Kutu Unta and Raja Dugong

161 17 0
                                    

Sinar matahari pagi bersinar begitu cerah. Burung-burung berkicauan. Padatnya kendaraan di jalanan ibu kota, ternyata tidak menyurutkan semangat orang-orang untuk keluar rumah. Begitu juga aku. Melangkahkan kaki keluar rumah menuju kampus tercinta, menghirup udara segar, menyambut hari baru untuk membuka awal kisah yang baru.

Aku Ziyyana Winata, mungkin kalian sudah tidak asing lagi saat mendengar namaku. Cewek cantik kembarannya Ariana Grande. Mahasiswa semester tiga jurusan Seni di Garuda University. Silakan tanya semua orang, tanyakan saja. Aku yakin, jika ditanya 'kenal dengan Ziyya?' Pasti jawaban mereka adalah YA. Because aku memang se-famous itu.

“Zi??”

Dia Aul, sahabat seperjuangan, sepernasiban dan seperadaban. Kenal dia saat masa penjajahan modern sampai sekarang. Cantik, sabar, setia. Terbaik memang.

“Ada apa fans?”

“Tugas lele berkumis, udah?”

Fyi, Lele berkumis adalah sebutan untuk salah satu dosen yang katanya killer di jurusanku. Sebenarnya, nama aslinya itu William Fransisco. Bagus, bukan, namanya? Kebarat-baratan, meski dalam darahnya hanya mengalir suku Sunda dan Jawa. Tidak ada darah keturunan Inggris, Amerika, Spanyol apalagi Yunani.

Satu hal yang harus kalian tahu, wajahnya tidak sebagus namanya. Hey, ini bukan hanya asumsiku sebagai satu diantara banyaknya mahasiswa seni yang tidak menyukai beliau, tapi jika kalian sudah melihatnya secara langsung, pasti kalian akan sependapat denganku. Badan kurus kerempeng, kacamata tebal, dan kumis panjangnya tersusun rapi seperti sudah di-rebonding. Hah sudahlah, untuk apa aku ceritakan lele berkumis? Tidak penting.

“Ya belum lah, Ul. Kamu kan tau sendiri, kalau soal teori, aku tuh agak lambat, walaupun prakteknya juga sih.”

Bahkan aku baru menyadari, untuk apa aku kuliah, jika sampai sekarang sudah semester tiga, namun materi yang dipelajari tidak ada satupun yang nempel di otak? Untuk apa kuliah aku tanya?

“Pinter banget sih kamu, Zi?”

“Aku anggap itu pujian.”

“Terserah,”

Aku tersenyum ketika melihat ekspresi kesal Aul, karena entah kenapa, membuat Aul kesal sepertinya sudah menjadi hobi untukku. Tak apa lah ya, selagi bisa nyenengin diri sendiri. Iya, kan?

“Ga usah kerajinan deh, Ul. Si bapanya juga ga akan masuk, percaya sama Ziyya.” Kataku dengan PD-nya. Namun hanya sesaat. Karena sesaat setelahnya, terdengar suara deheman dari arah belakangku. Ketika aku berbalik, ternyata lele berkumis sudah ada di sana.

Mampus!!

“Itulah kenapa percaya sama kamu itu musyrik, Zi.”

***

Tiga sks terasa seperti sepuluh sks!! Padahal AC di setiap sisi sudah terpasang, namun udara di dalam ruangan terasa lebih panas daripada sauna. Mungkin efek diadakannya kuis dadakan kali, ya? Ditambah dengan lempar-lemparan pertanyaan secara random. Matilah aku jika namaku yang dipanggil. Mau jawab apa aku nanti? Sedangkan catatan pun aku tidak punya?

“Cuma tinggal tiga menit juga lamanya minta ampun dah.” Gumamku sambil terus berdoa dalam hati, semoga namaku tidak terpanggil. Ya, semoga.

“Ya, mungkin cukup sekian untuk pertemuan kali ini. Jangan lupa pelajari lagi materi untuk minggu depan. Terima kasih atas perhatiannya. Selamat siang.”

Aku bernapas lega ketika Lele berkumis itu keluar kelas. Syukurlah, kataku dalam hati.

“Eh Zi, aku mau ke perpus dulu, ya. Kamu duluan aja ke kantin. Nanti aku nyusul.”

SHATTERED Where stories live. Discover now