T u j u h

5K 326 0
                                    

Disinilah aku berada, sebuah rumah berbentuk rumah joglo yang tentu saja masih terbuat dari kayu. Sisi kanan dan kirinya masih asri dengan pepohonan yang rimbun, kalau malam pasti tempat ini akan terlihat sedikit menyeramkan. Perjalanan dari sekolah ke tempat ini membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam, karena lumayan jauh dari pusat kota.

Seperti apa yang dikatakan Aleandra tadi, dia akan membawaku pada seseorang yang bisa menjelaskan semua yang terjadi pada diriku. Aleandra mengetuk pelan pintu rumah, tidak begitu lama seseorang membuka pintu, bersamaa dengan itu aroma kemenyan yang sangat menyengat tercium. Mungkin berasal dari dalam.

"Nak Ale, silahkan masuk!"

Pemilik rumah joglo itu adalah seorang kakek tua berusia sekitar enam puluhan tahunan, mengenakan surjan dan juga celana kain batik. Pandangan mata kakek itu kini terarah padaku, aku mengulas sebuah senyuman padanya tetapi justru gelengan kepala yang ku dapatkan.

"Gadis ini—"

Kalimat itu menggantung, tidak dilanjutnya oleh sang kakek. Kenapa sekarang berubah menjadi tatapan keheranan, memangnya ada apa denganku?

"Ini teman Ale Kek, ada yang ingin Ale pastikan dengan Kakek Teja."

"Ah begitu rupanya, masuklah."

Aku membuntuti Ale memasuki rumah bernuansa jawa itu, perabotan di dalam rumah juga mengusung tema jawa yang kental tetapi begitu terawat dan bersih. Kursi terbuat dari rotan, dindingnya adalah anyaman bambu dan beberapa furnitur yang sepertinya dibuat sendiri dari kayu. Ada sebuah foto keluarga dengan baju kebaya dan surjan, mungkin itu keluarga kakek Teja. Awalnya kukira kakek Teja ini kakeknya Ale, tetapi rupanya di foto keluarga itu tidak ada Ale.

Kakek Teja membawa kami ke sebuah ruangan terutup, banyak sekali buku-buku dan barang antik yang tersimpan di lemari kaca.

"Ini Alana teman Ale, melihat Alana ini kakek pasti tahu kan apa yang terjadi?" ucapan Ale itu membuatku paham jika mereka para orang indigo itu benar-benar spesial, bahkan bisa melihat apa masalahku dengan mahluk gaib tanpa aku harus bercerita panjang lebar.

Kakek Teja mengangguk lalu mengalihkan pandangannya ke arahku, aku tersenyum dan menganggukan kepala sebagai tanda hormat.

"Sebelumnya Nak Alana ini apakah sudah pernah melihat mahluk gaib?"

"Sudah Kek, semuanya berawal semenjak pindah ke Jakarta hal-hal mistis terjadi padahal Alana nggak pernah merasakan apapun saat di Malang."

Walau kemampuanku untuk melihat mahluk halus kadang datang kadang pergi tetapi menurutku itu berbahaya, aku tidak terbiasa dan jika harus memilih aku lebih suka tidak bisa melihat mereka selamanya.

"Seharusnya kamu tidak perlu pindah ke sini dan tetap di Malang."

"Memangnya apa yang sebenarnya terjadi Kek? Kata Ale, jiwa Alana terikat dengan iblis tetapi Alana tidak pernah menjual jiwa Alana pada iblis."

Jujur saja aku takut dengan apa yang tadi Ale katakan, itu terus memenuhi pikiranku hingga membuatku pusing.

"Kamu yakin tidak pernah memiliki perjanjian dengan iblis?"

Aku mengangguk dengan mantap, aku yakin sekali tidak pernah berurusan dengan setan, hantu apalagi iblis.

"Tidak pernah, Kek."

"Kalau begitu, berarti ada seseorang yang membuat perjanjian dengan iblis dan kamu adalah tumbalnya."

Kedua mataku membola, siapa orang yang begitu tega melakukan itu kepadaku. Memangnya aku salah apa?

"Tapi disini ada yang aneh," lanjut kakek Tejo.

"Apa yang aneh, Kek?"

"Kamu memiliki sebuah tanda hitam pekat yang memperlihatkan jika kamu sudah terikat oleh seorang iblis. Sebuah ikatan rumit yang sepertinya tidak bisa dilepaskan."

"Alana nggak paham," aku menggelengkan kepala, menolak jika ucapan kakek Teja itu benar.

"Jika hanya seorang tumbal kamu masih memiliki kemungkinan untuk ditolong, tetapi anehnya kamu diikat oleh iblis itu dengan sebuah ikatan rumit yang—"

Kalimat itu menggantung, kakek Teja memejamkan matanya. Entah apa yang tengah dia lihat atau rasakan, ekspresi itu sulit untuk dimengerti.

"Bukan iblis biasa yang mengikat kamu, kakek akan terus mencari ikatan itu memiliki arti apa."

Aku terdiam, sudah tidak bisa mengucapkan kalimat apapun. Ingin sekali tidak menpercayai ucapan dari kakek Teja.

"Pulanglah, dan tanyakan pada kedua orang tuamu tentang masalahmu ini."

Apakah ayah dan bunda tahu sesuatu? Mereka mengetahui tentang hal yang terjadi padaku, atau jangan-jangan mereka yang menumbalkanku?

"Terima Kasih, Kek."

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Dont forget to click the vote button!

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════


Jika ada pertanyaan tuliskan saja di kolom komentar, terima kasih sudah mampir di cerita ini silahkan tunggu episode selanjutnya ^_^

And, see you.

Pengantin IblisWhere stories live. Discover now