Aussie? Really?

82 11 1
                                    

Garuda University, 7.55 wib

Kelas Seni memang terkesan berantakkan. Abstrak. Apalagi jika sudah memasuki musim praktek. Tidak ada yang namanya kursi berjajar rapi, ruangan bersih, dan lantai yang bening berkilau. Karena pada kenyataannya, kelas seni selalu memiliki estetikanya tersendiri dalam pengelolaan kelas. Kursi-kursi berada di mana-mana, tergantung seseorang mau duduknya di mana, ruangan dipenuhi kanvas dan alat-alat lukis lainnya, sedangkan lantai sudah dipenuhi oleh cat yang berceceran.

“Anj*ng!! baju gue kena cat lo, kunyuk!!”

See? Lihat sendiri bagaimana mahasiswa seni belajar. Tidak ada keindahan bahasa, yang ada malah membuat ruang kelas ini terkesan seperti kebun binatang. Seperti Dito contohnya, ketua tingkat yang sampai saat ini masih menjabat, tiga periode berturut-turut.

“Maap anj*ng!! Tangan gue kesenggol sama si kutu kupret Beno!” balas Ardi berteriak.

“Ayemsori anj*ng-anj*ngku, ananda tidak sengaja.” Kata Beno dengan santainya.

“Beno kamvret!!”

Ya seperti itulah suasana kelas seni jika sedang praktek.

Aku kembali fokus pada kanvas di hadapanku. Masih kosong rupanya.

“Kamu bikin apa, Zi?” tanya Aul yang sedari tadi melukis di sampingku. Seperti tidak terganggu oleh suara rusuh Dito dkk. Tenang.

“Nggak tau, Ul. Pusing. Nyari ide dari tadi nggak muncul-muncul. Heran.” Kataku.

“Bebas, kan? Kenapa dibuat pusing? Buat aja apa yang ingin kamu buat.” Aku menghembuskan napas lelah. Aul bisa bicara begitu karena Seni memang passionnya, sedangkan aku? Not yet.

“Justru itu, Ul, sekarang aku lagi nggak mau buat apa-apa.”

“Aku ada beberapa contoh lukisan nih, sederhana, itu juga kalau kamu mau.”

“Sederhana versimu seperti apa, Ul?”

You know lah, Zi.”

Dan waktu pun berlalu begitu cepat. Entah gambar apa yang aku lukis, karena yang aku tahu, lukisanku selesai dan sudah dinilai, walau catnya masih belum kering. Mr. Gusti memang hobinya membuat mahasiswanya berada di situasi underpressure.

***

“Lemes banget sih?” ucap Alfa sambil mengacak rambutku ketika aku baru saja keluar kelas. Sepertinya Alfa sudah dari tadi berada di luar sini. Pikirku.

“Tau sendiri mr. Gusti hobinya ngerjain mahasiswanya.”

“Ngerjain gimana?”

Forget it. Sekarang kita mau ke mana? Nggak mungkin mau langsung pulang, kan?”

Alfa tersenyum, dan aku yakin, sangat yakin malah, kalau di balik senyumannya itu tersimpan sebuah rencana yang dia rahasiakan dariku. Lantas aku mencubit lengannya –cukup keras- sampai dia mengaduh kesakitan.

“Nggak usah sok misterius deh, Fa.”

“Nanti juga kamu akan tahu sendiri, yuk ah.”

Aku menatap punggung Alfa yang mendahuluiku. Langkah lebarnya dengan cepat mengantarkan dia ke lobby gedung utama, sedangkan aku masih berada di koridor gedung seni. Aku berdecak sebal. Ada ya pacar seperti Alfa? masa iya ceweknya ditinggalin di belakang???

“Eh kutu unta?? Kenapa berdiri di situ? Sini cepetan.” Katanya.

“Sabar sih,” kataku.

“Biasa juga loncat-loncat kayak kutu, sekarang jalan aja lelet banget macam siput. Apa perlu aku tarik pake magnet?”

SHATTERED Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin