D u a

7.2K 449 0
                                    

Malam hari yang dingin, tapi aku masih betah menikmati sinar temaram bulan dikamarku, angin-angin kecil pun mulai menggelitiki lengan telanjangku. Menyerah dengan mereka pada akhirnya aku memutuskan untuk masuk dan mengunci pintu yang menghubungkan kamarku dengan balkon.

Rumah baru ini tidak terlalu besar, berbeda dengan rumahku yang berada di Malang. Memiliki dua lantai dengan lantai atas yang hanya berisi 3 kamar tidur dan gudang saja. Tapi itu bagus, setidaknya aku tidak terlalu merasakan kesepian sebagai anak tunggal. Ayahku seorang arsitek dan bunda adalah dokter, mereka sibuk dengan urusan mereka di siang hari.

"Lana makan dulu!" Terdengar gaung suara Bunda dari luar kamar, aku segera bergegas untuk pergi ke ruang makan.

Disana Mbok Ijah, pembantu rumah tangga yang sudah lama bekerja dengan keluarga kami tengah menyiapkan makanan. Saat kami pindah kesini dia juga setuju untuk ikut pindah karena masih ingin bekerja. Bunda tidak ahli memasak, jadi makanan mbok Ijah selalu jadi juara di lidahku.

"Ayah belum pulang Bun?"

Bunda melirik ke arahku dengan senyum manisnya, aku terkadang iri tidak memiliki senyuman semanis milik Bunda. "Ayah pulangnya besok."

Sedikit kesal karena Ayah tidak pulang, aku langsung melanjutkan untuk meraih piring dan mengambil nasi.

Ayah sedang mengurusi pembangunan komplek perumahan di Malang, meski desain sudah di buat, tapi ia harus sesekali menengok ke lapangan untuk turut mengawasi pembangunan. Karena itu ayah harus bolak-balik Jakarta-Malang karena urusan itu.

Gedubrakk,

Bunyi nyaring itu membuatku dan Bunda saling tatap, bunyi benda besar jatuh terdengar berasal dari kamarku. Tapi seingatku di kamarku hanya ada lemari, ranjang dan meja belajar saja. Lalu itu bunyi apa? Apakah lemariku jatuh?

Kulirik Bunda yang terlihat memiliki raut wajah ketakutan. "Jangan-jangan maling?"

"Tadi pintu balkon udah Lana kunci Bun," ujarku pelan.

Bunda langsung menyuruh Mbok Ijah untuk mencari alat yang bisa digunakan untuk melawan. Saat ini kami hanya bertiga dirumah, pak Mardi sudah pulang saat sore tadi.

Namun aku yakin jika bunyi itu bukanlah maling, di komplek perumahan ini masih banyak rumah yang lebih besar dan megah. Maling tentu saja tidaklah bodoh untuk masuk ke rumah yang tidak terlalu besar seperti rumahku ini.

Benar saja kekhawatiran kami hilang begitu membuka pintu kamarku, tidak terdapat apa-apa maupun siapa-siapa disana. Benda apapun juga tidak terlihat bergerak dan berpindah satu inchipun. Benarkan aku tadi sudah benar-benar mengunci pintu balkon dengan benar.

"Mungkin dari tempat lain suaranya," tebak Bunda.

Rasanya tidak mungkin jika dari tempat lain, sudah jelas jika dari sini suaranya. Sudah kubilang dilantai dua hanya ada kamar dan gudang saja dan suara itu di kamar ini bukan yang lain.

"Tapi saya yakin dengar dari sini, Buk." Kali ini Mbok Ijah yang bersuara.

"Iyasih Bunda dengernya juga dari sini."

"Udah ngapapa Bun, mungkin itu dari tetangga."

Bunda mengangguk tapi masih dapat kulihat raut parno diwajah bunda, bunda memang selalu seperti itu tapi sudahlah yang penting semuanya baik-baik saja. Setelahnya kami kembali lagi ke meja makan, menikmati masakan yang sudah sedari tadi menggodaku untuk menyantapnya.

***

"Kamu sudah kembali?"

Aku menoleh mencari sumber suara, tapi nihil tidak ada satu orang pun disini.

Sebuah gedung tua yang gelap, cahaya hanya berasal dari jendela tanpa kaca. Setelah kuperhatikan gedung ini bukan hanya gedung tua, tetapi gedung ini adalah gedung yang belum rampung pembuatannya.

Huft, ini pasti mimpi.

Terlihat jelas sekali dari tembok yang masih berupa berupa semen kasar, lantainya juga sepertinya sangat kotor.

Namun, satu yang menjadi pertanyaan mengapa sangat banyak kabut, kabut yang menghalangiku sepanjang pandangan.

Aku bergidik ketika melihat disudut ruangan ada sesosok wanita dengan baju putih, rambut panjangnya yang kusut membuatku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Aku langsung memalingkan wajah menatap apapun itu selain wanita dengan baju putih itu.

Sosok apa itu? Manusia atau bukan?

"Selamat datang Alana."

Sebuah suara kembali terdengar, tapi aku yakin itu suara seorang pria jadi tidak mungkin dari wanita berbaju putih yang tengah berdiri di ujung sana.

Ada bayangan hitam besar yang membuat bola mataku nyaris keluar, bayangan itu semakin besar dan besar. Keringat dingin keluar sebulir jagung, hatiku berdetak sangat kencang.

Bayangan hitam itu lebih menyeramkan ketimbang wanita yang beridiri di ujung ruangan. Aku menutup mataku sekuat tenaga, merapalkan seluruh doa yang kubisa.

Tiba-tiba saja rasa dingin menyeruak, ini terasa sangat nyata saat angin-angin kecil meraba kulitku. Dingin ini baru berlalu setelah beberapa menit, barulah hawa kembali seperti semula.

Setelah merasakan semuanya normal aku membuka mataku.

Hal yang pertama aku lihat adalah adalah langit-langit kamarku, benar kan kejadian tadi hanya mimpi.

Tapi....

Jika itu hanya mimpi, mengapa semuanya terasa sangat nyata. Mulai dari suara yang kudengar dengan jelas sekali.

Dan angin dingin yang tiba-tiba datang, sudahlah meski seperti nyata tapi aku harus bersyukur karena itu hanya seperti nyata, bukan nyata betulan.

Kulihat jam masih menunjukkan pukul tiga pagi, aku tidak biasanya terbangun sepagi ini, apalagi karena mimpi buruk. Seingatku aku tidak pernah mempi seburuk itu, apalagi dengan alur mimpi yang sungguh aneh.

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Dont forget to click the vote button!

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Jika ada pertanyaan tuliskan saja di kolom komentar, terima kasih sudah mampir di cerita ini silahkan tunggu episode selanjutnya ^_^

And, see you.

Pengantin IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang