WTF?!

55 11 0
                                    

Pagi ini aku sudah siap dengan celana hitam panjang dan sweater turtle neck tanpa lengan berwarna marun, dilapisi dengan jaket denim milik Alfa yang sudah berganti hak milik atas namaku. Tas kecil di punggung dan dua buku tebal yang ada dalam genggamanku. Aku siap untuk pergi ke kampus.

“Selamat pagi ayah.. selamat pagi bunda..” Sapaku saat tiba di ruang makan.

“Pagi kesayangannya ayah.. coba mana ayah lihat cincinnya. Tuh kan, bun, ayah bilang juga apa, kawinkan saja mereka.” Kata ayah sambil menarik jari tanganku hanya untuk melihat cincin yang kupakai dari Alfa.

“Nikah yah, nikah, bukan kawin.” Koreksiku.

“Sama aja udah, lagipula menikah kan tujuannya juga untuk kawin, supaya halal. Iya nggak, bun.”

Ayah tertawa, sementara bunda hanya tersenyum menanggapinya. Lain halnya dengan aku yang merasakan sensasi panas yang menjalar di pipiku. Astaga. Jika menyangkut masalah ini, kenapa ayah begitu bersemangat???

“Selamat pagi bunda dan calon ayah mertua.”

Aku, bunda dan ayah menoleh pada seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingku. Alfa. memangnya siapa lagi?

“Selamat pagi juga wahai calon menantu durjana. Melamar kok nggak bilang-bilang. Pokoknya ayah nggak mau tau, harus ada lamaran season dua. Titik.”

Alfa terkekeh ketika mendengar perkataan ayah barusan. Memang ya, ayah dan Alfa, tidak tahu mengapa mereka begitu klop untuk jadi menantu dan mertua. Maksudku, ayah tidak pernah bersikap seperti ini jika menyangkut teman laki-laki yang dekat denganku, tapi jika dengan Alfa? kalian lihat sendiri bagaimana respon ayah, bukan?

“Aku sih siap siap aja, yah. Tapi Ziyya katanya mau langsung ijab qabul.” Ucap Alfa yang langsung aku hadiahi cubitan kecil di pinggangnya sampai dia mengaduh kesakitan. Sukurin!

“Malah bagus, ayah dukung, Fa.”

Ayah dan Alfa tertawa, melanjutkan obrolan mereka yang seputar pernikahan dan sebagainya. Sementara aku sedang mencoba menulikan telingaku dari itu.

“Hey sudah sudah, kalian ini, kenapa ngobrol terus?” ucap bunda yang membuat percakapan antara ayah dan Alfa berhenti.

***

07.40 wib

Kami tiba di parkiran kampus. Aku segera melompat dari atas motornya Alfa.

“Eh kutu unta! Pelan-pelan!” omelnya. Tapi aku malah nyengir.

Jadi teringat saat-saat aku dan Alfa masih sering berdebat, yang kalau kata orang sih sering disebut debat kusir, karena perdebatan kami memang tidak ada faedahnya sama sekali. Lucu juga sih kalau ingat masa itu.

“Eh raja dugong,” Alfa menyahut.

“Nanti sepulang aku kuliah, anterin aku ke toko buku mau, nggak? Tapi kalau nggak mau juga.. aku bakal tetep maksa kamu supaya mau anterin aku ehehe.” Kataku dengan nada seimut mungkin. Tapi faktanya aku memang seimut itu.

“Siap, kutu unta kesayanganku.” Kata Alfa sambil mengacak rambutku.

“Ya udah sana cepet ke kelas, bentar lagi masuk loh.” Tambahnya.

“Beda lah yang udah nggak ada kelas.” Kataku.

“Woyajelas dong. Udah sana, aku mau balik. Mau bobo ganteng lagi.”

“Ish nyebelin!”

Alfa turun dari motor, kemudian meraih jemariku. Menggenggamnya erat.

“Jangan cemberut gitu ah, makin jelek kan jadinya.” Syalan..

SHATTERED Where stories live. Discover now