BAB 1

9.6K 464 24
                                    

2013

Aira Talitha, nama perempuan berambut lurus dengan mata yang tidak pernah lepas dari novel di tangannya sejak satu jam yang lalu sambil ditemani teh hangat dan musik akustik dari band kafe ditambah suara rintikan hujan yang sayup terdengar. Aira membaca cukup khidmat, sesekali ia akan tersenyum sendiri, dan sesekali ia akan tertawa kalau ada yang lucu dari perkacapan antar tokoh yang ia baca.

Aira memuja hujan dan kalau sedang hujan ia sering melakukan hal-hal yang membuat ia senang, seperti bermalas-malasan di tempat tidur, atau menghabiskan waktu dengan membaca novel. Karena Aira sedang tidak di rumah, maka ia akan memilih opsi pertama dan kafe Pelangi adalah tempat yang paling pas untuk menemaninya menikmati hujan bersama dengan novel.

"Di sini lo rupanya."

Aira mengangkat kepala dari novel dan menemukan teman sepopoknya berdiri di depannya dengan wajah bete.

"Gesang, kok bisa tahu gue di sini?" tanya Aira. Tadi mereka tidak pulang sekolah bersama karena hari ini adalah hari kamis dan Aira harus pergi ke Kamis untuk mengembalikkan novel yang ia pinjam minggu lalu dan juga untuk meminjam novel yang baru untuk satu minggu ke depan.

"Tau lah! Gue kan selalu tahu tentang elo," jawab teman sepopok Aira—Gesang Pramudya Radhinka. Gesang menarik kursi dan duduk di depan Aira.

"Benar juga ya. Elo selalu tahu tentang gue," gumam Aira dan ia benar-benar merasa bodoh sudah bertanya seperti itu tadi.

Aira harusnya tahu kalau Gesang—teman sepopoknya—selalu tahu apa pun tentang dirinya, kecuali tentang kecelakaan yang merengut ingatannya dua tahun lalu.

"Elo kok main kabur aja sih? Kan udah gue bilang tunggu bentar."

"Abis tunggu elo lama!" balas Aira. "Mending gue di sini baca novel dan menikmati hujan."

"Tetap aja, kalau elo enggak mau nunggu atau mau meninggalkan gue, minimal elo sms gue. Kayak tinggal di zaman batu aja deh," gerutu Gesang karena kesal. "Gue kan khawatir kalau elo tiba-tiba menghilang kayak tadi. Kalau diculik, gimana?"

Aira memutar matanya. "Plis deh, Gesang. Gue bentar lagi mau delapan belas tahun. Siapa yang mau culik gue?"

"Plis juga deh, Aira," Gesang meniru kata-kata Aira. "Udah delapan belas tahun pun, lo masih sahabat gue dan gue tetap akan menjaga elo."

Aira memutar matanya kembali. Menurut Aira, Gesang suka terlalu berlebihan mengkhawatirkannya.

"Aira Talitha, gue serius! Kalau lo sampai hilang, gue bakal digantung bokap lo," kata Gesang tidak ingin dibantah.

"Tapi, elo selalu berhasil menemukan gue 'kan?"

"Elo selalu menemukan gue kemana pun gue pergi," tambah Aira. "Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena elo akan selalu menemukan gue."

"...."

"Ayolah, Ge! Jangan berlebihan."

"Gue memang selalu berhasil menemukan elo, dulu dan sekarang, tapi belum tentu nanti. Jadi, plis, kasih tahu gue saja?"

Sejak Anna—ibu Aira—meninggal sepuluh menit setelah melahirkannya, Aira hanya punya Faisal—ayahnya—sebagai keluarga, namun ia sangat beruntung karena keluarga Radhinka—keluarga Gesang—mau mengurus Aira kecil saat Faisal harus keluarga kota karena pekerjaan.

Orang tua Anna dan Faisal—keduanya—sudah meninggal dan mereka hanya anak tunggal dalam keluarga. Jadi, memang tidak ada kelurga yang bisa diminta bantuan untuk mengurus Aira kecil, hanya ada Vera dan Wisnu—orang tua Gesang.

Keluarga Radhinka sudah seperti keluarganya, Aira bahkan memanggil ibu Gesang dengan sebutan Bunda. Sama seperti Gesang memanggil ibunya.

Dalam hidupnya, Aira hanya punya Faisal, Vera, Wisnu, dan Gesang sejak ia kecil. Karena hanya punya mereka, sudah seharusnya Aira selalu mendengar perintah Gesang—teman sepopoknya yang sekarang telah menjelma sebagai pelindungnya.

Hello, Rain!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang