T i g a P u l u h E m p a t

3.5K 278 15
                                    

Satu jam sudah berlalu, aku masih berdiri di depan pintu seraya sesekali memanggil bunda. Mereka sepertinya belum selesai bicara, aku benar-benar takut jika terjadi sesuatu pada Aleandra.

Terdengar pintu kamarku dibuka kuncinya, sosok ayah muncul dari balik pintu. Wajahnya sudah tidak menunjukkan aura kemarahan, jauh berbeda sekali dengan tadi.

"Ayah nggak apa-apain Ale kan?"

Ayah menggeleng sembari masuk ke kamarku dan menutup pintu.

"Aleandra udah cerita semuanya, ternyata ayah salah paham sama dia."

Aku nyaris tidak percaya mendengar ayah mengatakan itu, karena tadi saja ayah sangat marah sampai memukul Aleandra.

Tunggu, bukankah seharusnya Aleandra menceritakan tentang hal mistis yang kita alami. Hal mistis adalah hal yang akan sangat sulit untuk dipahami oleh orang awam lalu apakah ayah begitu mudah percaya begitu saja.

"Ale cerita apa aja, yah?"

"Semuanya Lan. Ayah nggak nyangka kamu benar-benar tidak bisa terlepas dari semua ini. Ayah kira dulu berbulan-bulan berobat untuk memutus semuanya itu berhasil, tapi nyatanya semua itu kembali lagi."

Aku memang melupakan banyak hal yang terjadi di masa kecilku, aku hanya ingat jika dulu sakit keras lalu berbulan-bulan tinggal di rumah orang pintar. Memang tidak ada masalah apapun setelah itu tetapi nyatanya itu semua kini kembali lagi.

"Ini udah jadi takdir Alana, Alana nggak bisa mundur atau kabur. Jadi mau tidak mau harus Alana hadapi."

***

Kabut tebal begitu sesak berada di sekelilingku, meski begitu aku merasa jika seluruh tubuhku ini sangat dingin, seperti suhu udara di tempat ini berada di bawah titik beku. Aku memeluk kedua tangan, beberapa kali menggosoknya dengan harapan mendapatkan kehangatan, meski pada akhirnya hanyalah nihil.

Aku tidak tahu mengapa tidak bisa menggerakkan kakiku, padahal bagian tubuh lainnya benar-benar berada dalam kendali.

"Dingin banget," rancauku dengan bibir bergetar.

Beberapa menit kemudian barulah kabut tebal ini memudar, bersamaan dengan hawa dingin juga entah bagaimana ikut mereda. Setelah kabut benar-benar hilang, aku melihat sosok lelaki berdiri beberapa meter di depanku. Pakaiannya serba hitam dan aku tidak akan pernah bisa pangling dengan penampilan menawan itu.

Dia adalah Adamir.

Dalam kondisi ini, tentu aku masih tidak bisa menggerakan kakiku. Aku hanya diam di tempat.

Adamir menoleh ke arahku dengan seulas senyuman, itu begitu manis hingga membuatku ingin sekali mendekatinya jika saja kakiku tidak bisa digerakkan.

Di tangan Adamir ada beberapa tangkai mawar merah yang ternyata batangnya memiliki begitu banyak duri. Alih-alih melepaskannya, Adamir justru menggenggam bunga itu semakin erat. Duri-duri yang banyak dan tajam itu tentu saja langsung melukai tangannya. Darah mulai mengucur, semakin deras hingga sekarang berceceran di lantai.

"Lepaskan itu Adamir!" teriakku, akan tetapi dia sama sekali tidak menghiraukanku. Adamir masih menggenggam tangkai berduri itu.

Tidak sampai disitu saja, sekarang ia justru membawa mawar berduri itu ke pelukannya, memeluknya sangat erat tidak peduli dengan luka yang ia miliki dan darah yang mulai mengucur dari tubuhnya.

"Jangan!"

"Jangan!"

Aku membuka mata dengan napas yang tersengal, mengedarkan mata, rupanya aku tengah berada di kamarku.

"Cuma mimpi," ucapku seraya menghela nafas lega.

Aku tadi benar-benar merasakan hawa dingin yang menusuk tulang itu, untung saja itu hanyalah mimpi.

Mengenai Adamir, dia benar-benar tidak muncul sama sekali, bahkan saat kemarin aku dikelilingi begitu banyak mahluk menyeramkan. Mungkin aku em– sedikit merindukannya sehingga memimpikan tentangnya, meski mimpi itu cukup menyeramkan ya.

Atau jangan-jangan mimpi itu memiliki maksud tertentu? Ah sudahlah, tidak ada gunanya berpikiran macam-macam.

Aku melirik ke arah jam dinding, rupanya jam menunjukan pukul sebelas siang. Hari ini aku bolos sekolah karena tadi sampai di rumah jam setengah delapan. Aku yakin Aleandra juga pasti tidak masuk sekolah juga.

Aku segera melangkahkan kakiku untuk bangkit dari ranjang, aku merasakan jika perutku ini perlu diisi karena tadi pagi aku melewatkan sarapan.

"Eh, Non Alana udah bangun?"

Pertanyaan itu berasal dari mbok Ijah begitu aku tiba di dapur. Mbok Ijah terlihat baru saja selesai memasak, biasanya di hari selain weekend. Mbok Ijah hanya akan memasak di pagi dan malam hari karena di siang hari tidak ada yang makan, aku berada disekolah, ibu dan ayah tentunya makan di tempat kerja mereka. Tetapi hari ini karena aku membolos mbok Ijah memasak makan siang untukku. Untung saja mbok Ijah ini begitu pengertian.

"Masak apa, Mbok?"

"Ada tumis kangkung udang sama ayam kecap, kesukaan Non semua."

Jika mbok Ijah memasak dua jenis makanan ini tentu saja aku bisa menambah nasi hingga dua kali, karena kedua menu itu benar-benar menjadi favoritku dari dulu.

Aku pergi ke ruang makan sembari membawa semangkuk ayam kecap, karena satu hidangan lagi sudah tersaji di meja makan. Saat hendak mengambil nasi, seketika gerakanku terhenti.

Ruang makan ini menghadap langsung ke halaman belakang, hanya bersekat kaca-kaca yang membuat ruangan ini menjadi terbuka. Halaman belakang cukup luas, ada banyak tanaman obat dan bunga milik bunda. Di ujung belakang halaman ada sebuah pagar tua, saat ini di pagar itu ada sebuah mahluk hitam tinggi besar yang berbulu. Dia tepat berdiri di depan pagar bagian dalam, kakinya begitu besar dengan tubuh yang lebih lebar dari sepasang pintu pagar.

Apakah itu mahluk yang dinamakan genderuwo?

Meski jarak kami ada sekitar dua puluh meteran tetapi aku bisa melihat mata bulatnya itu menatap ke arahku. Tentu aku harus mengabaikannya, aku tahu Adamir sepertinya sudah membuat mahluk halus tidak mudah masuk ke kawasan rumahku. Mereka seperti terusir, mahluk di kamar di pohon depan rumah sekarang sudah tidak ada dan Annalise juga jarang sekali muncul.

"Ada apa, Non?" Pernyataan Mbok Ijah itu mungkin karena menyadari aku terus-menerus menatap ke arah pagar halaman belakang.

Aku langsung mengalihkan perhatianku dari mahluk itu, lalu menggelengkan kepala. "Nggak ada apa-apa kok, Mbok."

"Pager belakang rumah itu emang serem, Non. Mbok nggak berani deket-deket kesana karena suka ada bau gosong menyengat sama kadang-kadang ada bau melati, padahal kan ibuk enggak nanam bunga melati."

Aku melirik lagi ke arah mahluk hitam besar yang masih setia berdiri disana, tentu saja ia akan cukup menyeramkan untuk orang awam.

"Iya Mbok jangan deket-deket kesana, banyak semak juga sekitar pagar, takut ada ular."

Memang pagar itu hampir tidak pernah dibuka atau sekitarnya dibersihkan, sehingga rumputnya tinggi-tinggi.

Aku juga tidak tahu mahluk itu jahat atau tidak, tetapi kan tidak ada salahnya waspada dengan tidak mendekati tempat yang mungkin menjadi wilayahnya itu.

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Don't forget to click the vote button!

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

A

yok spamm komennya🔥🔥🔥

Jika ada pertanyaan tuliskan saja di kolom komentar, terima kasih sudah mampir di cerita ini silahkan tunggu episode selanjutnya ^_^

And, see you.

Pengantin IblisWhere stories live. Discover now