Who is She?

71 12 0
                                    

Alfa ternyata memang se-serius itu dengan perkataannya. Kupikir perkataannya waktu di rumahnya tadi siang hanya bualan belaka, tapi ternyata bukan. Alfa serius, itu yang kutahu.

Setelah menyaksikan senja kemarin sore, Alfa langsung mengantarkanku pulang. Alfa bahkan meminta izin untuk menginap di rumahku. Jika takut Alfa berbuat macam-macam kepadaku, bila perlu dirinya akan membawa tempat tidurnya ke kamarku. Begitu katanya saat meminta izin pada ayah.

Aku sempat tidak percaya ketika dengan senang hati ayah mengizinkan Alfa untuk menginap di kamarku. Bahkan ayah mengatakan sesuatu yang sanggup membuat aku shocked mendengarnya. Berbuat macam-macam juga gapapa, Fa, paling nanti langsung ayah nikahin. Malah bagus, dengan begitu ayah akan lebih cepat dapet cucu. Begitu katanya.

Morning.”

Aku terperanjat. Lihatlah bagaimana kelakuannya. Di waktu sepagi ini, bahkan matahari pun belum menampakkan sinarnya, tapi Alfa sudah membuat jantungku berolahraga, karena melihat wajah tampannya yang entah mengapa sekarang menjadi semakin tampan?

Aku diam, tidak membalas sapaannya. Kuubah posisiku menjadi duduk menghadap jendela, sedangkan Alfa masih di tempat yang sama seperti saat dia tidur tadi malam, sofa yang ditarik mendekat ke samping tempat tidur.

“Jadi begini, ya, rasanya nginep di rumah calon mertua??” Kontan aku menoleh, tapi ternyata Alfa sudah mengambil posisi duduk di sampingku.

“Kamu tau, Ya? Aku selalu berdoa, supaya hanya wajah kamu yang aku lihat pertama kali ketika pagi tiba. Kamu begitu juga, ga?” Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, lalu dengan lembut tangannya mengusap rambutku. Nyaman rasanya.

“Iya, malah aku selalu berdoa supaya aku bisa terus deket sama kamu. Tapi ternyata Tuhan nggak bisa ngabulin doa aku yang satu itu.” Kataku.

“Ya?” Aku bergumam.

“Jangan bilang kaya gitu dong, aku jadi ngerasa apa yang udah aku pilih ternyata itu pilihan yang salah.”

“Kenapa?”

“Karena apa yang udah aku pilih, ternyata nggak bisa buat kamu bahagia. Apa aku batalin aja keberangkatannya??” Aku langsung menegakkan tubuhku menghadapnya.

“Janji sama aku, jangan pernah kamu batalin keberangkatan kamu ke sana. Aku tau itu impian kamu sejak dulu. Aku nggak mau jadi alasan yang menghambat cita-cita kamu. Jangan buat aku jadi orang jahat, Fa. Janji sama aku.” Kataku sambil menggenggam tangannya.

“Tapi kamu nggak bahagia dengan pilihan yang aku ambil, Ya. Lebih baik aku kehilangan kesempatan daripada aku harus melihat kamu sedih.”

“Berarti kamu bodoh, Fa. Mengorbankan cita-cita hanya demi aku?”

“Justru aku akan menjadi manusia paling bodoh kalau ngebiarin kamu sedih terus menerus, Ya.”

Aku menghela napas. Susah memang jika berbicara dengan Alfa.

“Terserah.” Kataku pada akhirnya.

“Aku serius dengan perkataanku, Ya. Sekarang aku tanya sama kamu, lebih baik aku terima beasiswa itu dan minggu depan aku pergi ke Aussie, dan itu artinya aku harus pergi ninggalin kamu, atau aku tetap kuliah di sini aja biar bisa terus ada di samping kamu?”

“Pergi, Fa. Aku nggak mau jadi cewek egois.”

“Oke.”

***

Setelah bersiap, aku dan Alfa keluar menuju ruang makan. Di sana sudah ada ayah dan juga bunda. Aku duduk di kursi samping bunda, sedangkan Alfa duduk di kursi samping ayah.

SHATTERED Where stories live. Discover now