Abnormal

119 10 7
                                    

Sudah berapa banyak pria yang menyentuhmu?

Kalimat itu terus terngiang di kepalaku. Merajut rasa sakit setiap kali kalimat itu terputar tanpa jeda. Menyesakkan. Memangnya dia ini siapa?? Dia hanya orang baru, yang bahkan kehadirannya pun tidak pernah aku harapkan. Tetapi kenapa dia sampai berani mempertanyakan hal itu padaku. Memangnya dia pikir aku ini wanita seperti apa??

Kalian tau rasanya di-judge negatif oleh orang yang baru kalian kenal? Mungkin responku tidak akan menangis berkepanjangan seperti ini jika yang menjudgeku seperti itu adalah Asa. Tetapi ini bukan Asa, melainkan seseorang yang bahkan aku berharap dapat melupakan namanya. Entahlah, memang kalimat itu terdengar menyakitkan, ataukah aku yang terlalu berlebihan menanggapinya?

Tok tok tok

Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Pasti itu kak Dimas yang hendak memberikan pesanan makanan untukku. Tetapi aku terlalu enggan untuk beranjak dari tempat tidur, dan bahkan untuk sekedar menghapus jejak air mata yang tercetak jelas di pipiku.

“Zi? Kamu di dalam? Ini pesanan kamu.”

Tebakanku benar, kan?? Dia, kak Dimas.

“Ziyya???”
“Ziyyana Winata.. Keluar sekarang atau makanannya kakak habiskan.”
“Zi??? Jadi ini buat kak Dimas, nih?”
“Zi???”
“Ziyya Ziyya Ziyya Ziyy-.”

Aku tidak tahan mendengar suaranya yang begitu mengganggu. Lantas aku menyelanya dengan teriakan delapan oktav-ku yang kalau kata Alfa, suaraku mampu menjadikan alarm satu kelurahan.

“BERISIK!!!”

Aku bangkit dan mengusap kasar wajahku. Kubuka pintu, dan nampaklah sebuah cengiran lebar kak Dimas yang kulihat pertama kali. Namun cengiran lebar itu mendadak luntur.

“Loh, Zi, kamu habis nangis? Kenapa?”

“Tanya aja sama temennya kak Dimas!” kataku sambil mengambil bungkusan yang ada di tangan kak Dimas.

BRAKK

Pintu tertutup dan aku bersiap untuk makan. Menangis terus menerus, ternyata dapat mengakibatkan kelaparan yang haqiqi. Meski kesal dengan orang itu, tapi tetap saja aku harus makan, bukan???

Satu porsi ayam geprek dengan sambal di atasnya, membuatku ngiler. Tak sabar aku ingin mentransfer makanan di hadapanku kepada para penghuni di dalam perutku. Namun saat aku hendak memasukkan suapan pertama, terdengar suara teriakan kak Dimas yang ternyata mampu membuat bulu kudukku merinding.

Teriakannya lebih seram daripada teriakan guru killer-ku saat sma!

“ANJ*NG!! KENAPA LO MALAH BUAT ADIK GUE NANGIS, HUH?!?!”

Dalam hati aku penasaran, akan seperti apa reaksinya saat mendengar kak Dimas berteriak di depan wajahnya. Jika saja ini sinetron, sudah pasti ada suara petir yang mengiringinya. Omelin aja terus, kak, biar mampus sekalian!

***

Keesokan paginya aku bersiap untuk pergi ke kampus. Tanpa pamit, aku pergi begitu saja. Kulihat wajah ayah dan juga bunda yang bingung atas sikapku. Mereka berteriak memanggil namaku, namun tidak dengan kak Dimas. Dia berlari menyusulku.

Aku tiba di garasi, berniat untuk mengeluarkan sepeda kesayanganku, lalu kupakai untuk pergi ke kampus. Sudah lama juga aku tidak mengendarainya. Melihatnya, aku jadi teringat pada Alfa yang tak jarang menemaniku bersepeda berkeliling komplek. Namun ada kak Dimas yang menghalangi jalanku. Dia berdiri di hadapanku, dan berkata,

“Kakak udah kasih Re-.”

“STOP! Aku nggak mau denger namanya. Bye!”

Aku mendorong kak Dimas agar bergeser ke pinggir. Hingga akhirnya aku berhasil keluar dari garasi. Dan setibanya di depan rumah, aku melihat mama Elis yang sedang menyiram tanaman. Kuukir senyum terbaikku, kemudian menyapanya.

SHATTERED Where stories live. Discover now