Bintang

61 5 0
                                    

Malam sudah semakin larut. Aku, Asa, dan Sam berniat untuk mencari tempat penginapan yang tak jauh dari sini. Tadinya Aul menawarkan satu kamar padaku, tetapi aku menolaknya. Tidak enak jika harus menginap di kediaman kedua mempelai yang hari ini tengah berbahagia. Lantas kami pun pamit.

Namun, ketika kami hendak masuk ke dalam mobil, seseorang memanggilku. Gama.

“Ya..”

Aku berhenti dan menoleh. Kutatap mata hitamnya yang kini memancarkan sinar yang berasal dari senyumnya. Membuat aku tidak tau harus berbuat apa, kalau saja Asa tidak menyenggol lenganku.

“Ada apa, Gam?”

“Nggak jauh dari sini, ada villa punya bokap. Kalian mau ikut?”

“Ng-”

Belum sempat aku bilang ‘nggak’, Asa sudah lebih dulu menyela.

“Boleh tuh. Kuy! Gue udah nggak nahan pengen say hi sama kasur.”

Sam juga menyetujui tawaran Asa. Jadi, mau tidak mau aku juga harus menyetujuinya. Dari pada aku ditinggal di sini sendirian?? Lagi pula lumayan lah, setidaknya tidak perlu mengeluarkan biaya sewa.

***

Villa milik ayahnya Gama memang tidak sebesar villa tempat pernikahannya Aul tadi, tetapi villa ini memiliki halaman yang cukup luas. Tempatnya seperti berada di atas bukit, sehingga tinggal sedikit saja melangkah keluar, maka akan terlihat sebuah pemandangan yang sangat indah. City light, pemandangan yang selalu dan akan terus aku suka.

“Di dalam ada dua kamar. Satu untuk kita bertiga, dan satu lagi untuk Ziyya.” Jelasnya.

“Okesip, gue duluan. Mata udah gatau lagi caranya melek.” Ucap Asa sambil berjalan sempoyongan, kemudian diikuti oleh Sam. Sedangkan aku hanya menggelengkan kepala ketika melihat tingkah mereka berdua.

“Kamu belum mau tidur, Ya?”

“Belum ngantuk,”

“Ikut aku, mau?”

“Ke mana?”

“Mau, nggak?”

Aku pun mengangguk, lalu mengikuti ke mana langkah Gama pergi. Rupanya dia mengajakku ke halaman samping villa. Sebuah hamparan rumput hijau yang di kelilingi tumbuhan yang entah apa itu namanya, yang berfungsi sebagai pagar. Dia menyuruhku duduk di sebuah ayunan tunggal. Sementara dia bolak-balik mengumpulkan kayu bakar. Seertinya dia ingin membuat api unggun.

“Ngapain?” tanyaku.

“Aku mau buat api unggun, biar kamu nggak kedinginan.”

Tuhan.. kenapa Gama selalu mampu membuat hatiku menghangat??

Api sudah menyala. Dia duduk di dekatnya, kemudian aku pun turun dan mendekat ke arahnya. Menggosokkan kedua tanganku agar dingin tidak terlalu menusuk. Hangat. Sampai akhirnya dia berdiri,

“Sebentar,” katanya.

Beberapa saat kemudian, Gama kembali dengan sebuah selimut di tangannya. Tanpa aku memintanya, dia menyelimuti tubuhku dengan selimut yang dia bawa. Hingga saat tangannya tak sengaja bersentuhan denganku, jantungku seakan berhenti seketika. Sampai rasanya aku sulit untuk bernapas.

“Biar kamu tambah hangat.”

Aku tersadar. Tidak seharusnya aku membiarkan perasaan untuknya kembali hadir. Seharusnya aku tidak ada di sini bersamanya. Aku tidak ingin rasa itu kembali. Ingat, Ziyya, kamu sudah punya Alfa. Dia memang jauh sekarang, tapi hatinya masih menjadi tanggung jawabku. Jangan sampai kamu kembali jatuh ke lubang yang sama.

SHATTERED Where stories live. Discover now