BAB 25

864 72 0
                                    

Anjani tidak pernah membayangkan akan begini jadinya. Ia hanya butuh keterangan dari Arka untuk tahu dimana keberadaan Arga. Namun, saat ia tahu dimana keberadaan Arga sekarang, rasanya Anjani menjadi menyesal telah berusaha mencari tahu.

Kenyataan memang selalu pahit. Dulu fakta bahwa Arga sudah mencintai orang lain adalah yang tersakit, namun sekarang dipatahkan dengan fakta kematian Arga.

Arga Nugraha

bin

Arman Nugraha

Lahir : 8 Januari 1996

Wafat : 13 Desember 2011

Begitulah yang tertulis di bantu nisan di depannya.

Anjani tidak menangis. Ia menatap batu nisan itu dengan pandangan kosong. Banyak emosi yang terpendam di dalam diri Anjani. Jika Anjani mengeluarkannya, maka sudah pasti ia akan menjadi orang gila saat ini. Untuk itu Anjani berusaha keras mengontrolnya.

Arka yang berdiri di samping Anjani juga tidak tahu harus bagaimana. Satu-satunya cara yang ia tahu adalah dengan memberi kekuatan pada Anjani dengan mengusap punggungnya. Anjani langsung saja bersadar pada Arka saat Arka melakukam itu. Ia memang butuh tompangan saat ini. Anjani tidak menangis, bukan berarti hantinya tidak hancur.

"Gue ingin membenci dia, tapi gue enggak bisa," kata Anjani lirih. Arka terus mengusap punggung Anjani yang ada dalam pelukannya. "Lo boleh bilang gue jahat. Tapi, sekarang gue senang, akhirnya untuk pertama kalinya gue menjadi yang pertama untuk Arga. Meski yang pertama itu adalah gue tahu faktanya ia telah tiada."

"Gue juga senang saat tahu Aira lupa ingatan. Akhirnya, gue punya kesempatan buat menyingkirkan Aira dalam hidup Arga. Tapi buat apa semua kesenangan itu, jika pada akhirnya semuanya sia-sia?"

"...."

"Gue sangat jahat 'kan?"

"Bukan elo yang jahat, An, tapi semesta yang jahat sama kita."

***

Ketika Vera masuk ke dalam ruang bernuansa biru itu, Aira masih tidur sambil bergelung di kasurnya. Vera tidak tega membangun Aira, tapi ia harus membangun Aira karena Aira butuh makan supaya bisa meminum obatnya.

Vera meletakkan nampan berisi makan malam yang sudah disiapkannya di atas nakas, lalu mengambil duduk di sisi kasur yang tidak ditiduri Aira. Vera menyentuh dahi Aira dan suhu tubuhnya masih panas, tapi tidak sepanas tadi pagi. Vera memanggil Aira untuk membangunkannya dan tidak butuh waktu satu menit untuk Vera membangunkan Aira.

"Udah jam berapa ini, Bunda?" adalah kalimat yang pertama kali Aira tanyakan pada Vera ketika ia membuka mata.

"Sudah jam delapan," jawab Vera.

"Loh, sudah malam ya?"

Aira menoleh ke jendela dan ia dapat melihat kalau langit di luar sana sudah gelap.

"Tidak ada yang menjenguk Aira saat Aira tidur tadi, Bun?"

"Tidak ada. Memang ada yang kamu tunggu?"

Aira tidak mungkin salah membaca pesan Arka. Jelas-jelas Arka bilang mau menjenguknya ketika pulang sekolah. Jadi, kenapa Arka membatalkan niatnya?

"Memang ada yang kamu tunggu?" Vera mengulangi pertanyaannya.

Aira memilih untuk mengelengkan kepalanya. Vera belum tahu tentang Arka dan Aira lagi tidak berkeinginan menceritakan hubungannya dengan Arka pada Vera dalam keadaan seperti ini.

"Gesang mana, Bun?" Aira mengalihkan pembicaraan.

"Keluar, beli makan."

"Sayang Gesang. Gara-gara Aira sakit bunda jadi harus masak bubur. Gesang kan paling tidak suka makan bubur," kata Aira sambil membetulkan posisi duduknya supaya nyaman. Vera juga ikut membantunya.

Hello, Rain!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang