BAB 3

3.9K 279 14
                                    

"Tunggu, jangan keluar dulu!" sergah Gesang saat Aira hendak membuka pintu mobil.

Aira menatap Gesang bingung, tapi Gesang hanya diam dan dengan telujuknya ia memerintah agar Aira tetap duduk manis di tempatnya. Aira ingin bertanya kenapa, tapi Gesang sudah terlebih dahulu turun.

Dari dalam mobil, Aira melihat kalau Gesang berlari menerobos hujan hanya dengan mengandalkan tangan sebagai penutup kepala—tentu saja itu tidak bisa mencegah hujan membasahi bajunya—menuju rumahnya. Tadi saat mereka kelurga dari kefe Pelangi hujan memang sudah berhenti, tapi di tengah perjalanan hujan kembali turun.

Ketika sampai di depan pintu rumah Aira, Gesang menekan bel beberapa kali hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok pria matang yang umurnya hampir berkepala lima. Pria matang yang merupakan Ayah Aira itu dan Gesang terlibat percakapan sebentar, sebelum ia masuk ke dalam rumah dan kembali beberapa detik kemudian dengan payung di tangannya, lalu menyerahkannya pada Gesang.

Gesang menghampiri Aira dan ia menggunakan payung itu untuk memayungi Aira. Aira yang melihat itu hanya bisa memutar mata jengah. Aira memang sangat lemah dalam hal sistem pertahanan tubuh dan kalau terkena hujan aja ia bisa langsung sakit, tapi Aira sama sekali tidak keberatan kalau cuma disuruh menerobos hujan yang jarak dari mobil ke rumahnya tidak lebih dari sepuluh meter.

Terkadang Aira sempat berpikir, keprotektifan Gesang kepadanya lebih parah dari sang Ayah. Walaupun begitu, Aira tetap menuruti perintah Gesang. Aira tidak mungkin menolak payung dari Gesang karena Gesang sudah rela kehujanan hanya untuk mengambil payung itu untuknya, lagipula Aira selalu diajarkan untuk selalu menghargai apa yang diberi atau dilakukan orang lain padanya.

Melihat Gesang yang cuma setengah badan terlindungi payung, membuat Aira sedikit marah. "Plis, deh, Ge, sini masuk ke dalam lagi!" kata Aira sambil menarik tangan Gesang dan Gesang menolak.

"Payung lo kecil. Enggak muat berdua," kata Gesang. "Besok gue beliin elo payung yang lebih gede lagi dari ini deh."

"Banyak banget alasan," dengus Aira. "Lo tahu apa yang cocok untuk kita?"

"Apa?"

"Bodyguard dan majikannya." Bukannya tersinggung, Gesang justru tertawa geli, padahal Aira berkata begitu dengan ketus. "Gue rasa lo mulai enggak waras. Gue ngejek lo tahu!"

"Gue tahu, nyonya," balas Gesang dengan menambahkan embel nyonya diakhir kalimat. "Tapi, gue lebih suka dibilang malaikat daripada bodyguard."

Di saat seperti ini bisa-bisanya Gesang bernego tentang analogi yang cocok mengambarkan mereka berdua.

"Terserah elo deh," kata Aira dan ia memilih menyerah.

Kalau menyangkut Aira, Gesang emang tidak bisa dinego dalam hal kelebihan menjaga Aira, bahkan Gesang tidak akan mengizinkan satu tetes hujan pun mengenai baju Aira. Lebay? Gesang memang bisa sangat lebay kalau menyangkut Aira.

"Lagipula kalau elo kena berton-ton liter air hujan pun juga enggak bakal sakit juga. Kalau imun gue sekecil semut, maka imun elo segede gajah," tambah Aira dan ia masih belum bisa mengurangi kejudesannya.

Gesang hanya tersenyum kecil. Selain suka melihat Aira tersenyum, Gesang juga suka kalau Aira kesal karena ulahnya dan mulai judes seperti ini. Kadang Gesang berharap kejudesan Aira ini berarti lebih.

Perdebatan kecil mereka terhenti saat sudah menginjakkan kaki di bagian teras rumah Aira. Ada Faisal di sana dengan badan bersandar pada pintu dan tangan terlipat di depan dada. Aira menghampiri sang Ayah hanya untuk mengambil telapak tangannya untuk dicium. Faisal mengusap kepala Aira dengan sayang.

"Kamu ganti baju dulu, Ge," suruh Faisal saat melihat baju Gesang yang sedikit basah. Walaupun cuma berjalan sekitar sepuluh meter, tapi cukup membuat baju Gesang basah karena hujan yang agak lebat.

Hello, Rain!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang