Senja

61 14 0
                                    

Sempat tidak percaya dengan pesan yang kubaca tadi, tetapi penjelasan dari mama Elis mampu membuat aku percaya bahwa ternyata Asa bisa juga seserius itu. Dan yang tidak aku percaya adalah, jika iya Alfa akan pergi ke Aussie, lalu kenapa dia tidak memberitahukan kepadaku lebih awal?

“Mungkin Alfa cari waktu yang tepat untuk kasih tahu ke kamunya, Zi.”

Waktu yang tepat?? Kapan?? Sehari sebelum dia berangkat?? Atau saat dia sudah ada di Aussie baru dia kasih tahu aku??

“Ya sudah, kalau begitu mama mau ke dapur dulu, ya? Pekerjaan mama ditinggal tadi karena denger teriakan kamu.” Aku hanya mengangguk, dan memang ya tadi aku berteriak karena kesal dan juga terkejut.

Kesal sampai air mata pun tak mampu kubendung. Hingga akhirnya aku hanya bisa menangis sambil memeluk guling.

Cklek

Pintu terbuka dan nampaklah seseorang yang menjadi alasanku menangis saat ini. Siapa lagi kalau bukan Alfa? dengan cengiran menyebalkannya dia mendekatiku. Sepertinya mama Elis sudah memberitahu Alfa bahwa dia sudah menceritakan semuanya kepadaku.

“Maapin yaakk.” Aku memalingkan wajah. Sebal melihat wajahnya.

“Dih, jangan ngambek dong. Tuh lihat muka udah kayak jemuran belum kering.”

“Bodo!”

Tidak ada yang berbicara setelah itu, baik aku maupun Alfa. Hanya terdengar suara tangisku, sedangkan Alfa hanya duduk diam di pinggiran tempat tidur sambil terus menatapku. Sampai akhirnya..

“Eh kutu unta, jangan nangis terus, makin jelek itu muka. Eh tapi gapapa sih, biar gaada yang godain kamu pas aku nggak ada di sini.” Syalan!! Masih aja bilang aku kutu unta!

“Alfa ih jangan ketawa, nggak ada yang lucu, tau?!”

Kuusap air mata yang mengalir di pipiku dengan kasar. Sungguh, aku kesal dengannya.

“Lagian kenapa kamu nangisnya sekarang? Aku kan perginya masih satu minggu lagi.”

Satu minggu katanya?! Dikata satu minggu itu seabad kali, ya?!

“Au ah! Aku kesel sama kamu! Sana pulang!” kataku kesal sambil memukulnya dengan guling yang sedari tadi kupeluk. Salah sendiri menyebalkan.

“Ini kan rumah aku.” Katanya.

Di detik itu juga aku tersadar bahwa aku memang masih berada di rumahnya. Yaampun Ziyya, kenapa kamu jadi bodoh kalau lagi kesal??

“Ya udah aku yang pulang!”

Baru saja aku turun dari tempat tidurnya, dan baru selangkah aku pergi, tangannya mencekal pergelangan tanganku, menarikku hingga aku terjatuh di pangkuannya. Lengan kekarnya melingkari tubuhku begitu erat. Wajahnya menyelusup di tengkukku. Sehingga semua rasa kesal yang tadi memuncak, kini menguap begitu saja.

“Kenapa kamu nggak pernah cerita? Dan parahnya aku malah tahu kabar ini dari Asa, itupun dari group chat kalian. Kenapa, Fa?” tanyaku.

“Tapi kan sekarang kamu udah tau.” Katanya sambil memainkan rambutku.

“Iya tau, satu minggu sebelum keberangkatan kamu.”

“Masih ada satu minggu, Ya. Janji deh, satu minggu ke depan aku akan selalu siap 24 jam buat nemenin kamu ke mana pun.”

“Terus kalau udah satu minggu kamu khususkan untuk aku, setelahnya kamu pergi tinggalin aku? Satu tahun? Dua tahun?”

“Tiga tahun.”

“Nah itu apalagi! Ish makin sebel sama kamu! Tau nggak?!”

Alfa tertawa sambil mengacak rambutku. Kenapa dia selalu saja tertawa? Tidak sadar situasi, kah??

SHATTERED Where stories live. Discover now