingkat sekolah menengah atas pula, aku dan Taehyung mulai merasakan apa itu jatuh cinta.



Hati memang tidak bisa dibohongi. Setiap hari bersama Taehyung membuatku jatuh padanya. Melihatnya di lapangan bercucuran keringat membuatku gila. Wajah tampannya selalu menarik perhatian mataku untuk selalu menatapnya. Hal inilah yang membuatku bertahan. Bertahan untuk selalu menunggunya di pinggir lapangan untuk pulang bersama.

Sebut saja aku serakah akan Taehyung, tapi aku hanya berusaha untuk selalu bersamanya. Seisi sekolah pun tahu kalau aku selalu bersama Taehyung. Mulai dari berangkat sekolah, ke kantin hingga pulang sekolah. Orang-orang sering mengambil kesimpulan kalau aku adalah kekasih Taehyung. Gadis-gadis yang selalu meneriakkan namanya saat ada pertandingan antar sekolah pun ciut untuk mendekati Taehyung karena aku.



Tapi, ada satu hal yang semua orang tidak tahu. Yaitu bahwa aku bukanlah pilihan Taehyung—dan tidak pernah jadi pilihan di hatinya.

****

vote and comment please ;)

ʟᴀ ᴅᴏᴜʟᴇᴜʀ ᴇxǫᴜɪsᴇ ● taekookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang