Pilihan

103 8 15
                                    

.

"Kamu ngapain di sini?!"

Alfa gak menjawab pertanyaan aku. Dia malah genggam tanganku seraya menatapku memohon.

"Aku tau kamu marah sama aku, Ay. Untuk itu aku minta maaf. Kamu boleh pukul aku sepuasnya kalau kamu mau. Tapi tolong, jangan cuekin aku kayak gini, Ay."

Kayaknya Alfa ini manusia yang diciptakan tanpa rasa malu. Kalian bayangin aja sendiri. Minta maaf sambil berlutut di hadapan aku dan ditonton oleh semua teman sekelasku beserta si dosen tengil. Bukankah itu memalukan?

Tapi aku malah melihat reaksi teman-teman aku seperti yang takjub. Mungkin mereka berpikir bahwa tindakan Alfa ini gentleman? Aku gak tau. Dan aku gak mau tau.

"Ay?"

Aku bangkit dan kutarik dia keluar.

"Kamu diem di sini. Kita bicara lagi nanti."

*

Hening

Tak ada seorang pun yang bersuara. Seolah semua ucapan mereka teredam oleh dua pasang mata yang kini saling memandang.

Aku dan Alfa.

Setelah selesai perkuliahan, aku langsung menarik Alfa pulang. Dan kalian tau? Hampir semua orang di kampus tau peristiwa saat di kelasku tadi. Lebih parahnya lagi, mereka men'cap'ku sebagai si jahat yang miskin kata maaf.

Sekarang aku dan Alfa sedang duduk di taman belakang rumahku. Berhadapan dan saling menatap, tanpa ada yang mau berbicara.

Sampai akhirnya..

"Sampai kapan kita diem-dieman kaya gini, Ay?" Tanyanya.

Aku diam

"Ay??"

Aku berdiri, berniat untuk pergi dari hadapan Alfa. Karena semakin lama aku menatap matanya, semakin sering pula bayangan itu menyakitiku.

"I'm tired." Kataku.

"Kamu gak tau gimana capeknya aku di sini. Nunggu kamu dengan besarnya rasa percaya yang aku punya untuk kamu. Aku di sini nunggu kamu seperti orang bodoh. Menutup mata meski kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi itu nyata."

Air mataku menetes tanpa diminta. Kupikir Alfa hanya akan memberikan warna dan tawa di hidupku. Kupikir hanya Gama, seseorang yang mampu mengeluarkan tangisanku, tapi ternyata enggak. Alfa juga.

"Kamu mengikat aku dengan ini," kataku sembari menunjukkan cincin yang masih melingkar manis di jariku. "Supaya semua orang tau kalau aku milik kamu. Tapi aku lupa, ini hanya sebuah benda. Kalau suatu saat benda ini terlepas dari tanganku, apa aku ini masih bisa jadi milik kamu?"

"Ay-"

"Aku capek, Fa." Selaku. "Kamu bilang, kepercayaan satu sama lain adalah kunci sukses menjalin suatu hubungan. Untuk itu aku percaya kamu bisa menjaga hati kamu untuk aku. Bahkan sampai aku memaksa. Tapi, lagi lagi aku lupa, hati seseorang itu enggak bisa diprediksi. Enggak bisa dipaksa."

Aku mendongak untuk menatapnya. Tangannya hendak meraihku, tapi aku menghindar. Kuusap sendiri air mataku.

"Kamu bilang, jarak bukan penghalang untuk cinta kita. Mungkin itu benar, dan aku percaya. Tapi, aku selalu lupa, faktor renggangnya suatu hubungan bukan cuma satu." Jeda sebentar.

"Aku enggak bisa maksa hati kamu buat aku seutuhnya. Kamu bebas memilih apa yang hati kamu mau. Aku capek, Fa. Hati aku bukan baja. Aku enggak sekuat itu. Lihat kamu sama cewek lain rasanya itu menyakitkan. Mungkin aku egois, tapi emang itu kenyataannya. Aku enggak suka kamu dekat sama Kirei. Aku cemburu, Fa."

