Perfect to Me

100 13 0
                                    

Kedai susu murni, 16.25 wib.

“Masih marah nih?”

Aku tak menghiraukan pertanyaan Alfa yang tak berfaedah itu. Sebab aku terlalu fokus pada segelas susu murni yang ada di hadapanku, menyeruput isinya hingga tandas. Lagian siapa suruh panggil aku kutu unta? Tidak adakah panggilan sayang yang lebih bagus dari itu?

Sayang..”

“Najong Alfa, geli ih manggil sayang.”

“Terus aku harus panggil kamu apa? Dipanggil anak sd nggak mau, dipanggil kutu unta pun nggak mau. Emang ya, yang namanya lelaki itu pasti selalu salah kalau di mata perempuan.”

“Lebay.”

“Tuh kan.”

Aku tidak tahan untuk tidak menjambak rambutnya, saat melihat ekspresinya yang sungguh membuat aku gemas sendiri melihatnya. Alfa memang semenyebalkan itu, dan sayangnya, aku memang sesayang itu padanya.

“Aku nggak marah, raja dugongku..”

“Aww sakit, Ya.. sadis nih, mainannya jambak-jambakkan.”

“Biarin.”

Setelah puas berlama-lama di Kedai susu murni favorit kami, aku memutuskan untuk pulang. Sebab aku baru teringat, bahwa masih ada tugas yang menunggu untuk aku selesaikan.

“Pulang yuk? Ada tugas dari Mr. Gusti yang harus dikumpulin besok nih.” Kataku.

“Masih aja ketemu sama dosen kebocin itu?”

“Tau, bosen sebenernya, dua semester kemarin kenyang banget belajar sama dia. Berasa duniaku berputar hanya pada tugas, makalah, dan sanak saudaranya.”

“Curhat mbak?”

“Emang kesannya kayak curhat, ya??”

“Nggak, malah terkesan kayak yang lagi muqadimah di acara tabligh akbar.”

“Ternyata aku memang berbakat.” Kataku sambil mengibaskan rambut ke belakang.

“Sebentar aja nggak usah gemesin, bisa?”

“Nggak.”

Alfa bangkit, mengacak rambutku sebelum kakinya melangkah ke depan kasir untuk membayar pesanan kami. Tubuh jangkungnya yang semakin tinggi menjulang, membuat aku minder jika sedang ada di dekatnya. Kadang aku heran, mereka yang punya tubuh tinggi makannya apa sih? Tulang brontosaurus??

Seseorang menjentikkan jarinya tepat di hadapan wajahku. Setelah kulihat siapa, ternyata Alfa rupanya.

“Malah bengong, ayo pulang.” Katanya.

***

Rumahku, 18.55 wib

Sepi. Itulah yang menggambarkan suasana rumahku saat ini. Sebab hanya ada aku seorang di sini. Bunda sedang pergi ke rumah tante Diandra, adiknya ayah, di Bogor. Katanya sedang ada arisan keluarga. Sedangkan ayah, beliau juga ikut menemani bunda.

Aku melihat status bunda di WhatsApp, foto bersama keluarga besar Winata yang jumlahnya kurang lebih ada tiga puluh orang. Kulihat sepupu-sepupuku ada di sana. Hanya aku yang tidak ikut. Sedih? Tidak juga.

Satu notifikasi muncul,
Bunda: Zi, ayah sama bunda pulangnya bakalan larut malem. Jangan lupa kunci pintu. Jangan lupa makan ya, Zi. Bunda udah masakin makanan favorit kamu, tinggal diangetin aja. Jangan keluar malem-malem, sekarang lagi rawan penculikan. Kalau mau keluar, ajak Alfa aja ya. Bunda sayang Ziyya.

Me: Siap bundaaaaaaa.

Setelah selesai mengirimi bunda pesan, aku menaruh handphone lalu melangkah menuju balkon. Sebab dari tadi telingaku menangkap melodi melodi merdu yang memanjakan telinga. Dan ternyata benar, di sana, tepat di seberang kamarku, Alfa sedang memainkan gitarnya.

SHATTERED Where stories live. Discover now