Alfa meraih tubuhku untuk kembali duduk.

"Aku enggak tau ada hubungan apa di antara kamu sama Kirei. Sekalipun di antara kalian memang ada hubungan, aku gapapa. Tapi aku maunya kamu jujur. Kalau kamu emang udah mau semuanya selesai, yaudah aku ikhlas. Karena aku percaya, rencana Tuhan pasti lebih indah."

Setelah aku selesai berbicara, aku diam. Masih dengan isak tangis. Begitu pula Alfa. Dia gak bersuara. Dia cuma menatapku seraya mengusap lembut air mata di pipiku. Sampai akhirnya..

"Sekarang giliran aku yang bicara." Katanya.

Aku menatap matanya. Membayangkan, jika memang semuanya harus berakhir di sini. Tanpanya, apa aku bisa menjalani hidup seperti biasa?

Alfa menggenggam tanganku dan mengusap cincin yang melingkar di jemariku.

"Ini memang cuma benda. Gak berharga. Cuma sekedar formalitas."

See?? Alfa sendiri yang bilang kalau cincin ini cuma sebuah benda yang gak berharga.

"Karena bahagia utamaku cuma kamu. Mau cincin itu terlepas ataupun enggak, semuanya gak akan pernah berubah. Kamu tetap Ziyya-nya Alfa, bukan yang lain."

Aku diam

"Terima kasih karena kamu udah percaya sama aku sebegitu besarnya. Dan yang harus kamu tau, aku menganggap Kirei itu gak lebih dari sekedar teman."

"Apa teman ada yang bilang I love you ke temannya?"

"Di sana hal seperti itu udah bia-"

"Tapi enggak buat aku!"

Aku bangkit. Kalau udah begini, aku lebih baik pergi ke kamar.

"Aku udah capek, Fa. Ak-"

"Kalau boleh jujur, aku juga sama. Kamu cemburu lihat aku dekat dengan Kirei, tapi apa kamu tau? Aku juga cemburu lihat kamu kembali dekat sama Gama."

DEG

"Aku tau semuanya, Ay. Apa kamu pikir aku enggak cemburu?"

"Gama itu cuma masa lalu aku, Fa. Kamu juga tau itu!"

"Iya aku tau."

"Terus kenapa kamu malah bahas Gama?"

"Enggak, aku cuma baru nyadar aja. Ternyata, kita belum sepenuhnya percaya satu sama lain. Kita masih sama-sama takut. Kamu takut aku berpaling pada orang baru, dan aku takut kamu berpaling pada masa lalu. Lucu."

Apa yang lucu coba? Aneh.

"Berat sebenernya, ninggalin kamu di sini sementara aku jauh di sana."

Terus kenapa pergi???

"Aku cuma manusia biasa yang masih sangat jauh dari kata sempurna. Aku bukan Tuhan yang bisa melakukan apapun. Aku enggak bisa maksa kamu untuk tetap bersamaku, apalagi kalau situasinya udah kaya gini." Alfa tertawa hambar.

"Sekarang aku serahin semuanya sama kamu. Kalau emang pisah jadi pilihan yang terbaik buat kamu, aku ikhlas. Karena yang aku mau, kamu bahagia. Itu aja. Karena percuma, kalau aku memaksa kamu tetap sama aku tapi kamunya gak bahagia, buat apa?"

Ingin rasanya aku tertawa. Melihat hubunganku dengan Alfa udah ada di depan gerbang kehancuran.

"Bertahan atau selesai?"









































Ahhh aku gak ngerti lagi deh. Masa semudah itu nyerah sih, Fa? Mana perjuangannya??? Hihihi

Tadinya aku mau update dua hari lalu, tapi akunya lagi enggak dalam keadaan sehat:(

Maapin yaakkkk kalo gak ngefeel😆

Vote and comment jangan lupa.

Lopyu gaezzz😚😚😚

Best Regards,
writerimagination.

SHATTERED Where stories live. Discover now